Naresh memandang gugup pada ruangan di depannya. Tangannya berkeringat sangat banyak selagi menunggu. Membuat tali tote bag dalam genggamannya sedikit basah. Hari ini, empat hari sebelum LKS tingkat nasional diadakan, demi menemui seseorang yang direkomendasikan dokter Bakti, Naresh terpaksa bolos sekolah. Menempuh nyaris dua jam perjalanan Bekasi - Jakarta Timur untuk mendapat antrian paling awal bertemu dengan Prof. Cakra. Namun tetap saja, setibanya disana, antrian ternyata sudah mengular.
Saat namanya dipanggil, waktu sudah nyaris menunjukkan tengah hari. Naresh memasuki ruangan itu dengan menguatkan langkah. Sendirian. Tanpa wali, ia menghadap pria paruh baya bergelar Professor itu.
Professor itu membenarkan letak kacamatanya saat sang asisten menyodorkan berkas sebagai rekam medis atas nama Naresh. Ia menatap Naresh sejenak, sebelum kembali pada berkasnya.
"halo... saya Eko." sapanya ramah, "wajahmu familier deh. Tapi saya lupa pernah lihat kamu dimana." Tambahnya sambil mengecek berkas Naresh sekali lagi.
"oh?" Naresh sedikit kaget saat orang itu memperkenalkan namanya. "saya pikir, saya akan ditangani Professor Cakra..."
Orang itu tertawa renyah. "nama saya Cakra Eko Prambudi. Tapi saya gak begitu suka dipanggil Cakra. Soalnya dulu waktu SD, teman-teman saya suka iseng memanggil saya dengan sebutan Cakcak. Jadi saya trauma..." Dongengnya sambil masih tertawa. "kamu tau Cakcak, nggak?"
Naresh menggeleng. Bingung. Tapi dalam hati ia bersyukur karena suasananya tidak terlalu canggung dan tegang.
"cakcak itu artinya cicak. Makanya saya lebih nyaman dipanggil Eko aja."
"by the way, rujukan dokter Bakti, ya?" ujarnya pria paruh baya itu dengan ramah. "jadi gimana? Apa keluhannya?"
Naresh mengeluarkan data CT scan, MRI dan hasil foto Rontgen yang sebelumnya ia lakukan -lengkap dengan hasil cek darah dan urin serta surat diagnosis dokter radiologi di lab waktu itu dan surat keterangan dari dokter Bakti.
Pria itu membaca berkas yang di sodorkan Naresh dengan seksama. Termasuk melihat hasil pemindaian tomografi itu dengan bantuan cahaya lampu. Naresh bisa melihat dokter itu memberikan tatapan sedih seraya menggigit bibir bagian dalam.
"wali-mu gak diajak masuk sekalian, Nak?"
"saya sendiri, Prof. Nggak dianter wali."
"eh? Serius?" sang professor nampak kaget sejenak. "Duh, nanti saya bingung dong ngejelasinnya gimana. Harusnya kamu datang bersama wali kamu."
Naresh menggeleng, "gapapa. Professor bisa menjelaskannya sama saya langsung."
Pria paruh baya itu menghela napas. Sekali lagi membenarkan letak kacamatanya yang merosot di hidung, "kamu... pasti udah dengar dari dokter Bakti bahwa hasil pemeriksaan ini menunjukkan indikasi penyakit serius, kan?"
Naresh mengangguk.
"harusnya kamu bawa wali kamu biar kita bisa menentukan terapi apa yang perlu di ambil, Nak..." jelasnya, "maaf, bukan mendiskreditkan kemampuanmu. Tapi kamu belum berada di usia legal, Nak. Enam belas tahun... hm... sulit untuk saya-"
"Prof..." Naresh menyela. "sebenarnya saya kemari untuk mendiskusikan sesuatu."
Sang Professor menunggu Naresh berbicara.
"penyakit ini, jika dengan terapi -butuh berapa lama untuk sembuh? Dan terapi apa saja yang perlu saya jalani?"
"itu tergantung dari gejala apa saja yang kamu alami selama ini." Ujarnya, "saya lihat dari catatan dokter Bakti, kamu bahkan mengalami mimisan dan sesak napas. Tandanya tidak hanya penyakit di syarafmu yang berperan -kamu juga berada dalam kondisi stress atau kelelahan ekstrim. Hm, ini juga ada radang sinusitis yang serius, ya. Jelas ini bukan situasi yang baik. Dan hal ini mempengaruhi terapi apa saja yang perlu kamu jalani dan berapa panjang waktu pengobatan yang dibutuhkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE || Na Jaemin
FanfictionTuhan, Terimakasih telah memberikan kesempatanku untuk bernapas hingga hari ini. Terimakasih telah mengelilingiku dengan orang orang baik. Terimakasih untuk segala hal. Tuhan, setelah semuanya yang Kau beri, bolehkah aku bersikap tidak tau diri un...