Tidak ada hari baik untuk merayakan perpisahan. Tapi pada akhirnya, perpisahan akan tetap terjadi, sebagaimana takdir yang berlaku. Serupa guguran daun yang terjatuh, angin yang berhembus dan air yang mengalir; takdirmu telah tertulis jauh sebelum kau terlahir.
Naresh dinyatakan mengalami mati otak malam itu. Kabar duka yang diterima keluarga beriring dengan rintik gerimis yang jatuh dari langit. Wangi angin Jakarta berubah sejuk, hiruk pikuk dunia malam itu sedikit melengang. Namun di dalam kamar rawat ini, beku menusuk hingga ke sum-sum tulang.
Orang bilang, akan lebih baik jika kita bisa mengetahui kapan kita mati, dibandingkan dengan menghadapi kematian yang tiba tiba. Kehilangan sekaligus akan menyisakan lubang di hatimu; sedangkan jika kita mengetahui kapan kita akan kehilangan, kita masih punya waktu untuk melakukan persiapan. Namun Yoana pikir, tidak ada yang lebih baik dari semua itu. Kematian tiba-tiba menyisakan penyesalan; dan mengetahui kapan kita akan mati, menumbuhkan ketakutan. Menghitung mundur untuk menunggu kapan kita di eliminasi dalam kehidupan tentu bukanlah hal yang menyenangkan.
Itulah sebabnya, setiap hari menjadi berharga, kan? Sebab jadwal pulang selalu menjadi rahasia Tuhan.
Tapi sepertinya, Naresh mempersiapkan kematiannya dengan baik. Sangat baik dan rapi -sehingga Yoana pikir bahwa anak muda itu memang bersiap untuk mati. Tapi bagi Yoana, kabar bahwa Naresh mengalami brain death -tetaplah kabar tiba-tiba.
"ingat malam ketika kamu datang di pesta ulang tahun pernikahan Mama dan Ayah?" Yoana bertanya dalam lirih. Perempuan itu dipersilakan untuk menemani Naresh untuk yang terakhir kali. "kamu bilang doa seorang ibu bisa menembus langit dan lebih cepat dikabulkan Tuhan."
"Mama sudah banyak berdoa... Mama berdoa untuk kebaikanmu dan Kenzie... Tapi mengapa tak satupun doa Mama dijawab Tuhan?"
"apa karena dosa Mama lebih banyak ketimbang jasa Mama sebagai seorang Ibu?"
"atau karena Mama terlalu lama mengabaikan kamu, jadi Tuhan ingin menghukum Mama dengan cara kehilangan seperti ini?"
Yoana meremat jemari Naresh kedalam genggaman.
"maaf..." Yoana tak mampu mengucapkan apapun lagi. Bibirnya kelu. Hanya air mata yang jatuh satu satu dan menganak sungai di pipi.
Hatinya sakit sekali. Yoana tidak pernah berfikir bahwa kehilangan Naresh akan membuatnya hancur seperti ini."maaf..."
"maafin Mama, ya?"
"maafin Mama yang nggak pernah bisa jadi ibu yang baik untuk Nana..."
"sekarang, Mama akan melepas Nana untuk beristirahat. Janji sama Mama, Nana pulang ke rumah Tuhan untuk sembuh. Jangan sakit lagi... Okay? Disini, Mama akan menanggung semua penyesalan Mama seumur hidup."
"see you when I see you, Naresh Jatiadi Pratama. My precious son..."
"sembuh dan bahagia setelah ini, ya!"
Yoana mengecup dahi putranya itu. Mengusap surai hitamnya perlahan. Merekam wajah Naresh baik-baik dalam ingatan. Yoana menahan kuat air matanya yang hendak melesak jatuh.
"I love you. Sleep tight, Nana."
Yoana keluar dari kamar rawat itu. Di depan pintu, pelukan Muliyono Salim sudah menyambut. Menguatkan segala keputusan Yoana tentang keinginan terakhir Naresh. Surat persetujuan donor itu di tandatangani Yoana dengan berurai air mata.
-----
Di kamar rawat berbeda, tatapan Kenzie mengarah ke langit-langit kamar. Ada rintik gerimis yang terdengar mengetuk jendela kamarnya. Menyisakan sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE || Na Jaemin
FanfictionTuhan, Terimakasih telah memberikan kesempatanku untuk bernapas hingga hari ini. Terimakasih telah mengelilingiku dengan orang orang baik. Terimakasih untuk segala hal. Tuhan, setelah semuanya yang Kau beri, bolehkah aku bersikap tidak tau diri un...