15

6K 555 16
                                    

Hari keempat Naresh di rawat, ada Dion dan Yuda yang datang berkunjung. Kedua orang itu dibuat terkejut karena kamar rawat Naresh yang berada di area VVIP; terlebih saat mendapati keluarga Naresh di area tunggu ruang rawat nampak dari keluarga elit. Sungguh, mana bisa percaya mereka bahwa Naresh si waitress ternyata punya link dengan orang kaya raya macam ini.

Omong-omong, mereka hanya berdua. Jehian tidak ikut karena ada urusan, katanya. Dan itu cukup membuat Naresh sedikit sedih.

"gue di pecat, ya?" tanya Naresh dengan bibir mengerucut sedih pada kedua Abangnya itu.

Dion bingung mau jawab apa. Lagipula, sejak hari pertama Jehian mengabarkan Naresh masuk rumah sakit, Jehian langsung bersikap aneh. Tiap kali ada crew café yang bertanya tentang keadaan Naresh, ia enggan menanggapi.

"Bang Jey nggak jawab WA gue." Keluh Naresh. "di telepon ataupun video call nggak di jawab."

Naresh masih berkawan dengan nasal kanul dan pulse oximeter diujung telunjuknya. Jadi monitor di samping bed masih berfungsi -meskipun beberapa kabel di dada sudah dilepas. Saturasi oksigennya masih perlu di pantau karena kondisinya bisa ngedrop tanpa pengumuman terlebih dahulu.

"si Jey lagi ngurus persiapan sidang skripsi." Ujar Yuda memberi alasan. "pasti sibuk banget; terus chat lo tenggelem, makanya belom di respon."

Naresh melirik ke arah Dion, "tapi bang Dion nggak sesibuk bang Jey. Bang Yuda juga masih sempet nimpalin chat gue. Kalian kan seangkatan... jadi kesibukannya nyaris sama, dong?"

"Dion yang kelewat ambis itu akhir tahun ini udah mau wisuda. Sidang sama revisi dia dah beres. Tinggal bayar membayar doang, Na. Dia sudah terbebas dari huru hara sidang skripsi. Nah... kalau gue.... Rencana mau nambah semester lagi sih. Soalnya mumet, proposal skripsi gue aja gak di ACC mulu! Puyeng."

"sangat terlihat perbedaannya." Ejek Naresh seraya terkekeh kecil. Yang langsung disusul dengan mengurut dada karena nyeri yang bercokol di sana.

"masih sakit, Na?" Dion yang mengamati pergerakan Naresh itu berujar khawatir.

"kadang, Bang."

"kata dokter kenapa?" sungguh, Dion ingin tau. "jangan bilang kecapean, plis...!"

"hehehe... kata dokternya di diagnosa ALS gitu. Gue juga gak begitu ngerti." Tentu saja, Naresh masih enggan menjelaskan secara rinci.

"terus?" kali ini Yuda yang bertanya.

"perlu pengobatan sama terapi, biar nggak makin parah." Ungkap Naresh, "keluarga sama dokternya udah sepakat buat mulai pengobatannya minggu-minggu ini, -jadi Nana coba ngehubungi Bang Jey buat bilang kalau Nana mungkin perlu resign buat berobat. Tapi Bang Jey nggak ada nanggepin chat Nana." Nada suaranya menyendu di akhir kalimat.

"nanti Abang yang bilang ke Jey." Ujar Dion sambil mengusap pelan lengan Naresh. "Nana nggak usah khawatir. Fokus sama pengobatannya aja."

"pengobatannya lama, ya?"

"enggak tau, Bang. Sampe sembuh aja sih."

"sekolahnya gimana?"

"lagi diurus sama Kakek... mudah-mudahan sih nggak perlu cuti sekolah." Ujar Naresh dengan senyuman yang menular.

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang