EPILOG TANPA PROLOG
Untuk Om AgungAgung tidak tau apakah ia berhak untuk merasakan ini atau tidak. Tapi air matanya memang meluncur bebas tanpa bisa di cegah. Tubuh Naresh nampak terbaring dengan nyaman di rumah duka. Ada senyum kecil yang tercetak di wajah pucat tanpa nyawa itu. Seolah mengolok Agung -yang sampai akhir hayat pemuda itu, tetap tak dikenal sebagai ayah biologisnya.
Naresh pergi untuk sembuh. Menyisakan pria paruh baya itu dalam penyesalan.
Agung tak pernah tau bagaimana wujud Naresh ketika ia masih segumpal darah dan kemudian Tuhan tiupkan nyawa hingga hadir ke dunia. Agung tidak pernah tau bagaimana tangis pertama bayi merah itu sesaat setelah menatap alam dunia hingga ia tumbuh menjadi remaja tangguh. Agung tak pernah mempunyai kesempatan menggendong, mengecupi pun melihat langkah pertama Naresh. Agung belum pernah mendapat kesempatan untuk mengenalkan diri secara layak ke hadapan pemuda itu; mengakui dosa dan menopang segala kesusahan yang perlu diterima anak tak berdosa itu karena kesalahanya. Sekalinya Tuhan beri kesempatan padanya untuk berlaku layaknya seorang ayah, justru pada saat mengantarkan putranya sendiri ke peristirahatan terakhir. Ironis sekali.Hari ini, untuk kali terakhir, Agung diberikan kesempatan untuk mengecup lama dahi Naresh.
"maafkan Papa ya, Nak." Agung sekuat tenaga menahan air matanya. "bobo yang tenang. Udah nggak sakit lagi sekarang."
"maaf... maaf... maaf..."
Agung hilang kata. Pertahanannya yang runtuh membuat ia menarik diri untuk menjauh. Air matanya tak berhak memberatkan si mayit yang berpulang. Naresh sudah berjuang banyak, Agung perlu berbesar hati untuk menelan penyesalan seumur hidup atas dosa yang ia lakukan.
"Nana... akan di makamkan di pemakaman umum dekat sini." Yusril berujar pelan. Sedikit berbisik di telinganya. "barangkali kamu mau ikut dan..."
"saya mau ikut." Potong Agung. "tolong izinkan saya berlaku selayaknya seorang ayah untuk Naresh. Boleh?"
Yusril mengangguk seraya menepuk pelan bahu Agung sebelum berlalu meninggalkan Agung yang sibuk menyusut air matanya.
Iya. Hari ini, untuk kali terakhir, Agung diberi kesempatan untuk memikul keranda jenazah Naresh. Ikut masuk ke liang lahat untuk menguburkan. Menggendong jasad tanpa ruh itu untuk terakhir kali. Merasakan sensasi sakit layaknya seorang ayah yang kehilangan dan ditinggalkan. Dalam hati, Agung berterimakasih pada Yusril yang tidak menghakimi dosanya dengan menghalanginya untuk menjadi ayah bagi Naresh.
Keluarga besar Muliyono Salim larut dalam air mata. Meratapi kepergian Naresh yang baru saja terkubur tanah merah. Mereka berhak untuk menikmati segala perasaan kehilangan -karena mereka telah membersamai Naresh untuk waktu yang lama. Bahkan sejahat-jahatnya Yoana, perempuan itu juga berhak untuk menangisi kehilangan karena pada akhirnya, karenanyalah Naresh ada di dunia. Terlahir dengan sempurna.
Lalu bagaimana dengan Agung?
Agung bertanggung jawab atas semua luka dan duka yang Naresh alami dalam hidupnya. Segala kesakitan yang harus di lewati pemuda itu sepanjang hidupnya adalah hadiah paling buruk dari seorang ayah untuk putranya. Dan Agung merasa tidak berhak untuk menangis dan merasa patah hati karena sejak awal -sebelum Naresh terlahir, ia pernah meminta gumpalan darah tak berdosa itu mati.
Dan Agung menyesal.
Sungguh.
------
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE || Na Jaemin
FanfictionTuhan, Terimakasih telah memberikan kesempatanku untuk bernapas hingga hari ini. Terimakasih telah mengelilingiku dengan orang orang baik. Terimakasih untuk segala hal. Tuhan, setelah semuanya yang Kau beri, bolehkah aku bersikap tidak tau diri un...