10

5.2K 563 23
                                    

Diantara hari-harinya yang sibuk menjelang lomba tingkat nasional, Naresh mengunjungi salah satu rumah sakit ternama di Jakarta Selatan. Duduk manis di salah satu kursi tunggu poli anak –yang jelas mengundang banyak perhatian para pasien rawat jalan lainnya. Naresh terlalu dewasa untuk menjadi salah satu pasien, namun terlalu muda jika jadi wali pasien. Terlebih ketika pemuda itu nampak datang dan duduk sendirian. Bahkan, dua petugas di balik meja pendaftaran sempat mengernyit heran ketika Naresh berujar akan konsultasi di poli anak.

Sabtu, dan rumah sakit swasta ini tetap ramai. Namun untungnya, hari ini libur –dan Naresh punya banyak waktu senggang untuk menunggu sampai siang.

Ketika namanya di panggil, Naresh bangkit berdiri dengan senyum miring. Ketika pintu ruang periksa poli anak itu dibuka oleh salah satu perawat, Naresh langsung mendapati Yoana menatapnya dengan tatapan tidak bersahabat. Senyum manis yang biasa terukir di bibir cherry itu menguap entah kemana. Berganti dengan tatapan enggan dan dua belah bibir yang siap mengusir pemuda itu dari ruang prakteknya.

Tiba-tiba perawat yang biasa bertugas membantu proses pemeriksaan diusir keluar sejenak oleh Yoana.

I’ll make it fast.” Ujar Naresh sambil menyodorkan dokumen ke hadapan sang Mama. “saya tau dokter Yoana nggak kepingen ngelihat wajah saya. Tapi saya perlu bertemu anda.”

“saya sibuk.”

“saya tau. Makanya saya sengaja ketemu sama dokter di jam praktek dan bayar uang konsultasi demi ketemu sama dokter. Karena kalau nggak begitu, dokter gak akan mau ketemu saya.

Yoana masih melemparkan tatapan tajam pada dokumen dalam stopmap biru itu. “terus kenapa?”

“saya, perlu tanda tangan dokter Yoana sebagai wali saya.”

“kita udah nggak ada hubungan lagi. Kamu bisa minta sama kakek kamu atau bude-pakde mu. Even, Abang Yus pasti akan mau menjadikan dirinya wali untuk anak seperti kamu.” Ujar Yoana bahkan tanpa memikirkan sedetikpun kalimat yang dikeluarkannya. “saya sebenernya nggak pernah masalah kamu mau jadi parasit buat hidupnya kak Vany ataupun mau ikut Papa tinggal di Singapura. Saya nggak masalah kalau kamu sering diem-diem ketemu Abang Yus. Yang saya minta cuma jangan pernah terlihat dalam jarak pandang saya, kamu ngerti, kan?”

“saya memahami permintaan anda dengan baik. Saya jelas-jelas berusaha menarik dari pandangan anda. Tapi sekarang saya perlu tanda tangan dokter Yoana.”

“buat apa? Kenapa kamu perlu tanda tangan saya, sedangkan kita tidak berada dalam hubungan keluarga apapun.”

“I’m dying.” Naresh bersuara kecil. “in few months, I’ll disappear –as you wish.”

“nggak akan ada lagi aib buat dokter Yoana. Nggak akan ada lagi celah buat orang tua Ayah Yus menghina anda dan masalalu buruk anda, saat saya udah nggak ada.” Lanjut Naresh seraya mencoba untuk tidak bersedih. “but for the last time… sekali aja dalam hidup saya… please, tolong jangan jadiin kehadiran saya sia-sia.”

“maksud kamu apa?” tanya Yoana.

Naresh membuka mapnya. Kop dokumen itu menunjukkan salah satu organisasi donor organ yang certified. Ada line yang menunjukkan nama lengkap Naresh, nomor kependudukan serta beberapa keterangan lain sebagai calon pendonor. Naresh membalik halamannya. Menunjukkan kecocokan organ jantungnya dengan organ milik Kenzie –yang entah kapan pemeriksaan itu dilakukan. Juga ada lembar lembar pemeriksaan lain yang menyatakan organ-organ apa saja yang akan di donorkan.

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang