23

5.2K 475 20
                                    

Professor Eko di minta datang ke rumah sakit Harapan untuk dimintai pendapatnya saat dokter ahli dari rumah sakit Harapan menemukan sesuatu terkait kondisi Naresh. Bagaimanapun, Professor Eko adalah dokter penanggungjawab yang selama ini memantau kondisi Naresh. Dan lagi, pria itu juga merupakan orang yang cukup terkenal dan berpengaruh di dunia medis karena beberapa jurnal penelitiannya sebagai neurologist menjadi rujukan beberapa calon dokter dari berbagai belahan dunia.

"bagaimana pindai CTnya?" Professor Eko bertanya pada dokter yang menangani Naresh di rumah sakit Harapan.

"SAH. Subarachnoid hemorrhage."

"spontan? Tidak ada gambaran trauma di kepala sebelumnya?" Professor Eko memastikan -dan anggukan dari lawan bicaranya menjadi jawaban. Professor Eko menghela napas dan membuangnya keras. Tidak menyangka bahwa ia akan dihadapkan dengan situasi menyebalkan seperti ini.

"saya... harus bagaimana ya, Prof?" dokter muda itu nampak bimbang di hadapan Eko. Meminta pendapat senior yang juga dosen kenalannya saat kuliah kedokteran dulu.

Pria yang beberapa tahun lebih tua itu menepuk pelan bahu juniornya. "sampaikan saja keadaannya.

-sampaikan saja, bahwa pada kenyataannya, ada hal-hal yang selalu berada diluar jangkauan kita sebagai dokter."


----


Seluruh kerabat sudah di kabari perihal kondisi Naresh. Jevano bahkan sempat menghubungi Mak Haji juga Haekal -melalui ponsel Naresh- untuk meminta sambung doa. Berharap setidaknya ada sedikit saja kesempatan yang akan Tuhan berikan untuk Naresh yang sedang berjuang.

Agung dan Jehian dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Harapan. Sedangkan Ivanny dan Dimas sudah sampai di sana sejak satu jam lalu. Mereka langsung datang, begitu mendapatkan kabar. Dan sunyi masih merambat di area tunggu ruang rawat itu. Menarik napas saja rasanya sungguh berat. Terlebih ketika dokter menyampaikan kabar tak menyenangkan dan tak ada yang bisa dilakukan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Bahkan Professor Eko pun menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada pihak keluarga.

Muliyono Salim memutuskan pergi dari sana. Tak tahan berlama-lama berdiam dalam suasana mencekik seperti itu. Rasanya ia sendiri seperti nyaris mati karena tak mampu bernapas dengan benar. Kaki-kaki renta nya perlahan mengarah pada area taman rumah sakit. Tempat dimana Naresh terakhir kali membuka mata dan menampilkan senyumnya. Siapa sangka, bahkan kurang dari duapuluh empat jam, Tuhan membalikkan semua keadaan dengan sekejap mata.

"sejak kapan Nana minta DNR?" tanya itu mengalun. Suara berat yang cukup familiar di telinga Muliyono Salim itu membuatnya menoleh. Cukup tak menyangka, bahwa Jevano berdiri di belakang untuk mengekorinya.

Muliyono salim menatap wajah sayu dengan mata sembab itu dengan senyum pedih. "duduk sini dulu. Temani Kakek..." pinta pria tua itu.

Malam yang merangkak naik, dengan segala kabar buruk membuat berbagai pikiran pendek melintas di kepala. Beradu argument -namun secara keseluruhan, menitik pada satu kesimpulan; mempertanyakan takdir Tuhan.

"maaf ya..." ujar pria sepuh itu seraya menepuk pelan paha Jevano yang duduk di sampingnya. "maaf nggak bisa jaga Nana..."

Jevano menangis terisak pada akhirnya. Kuat menahan diri sejak tadi, akhirnya pertahanannya runtuh juga.

"Nana kelelahan... dia bilang kalau dia udah capek, minta di lepas untuk istirahat." Muliyono Salim mengenang hari itu. Hari dimana Naresh meminta untuk dilepaskan, jika suatu saat tubunya yang kepayahan. "jadi dengan berat hati, Kakek menyetujui permintaannya. Hari itu, ketika Nana memulai semua pengobatan dan terapinya, Nana meminta persetujuan untuk DNR."

Jevano tergugu.

"Kakek mau nepatin janji, Kakek mau melepaskan... Tapi tadi, saat Yoana berusaha bawa dia kembali, Kakek pengen egois minta dia balik ke kita lagi." Sepasang Kakek dan cucu itu berurai air mata. "Kakek bersyukur bahwa Yoana cukup keras kepala untuk membawa Nana pulang pada kita."

"tapi sepertinya Tuhan tau bahwa Kakek manusia egois, kan? Tuhan tau bahwa Kakek tidak akan menyerah untuk Nana; makanya Tuhan nggak kasih kita opsi untuk memilih. Kita akan dipaksa mengirim Nana pergi..."

"Kakek pikir, Kakek sudah cukup tua. Kelak, Kakek akan pulang ke rumah Tuhan ketika sudah usai tugas Kakek untuk menjaga anak, menantu serta cucu-cucu... Bukan kehidupan masa tua seperti ini yang Kakek harapkan. Mengantar cucu untuk mengecek keadaan surga lebih dulu tidak pernah ada dalam list kehidupan yang ingin Kakek jalani... Rasanya ini lebih menyakitkan ketimbang ditinggal Nenekmu pergi..." keluh pria tua itu.

Jevano memeluk erat sang Kakek. Menyadari bahwa lubang menganga itu bukan hanya miliknya. Orang-orang yang menyayangi Naresh tentu punya perasaan serupa. Tapi kenapa Jevano merasa hanya dunianya yang runtuh dalam sekejap mata; sedangkan dunia milik orang-orang lain tetap bebas melenggang dengan santainya.


------

Kenzie tidak mau meninggalkan kursinya barang sekejap. Menolak meminum obatnya atau memakan makanannya. Ia hanya duduk diam di sisi bed Naresh seraya memperhatikan wajah sang kakak yang tak bergerak sama sekali. Jemarinya bertaut dengan milik sang kakak. Mengabaikan beberapa kali selang infusnya bergoyang karena pergerakannya.

Kenzie tidak pernah menyangka bahwa ia akan berada di situasi seperti ini. Serupa wilayah yang baru saja diterjang tsunami tanpa notifikasi. Luluh lantak tak bersisa -hingga untuk menangis pun, rasanya Kenzie tak kuasa. Tenaganya terserap habis. Hilang entah kemana. Biasanya, ia selalu memandang menyedihkan dirinya sendiri semenjak vonis dokter diterimanya. Banyak menangis dan mengeluh menyalahkan Tuhan yang tidak adil ketika menuliskan takdir. Namun kali ini, Kenzie merasa dia ditampar Tuhan dengan kenyataan keras. Abang tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika dulu Mama menolaknya, Abang tidak pernah banyak mengutarakan kesah. Abang hanya diam; mungkin sesekali menangis, namun Abang selalu nampak tak menaruh peduli lebih jauh. Abang selalu nampak menikmati hidupnya yang baik-baik saja, dan menanggalkan semua yang membuatnya luka. Tapi Kenzie tidak pernah menyangka, bahwa tegarnya Abang ternyata seberjuang ini.

"bangun..." Kenzie meminta dengan suara lirih yang menyayat hati.

"Abang janji buat sembuh, kan?" air matanya berhasil lolos kali ini.

"ayo bangun, Abang... sembuh bareng Ken..." remaja itu memohon dengan penuh seluruh. "Ken janji buat berusaha sembuh juga..."

"bangun, please..." kepala Kenzie bertumpu pada genggaman mereka. Hentakan jantungnya kembali terasa tak beraturan. Sesak bahkan untuk menarik napas.

"Ken mau ikut Abang..."

"kemanapun Abang mau pergi, tolong ajak Ken juga." lirih suara remaja tanggung itu mengudara. Di ruangan sunyi, matanya terpejam perlahan.

Ayo bertemu, di ruang dan waktu manapun yang Abang tuju. Ken akan berada di sana.


----

Author Note:

Selamat overthinking yeorobun!
Dalam dunia oren, apasaja bisa terjadi!

Cheers!

Btw, udah berasa angst belom sih?
((soalnya aku pas ngetik udah mulai sedia tissueee))

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang