"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Amora yang mendapatkan tatapan aneh dari Azler. Laki-laki yang biasanya memberikan tatapan tajam hingga membuat Amora mulai terbiasa itu kini menatapnya dengan tatapan lain, yang Amora belum pernah lihat sama sekali.
Azler kembali tersadar. Dia segera mengalihkan pandangannya dan berusaha untuk mengabaikan sebuah pemikiran yang tengah menyatu-nyatukan sebuah kebetulan yang mulai dia sadari. Pemikiran yang dia duga jika Amora adalah gadis kecil yang dulu merupakan temannya.
Tidak, itu tidak mungkin! sanggahnya. Manik mata berwarna abu memang jarang ditemukan. Tapi itu bukan berarti tidak ada, dan juga bisa saja jika ini hanya sebuah kebetulan. Sebuah kebetulan jika mereka berdua memiliki warna manik mata yang sama.
"Dimana aku?" tanya Amora yang baru menyadari jika dirinya berada di sebuah tempat yang tidak dia kenali sama sekali. Tempat mewah dan megah yang membuat Amora serasa sedang berada dalam dunia mimpi.
"Kau membawaku kemana?"
"Rumahku."
"Ini rumahmu? Benarkah? Sungguh indah sekali, dan pakaianmu? Pakaian ini jauh berbeda dengan pakaian yang kau gunakan sebelumnya di hutan. Kau ini siapa sebenarnya? Mengapa rumahmu ini sangat megah seperti istana?"
Terdengar sebuah decakan dari lelaki bermanik biru itu. "Apakah kau tidak bisa mengontrol mulutmu yang banyak bicara itu di saat baru saja sadar seperti ini?"
"Apa itu masalah bagimu?" Amora yang baru sadar langsung dibuat kesal hingga dia protes seperti ini. Dia sempat menghela napasnya sesaat sebelum lanjut berbicara, "hei, jelaskan padaku mengapa rumah ini sangat megah! Bahkan lebih cocok di sebut istana dari pada sebuah rumah."
"Jika ini memang istana?"
"Itu luar biasa, orang tuamu- ... Tunggu, jika ini adalah istana itu artinya ini tempat tinggal kaisar, permaisuri, dan kau ... Kau seorang pangeran?" Amora bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk dan tetap menatap Azler dengan tatapan bertanya sekaligus terkejut.
"Kau baru menyadarinya?"
"Ck, dasar bodoh dan pelupa," gerutu Azler dengan suara kecil, lalu dia membalikkan tubuhnya untuk pergi. Setelah melihat reaksi gadis itu, sepertinya tadi dia hanya tertidur saja dan sepertinya lukanya pun tidak kembali parah.
"Hei tunggu! A-aku merasa lapar. Apa aku bisa mendapatkan makanan di sini, Yang Mulia Pangeran?"
***
Di ruang makan istana yang megah ini, di sini lah Amora berada sekarang. Dia ditemani oleh Azler, sedang makan malam dengan duduk di salah satu kursi makan yang memiliki meja sangat panjang. Amora tidak tahu ada berapa kursi yang ada di ruangan ini. Dia terlalu malas untuk menghitungnya.
Amora terlihat sangat lahap memakan hidangan khas istana itu. Dia begitu fokus terhadap makanannya sampai-sampai tidak menyadari jika ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari sebrang. Dengan pikiran yang dipenuhi oleh sebuah kenangan di masa lalunya, manik biru itu menatap penuh harap pada Amora.
"Mmm... Semua makanan ini sangat lezat. Apa kau bisa memberitahuku siapa yang memasaknya? Mungkin aku akan menanyakan semua resepnya dan belajar memasak semua makanan lezat ini di rumah," ucap Amora tanpa mengalihkan pandangannya sekalipun dari makanan di hadapannya.
"Kau ini suka sekali bicara banyak, bahkan ketika makan juga."
"Memangnya kenapa? Kau merasa keberatan? Padahal aku menyukainya karena merasa memiliki seseorang yang akan mendengarkan semua ucapanku tanpa menyela atau menyentak. Tapi jika kau memang merasa terganggu, maafkan aku."
"Bukan itu, kau hanya harus menahannya saat makan jika tak mau tersedak."
Tepat setelah mengucapkan itu Amora benar-benar tersedak dan membuat Azler tersentak kaget. Dia segera menyodorkan gelas berisi air pada Amora untuk meredakan batuknya. Saat Azler akan berucap lagi, seorang prajurit datang dan hendak menyampaikan sesuatu padanya.
"Selamat malam, Yang Mulia Pangeran. Maafkan saya yang datang di malam-malam seperti ini," ucap si prajurit.
"Ada apa?" tanyanya pada prajurit itu.
"Yang mulia permaisuri ingin anda memperkenalkan gadis ini pada beliau. Yang mulia permaisuri akan menunggu anda di ruang pertemuan lantai dua."
"Ya, pergilah!"
Prajurit itu membungkuk hormat sebelum dia benar-benar pergi dari sana. Kini Azler kembali mengalihkan pandangannya pada Amora yang baru saja selesai menghabiskan semua makanan itu. Tampaknya dia sangat senang karena sekarang perutnya sudah terasa kenyang.
"Ah, kenyang sekali. Terima kasih banyak, Azler. M-maksudku ... Pangeran Azler?"
"Panggil saja sesukamu."
Seperti cara Azler membawa Amora ke ruang makan tadi, dia dipapah lagi oleh Azler untuk kembali ke kamar. Tetapi bukannya kembali ke arah sebelumnya mereka datang, kini Azler malah menuntun Amora menaiki tangga menuju lantai dua. Apakah Azler akan membawanya menuju ke tempat lain?
Azler membawa Amora memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat seorang wanita sedang duduk anggun dengan gaun tidurnya dan tersenyum manis ke arah mereka berdua. Wanita itu terlihat sangat cantik di usianya yang tak lagi muda.
"Apakah kau menikmati makan malammu?" tanya permaisuri Ziurich itu.
Amora mendekatkan diri pada Azler lalu berbisik, "Apakah dia ibumu?" tanyanya yang di jawab anggukan kecil oleh Azler.
"Ah ya, aku sangat menikmatinya. Terima kasih karena telah menyajikan makanan lezat itu untukku. Dan jika boleh aku ingin meminta resep masakannya- Aw..." ringis Amora di akhir karena dia merasakan sakit pada lengannya yang dicubit oleh Azler.
Amora menoleh dan melihat Azler menatapnya dengan tajam. Asal dia tahu, tatapan itu sudah tidak mempan lagi baginya. Selama kurang dari satu pekan ini dia sering melihat tatapan tajam itu hingga kini, dia sudah menganggap itu sebagai tatapan biasa seorang Azler.
"Apa yang kau lakukan? Kau mencubit lenganku? Kenapa kau melakukan itu?" omel Amora dengan berbisik pada Azler agar wanita di sebrangnya tidak dapat mendengarnya.
"Apa ada masalah?"
"Tidak, Nyonya, eh ... Maksudku, Yang Mulia Permaisuri."
Dengan memaklumi ucapan Amora, permaisuri hanya tersenyum tipis sebagai tanggapannya. "Bagaimana dengan lukamu?" lanjut permaisuri bertanya.
"Sedikit membaik."
"Aku sangat berterima kasih padamu yang telah menolong putraku. Maafkan dia jika pernah membuatmu tidak nyaman dengan sikapnya."
Oh, tentu saja. Dari saat pertama kali bertemu Amora sangat merasa tidak nyaman bahkan merasa takut dengan Azler yang ternyata adalah laki-laki yang sangat menyebalkan. Tapi tidak mungkin jika Amora memberitahukan semua itu secara langsung pada ibunya. Bisa-bisa setelah keluar dari ruangan ini Azler langsung mengirimnya pada orang-orang yang hampir membunuhnya itu.
"Semoga kau betah tinggal di sini hingga keadaanmu pulih. Selamat malam, dan selamat beristirahat. Semoga tidurmu nyenyak."
"Selamat malam."
Azler kembali menuntun Amora berjalan perlahan menuruni tangga dan akhirnya sampai di ruangan kamar yang sebelumnya ditempati oleh gadis itu.
"Aku ingin pulang," ucap Amora yang sudah duduk kembali di atas tempat tidur.
"Kau akan berada di sini sampai keadaanmu pulih," ucap Azler yang langsung berjalan pergi dari kamar. Tetapi sebelum Azler benar-benar menutup pintu kamarnya, dia berbalik dan menatap Amora.
"Selamat malam."
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasy[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...