Bab 18 - Pertemuan Dua Keluarga

5.3K 628 0
                                    

Setelah satu minggu berlalu, Amora merasa jika kini hidupnya tidak terlalu kesepian seperti dulu. Pelayan pribadinya itu sangat memperhatikannya dan Amora baru merasakan bagaimana rasanya mendapat perhatian dan kasih sayang itu. Karena sudah terlalu dekat, Amora sampai menganggap Eva sebagai kakaknya sendiri.

Kini gadis yang berusia lima tahun lebih tua dari Amora itu tengah menata rambut coklat nonanya dan memberikan polesan tipis pada wajah Amora. Malam ini dia dipercantik dengan gaun indah berwarna putih dan perhiasan di tubuhnya. Bukannya tanpa alasan, Amora akan melaksanakan acara pertunangannya dengan Steve di kediaman laki-laki itu.

Tidak terlalu mewah dan juga hanya di datangi oleh kerabat dari Steve saja. Acara itu pun dilaksankan di dalam ruangan dan tidak akan berlangsung lama.

Sebenarnya Amora masih belum merasa siap untuk semua ini, tapi mau bagaimana lagi? Kehidupannya ini berada di tangan orang tuanya dan dia tidak bisa bebas menentukan kehidupannya sendiri.

"Eva, a-aku tidak siap."

"Sebelumnya aku ingin bertanya dulu padamu. Apa yang kau rasakan saat bersama dengan Steve?"

"Dia orang yang baik dan juga perhatian, aku memang merasa nyaman di dekatnya."

"Kalau begitu apa ada yang harus kau khawatirkan? Tidak bukan? Orang tuamu sudah memilihkan laki-laku yang baik untukmu dan kau juga merasa cocok dengannya."

Ah, sepertinya bukan itu yang Amora maksud. Amora akui jika dia memang merasa nyaman dengan Steve, tapi ada sebuah perasaan lain yang membuatnya tidak bisa melangkah lebih jauh untuk menyukai Steve. Entahlah, Amora juga tidak mengerti dengan perasaannya itu. Tapi Amora benar-benar belum bisa menyukai laki-laki yang sebentar lagi akan bertunangan dengannya.

"Ayo Amora, kereta kudanya sudah siap. Aku akan selalu menemanimu di sana, kau tidak perlu khawatir."

Eva menuntun Amora keluar dari kamarnya dan saat berada di ruang utama Amora melihat kedua orang tuanya juga telah siap dan sedang menunggu putri kesayangan mereka, Moritha.

Mereka bertiga tidak akan ikut dengan Amora ke kediaman Aleister. Mereka memiliki urusan lain yang lebih penting, Amora tidak tahu apa itu namun mereka bertiga akan pergi ke istana kekaisaran saat ini juga.

Tatapan yang Amora berikan pada mereka sama sekali tidak dibalas. Keberadaan Amora hanya seperti sebuah angin di rumah ini, ada tetapi tidak di anggap. Amora pun menghela nafasnya sebelum akhirnya pergi dari rumah.

***

Sedari tadi pagi suasana hati Azler sedang sangat baik. Laki-laki yang biasanya berwajah datar itu sepanjang hari ini menampilkan senyuman tipisnya. Bukannya tanpa alasan, tapi entah kenapa Azler merasa senang ketika diberi tahu sang ibu jika dirinya akan dijodohkan dengan putri dari Marquess Cambrean.

Oh tentunya kini Azler sudah berpenampilan rapi dan baru saja seorang pelayan datang untuk memberitahu jika dirinya dipanggil ke taman belakang istana, di mana sudah disediakan sebuah tempat untuk perkumpulan antara dua keluarga ini.

Dengan didampingi Sean, Azler berjalan menuju taman belakang walau sebenarnya dia merasa risih karena terus mendengar godaan dari laki-laki berambut jingga di sebelahnya. Tetapi karena hari ini berbeda, maka Azler mencoba untuk menahan kekesalannya itu.

Terlihat kedua orang tuanya yang sudah duduk di sana, dan saat akan lebih mendekat Azler memerintahkan Sean untuk pergi lebih dulu. Setelah itu Azler kembali melangkah dan menarik kursi di samping ibunya untuk dia duduki.

"Selamat malam ayah, selamat malam ibu."

"Selamat malam putraku, kurasa kau sudah tidak sabar menunggu kedatangan putri Cambrean itu," goda ibunya.

Tak berselang lama, keluarga Cambrean itu datang dari arah belakang Azler. Tentunya dia tidak dapat melihat kedatangan gadis itu, namun dia menunggu hingga gadis itu duduk di kursi sebrangnya.

Setelah Marquess dan Marchioness Cambrean duduk, baru lah gadis itu mengambil tempat di hadapan Azler. Namun betapa terkejutnya laki-laki itu ketika mengetahui jika gadis yang akan dijodohkan dengannya adalah Moritha.

Bukan Amora? batinnya. Sedari pagi dia sudah mengira jika Amoralah gadis yang akan dijodohkan dengannya. Lalu setelah mengetahui Moritha, perasaan senangnya kembali hilang dan dia ingin segera pergi dari sana.

Kenapa Azler bisa melupakan jika Marquess Cambrean tidak hanya memiliki seorang putri. Bahkan Amora merupakan putrinya yang seperti tidak di anggap. Pastinya sang Marquess lebih mementingkan kebahagiaan putri kesayangannya, Moritha.

"Ya, dan sepertinya putraku juga merasa senang," ucap Permaisuri dalam perbincangan itu yang membuat Azler tersadar dari lamunannya.

"Tidak," Azler bangkit dan menghentikan perbincangan tentang perjodohannya itu, kini mereka berlima pun menatap keheranan padanya. "Aku permisi yang mulia," pamitnya dan langsung pergi dari sana dengan langkah lebar.

***

Suara gelak tawa terdengar dari seorang laki-laki berambut pirang. Azler jadi bertambah kesal karena itu. Sepertinya dia sudah bercerita pada orang yang salah. Seharusnya dia diam saja dan tidak memberitahukan tentang perjodohannya pada siapapun.

"Kau menyukai kakaknya tetapi mereka malah menjodohkanmu dengan adiknya. Seharusnya kau bilang saja tadi jika kau ingin Amora yang dibawa, bukan Moritha."

"Diamlah!"

Apa kalian sudah bisa menebak siapa laki-laki itu? Ya, dia adalah Eldean. Siapa lagi yang mengetahui rahasia Azler selain laki-laki itu. Tetapi sepertinya Azler masih harus mengoreksi ucapan Eldean tadi.

Sampai saat ini Azler masih belum bisa menentukan perasaannya pada Amora. Gadis itu memang menarik dan dapat membuatnya kepikiran. Dia juga selalu merasa jantungnya berdetak lebih cepat jika berada di dekat Amora. Tetapi masih ada satu hal yang ingin Azler ketahui dari gadis itu sebelum dia benar-benar menentukan perasaannya.

"Lalu jika yang mulia kaisar bertanya lagi padamu tentang keputusanmu, apa jawaban yang akan kau berikan?"

"Tentu saja kutolak."

Azler kembali masuk ke dalam ruangan kerjanya diikuti Eldean yang menutup pintu balkon. Mendengar ketukan pada pintu ruangannya, Azler pun bergerak membuka pintu itu dan mendapati seorang prajurit yang langsung membungkuk hormat serta memberitahukan sebuah kabar.

Prajurit yang telah menjadi pilihannya untuk mengerjakan sebuah tugas rahasia dari satu minggu yang lalu ini memberitahukan sesuatu dengan berbisik pada Azler. Ini merupakan salah satu perintah Azler jika dirinya sedang tidak sendiri. Tentunya dia tidak mau ada orang lain yang mengetahuinya selain dirinya sendiri.

Eldean yang berada beberapa langkah di belakang Azler hanya menatap dengan penuh penasaran saja. Hingga setelah prajurit itu kembali pergi, Eldean melihat perubahan pada raut wajah Azler dan tangan lelaki itu terkepal kuat seperti sedang menahan kekesalan.

"Ada apa? Apa aku bisa mengetahuinya?"

"Pergilah!"

"Pergi?"

"Pergi!!" Jika nada bicara Azler sudah naik seperti ini itu artinya dia memang sedang merasa kesal. Namun apa-apaan ini? Eldean bertanya tetapi malah disuruh pergi. Padahal Eldean juga ingin tahu alasan kekesalan Azler. Siapa tahu dia dapat membantunya dengan membalaskan rasa kesal itu.

*To Be Continue*

BLACK MAGIC [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang