Di dalam sebuah gua yang berada di pertengahan hutan pada malam bulan purnama ini, dua orang gadis tengah berada di dalamnya dan duduk berhadapan. Tak ada penerangan apapun selain dari cahaya bulan yang masuk melalui mulut gua.
Seorang gadis berjubah hitam sedang memejamkan matanya dan berusaha memfokuskan pikiran. Setengah wajahnya yang tertutup topeng hitam itu terus di perhatikan oleh gadis berambut jingga yang duduk di hadapannya.
Keterkejutan sedikit dirasakan gadis berambut jingga itu ketika gadis di hadapannya membuka mata dan memperlihatkan manik hitam kelamnya, menatap tajam gadis itu. Bibirnya yang semerah darah seketika menyunggingkan senyum yang tidak biasa.
"Ingatlah jika ada satu orang saja yang berada di sekitar targetmu walaupun dalam jarak yang jauh dan melihat ke arahnya, maka sihir ini akan langsung bereaksi dengan sangat hebat. Berhati-hatilah!"
Gadis berambut jingga yang merupakan Merliana itu mengangguk paham. Dia diberi sebuah mangkuk yang berisi sebuah bunga berwarna merah muda bercampur biru yang sangat cantik. Air yang berada di dalam mangkuk itu juga sudah dicampur sesuatu yang membuat air itu menjadi sangat harum, namun harum itu bukan berasal dari bunganya.
Merliana tersenyum lebar dengan kedua bola matanya yang berbinar menatap bunga cantik itu. Dia menarik tudung jubahnya untuk menutupi kepala lalu menerima mangkuk berisi bunga itu.
"Terima kasih, aku sangat beruntung bisa bertemu denganmu. Terimalah koin-koin ini sebagai bayaran yang kau minta." dia memberikan sebuah tas serut berukuran sedang yang berisi koin-koin emas.
"Kau membayarnya terlalu banyak. Aku tidak terlalu membutuhkan ini." Senyuman aneh kembali tersunggingkan di bibir merah itu.
"Tidak apa, aku sedang sangat bahagia. Terima saja semua itu. Kalau begitu, aku pamit."
Merliana mulai bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari gua. Si gadis bertopeng yang masih duduk di dalam gua kembali tersenyum sangat lebar, lalu kekehan pun keluar darinya. Setelah itu dia tiba-tiba saja menghilang dari sana.
***
Perang sudah berlangsung selama satu pekan lebih dan selama itu pun Amora selalu mengkhawatirkan orang-orang yang sedang berjuang di medan perang, terutama ayahnya, Steve dan juga Azler.
Gadis itu kini sering melamun di dekat jendela. Dia menatap kosong ke arah luar dan selalu menunggu kepulangan pasukan Ziurich dengan membawa kemenangan.
Sebuah suara ketukan pada pintu kamar membuat Amora tersadar dari lamunannya dan menoleh ke belakang. Dia berjalan ke arah pintu dan melihat sebuah surat yang sepertinya dimasukkan lewat celah bawah pintu.
"Amora, kau mendapat surat dari seseorang," ucap Eva pelan dari balik pintu. "Jika kau ingin membalasnya maka keluarkan surat balasanmu itu lewat celah bawah pintu di saat malam nanti," lanjutnya dan langsung pergi dari sana karena masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dikerjakan.
Tangan Amora bergerak mengambil surat itu dan membawanya hingga dia duduk di atas tempat tidur. Amora merasa bingung karena ini adalah pertama kalinya dia mendapatkan surat dari seseorang. Ingin merasa senang, namun dia juga takut jika ternyata surat ini dari seseorang yang misterius dan ingin menerornya. Daripada terus merasa penasaran, Amora pun mulai membuka surat itu dan membaca isi pesannya.
Perasaan Amora langsung bercampur aduk setelah membaca pesan yang teramat singkat itu. Dia tidak percaya jika dirinya mendapat pesan dari orang yang sedang merindukannya. Dengan melihat panggilan yang diberikan si penulis surat untuknya, Amora sudah dapat menebak jika dia adalah Azler.
Senyum Amora langsung mengembang seketika, namun ketika mengingat sesuatu senyuman itu luntur kembali. Apakah dia masih bisa bertukar pesan dengan seorang laki-laki? Sementara kini dia sendiri sudah menjadi tunangan Steve. Amora mendadak bingung dengan hal ini.
Jika saja perjodohan ini tidak ada mungkin Amora bisa bebas bertukar pesan dengan Azler. Lagi pula, entah kenapa Amora merasa lebih senang saat bersama dengan Azler di banding dengan Steve. Steve mungkin teman bicara yang baik, tapi Azler merupakan seseorang misterius yang ternyata peduli secara diam-diam.
Amora jadi teringat kembali ketika Azler menolongnya saat tertusuk belati di rumah pohon, mencegah sebuah kerikil yang hampir mengenai kepalanya, menolongnya dari para pemuda yang sedang mabuk, dan laki-laki itu juga menemaninya di saat penyakitnya terasa.
Walaupun tidak banyak bicara dan terkadang menyebalkan, namun Amora menyukainya. Ya, Amora menyukai Azler.
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasía[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...