Keadaan terasa sedikit tegang di dalam ruangan yang dipenuhi banyak orang itu. Seorang wanita tua yang berdiri di tengah ruangan dan membawa wadah bekas racun menjadi pusat perhatian semua orang. Dia adalah kepala medis sebelum Johanna, yang sudah berhenti bekerja karena tidak bisa terlalu lelah di usianya itu.
Dalam masalah pembunuhan sang permaisuri ini dia diminta kaisar untuk meneliti bahan apa saja yang digunakan sebagai racun dan apakah ada hubungannya dengan sihir hitam atau tidak. Asap yang keluar saat itu sudah pasti bentuk dari sihir hitam, namun perantaranya haruslah diketahui.
Kaisar sendiri sudah sangat yakin jika pelakunya adalah saudara kembar Veelaz itu. Kedua orang tua mereka yang merupakan seorang Earl sudah di bawa ke istana dan mereka juga ada di ruangan ini. Andrew Veelaz sedari tadi sudah ingin berbicara, namun kaisar belum memberikannya izin.
"Ada campuran bunga averte dan darah seorang penyihir hitam di dalamnya. Darah mereka sendirilah yang menjadi perantara masuknya sihir hitam ke dalam tubuh mendiang yang mulia permaisuri. Sihir itu bekerja dengan cepat karena dukungan racun dari bunga averte ini dan membuat tubuh mendiang yang mulia permaisuri bisa seperti itu," jelas wanita tua itu panjang lebar.
"Lalu, bagaimana cara si penyihir mengendalikan sihir hitamnya?" tanya kaisar yang masih penasaran. Karena jika memang Johanna dan Johannes pelakunya, Johannes pasti melakukan sesuatu untuk mengendalikan sihir hitamnya.
"Mereka bisa mengendalikannya melalui pikiran mereka dan mereka harus sangat berkonsentrasi, Yang Mulia. Biasanya jika mereka sedang mengendalikan sihir hitam, manik mata mereka akan berubah hitam kelam."
Johannes memiliki manik mata yang hitam, jadi sulit untuk mengetahui apakah dia penyihir hitam atau bukan. "Baik Nyonya Gulma, terima kasih atas penjelasan yang anda berikan. Anda bisa kembali."
"Sebuah kehormatan bagi hamba, Yang Mulia. Hamba pamit."
Baru saja wanita tua bernama Gulma Scott itu berbalik, seorang prajurit masuk dan langsung membungkuk hormat. "Maaf, Yang Mulia, namun sepertinya ada satu hal lagi yang harus diperiksa," ucap prajurit itu.
"Hamba menemukan botol ini di kamar Nona Johanna. Saat didekatkan pada hidung, bau yang menyengat langsung tercium."
Nyonya Gulma menghampiri prajurit itu dan mengambil botol berisi cairan berwarna hijau pekat dari tangan si prajurit. Tanpa penutup botolnya dibuka pun bau menyengat itu memang langsung tercium. Baunya sama persis seperti yang ada pada wadah racun tadi.
"Tidak salah lagi, Yang Mulia, inilah botol berisi sari dari bunga averte."
"Warna hijau seperti itu. Sepertinya aku pernah melihatnya, Yang Mulia," ucap Eldean sambil mengingat-ingat sesuatu.
***
Di penjara bawah tanah, hanya kegelapan dan kesunyian yang menemani saudara kembar itu. Dinginnya lantai batu menjalar dari telapak kaki hingga seluruh tubuh, membuat Johanna yang duduk menyandar pada tembok langsung meringkuk memeluk kedua lututnya. Air mata sedari tadi masih terus mengalir, namun kali ini tak ada isakan yang terdengar.
Setelah mereka dimasukkan ke dalam ruangan berjeruji ini Johanna langsung menyudut ke tembok dan menangis sesenggukkan, di saat Johannes mendekati pun dia langsung menolehkan wajahnya ke sudut tembok. Johanna terus menangis, tak mau berbicara apapun pada kembarannya. Padahal Johannes sangat mempercayai Johanna dan dia juga percaya jika bukan Johanna yang melakukan hal ini.
"Apa kau akan terus terdiam dan menangis?" Johannes coba buka suara lebih dulu dan membuat Johanna menoleh padanya.
Johanna yang sebelumnya duduk membelakangi Johannes kini memutar tubuhnya. Johanna masih belum berkata apapun, dia menatap dalam manik hitam kembarannya dan matanya kembali berkaca-kaca. Johanna memeluk Johannes yang langsung dibalas pelukan juga.
"Kau percaya padaku, kan, Jo? Aku bukan pembunuh, aku tidak membunuh siapapun, aku tidak berbuat hal keji itu, aku bukan pem-bu-nuh..." Tangisan kencang keluar lagi dan air matanya membasahi pakaian Johannes, namun hal itu tidak jadi masalah. Johannes mengelus rambut hitam Johanna untuk menenangkan kembarannya.
"Aku selalu percaya padamu," hening sebentar, "kita tidak bersalah, Johanna, kau harus yakin jika mereka tidak akan menemukan bukti atas kesalahan yang tidak kita lakukan sama sekali. Kita pasti akan dibebaskan."
Brakk!
Setelah seorang prajurit membuka kuncinya, pintu jeruji itu didorong kuat hingga membentur tembok. Para prajurit itu segera masuk dan membawa mereka ke ruang singgasana. Namun sebelumnya, mereka telah mengikat tangan si kembar Veelaz itu ke belakang agar tidak dapat berusaha untuk kabur.
Melihat kedua anaknya memasuki ruangan sebagai tersangka pelaku pembunuhan dan penggunaan sihir hitam, Tuan dan Nyonya Veelaz langsung berkaca-kaca dan menatap satu sama lain.
Kini Johanna dan Johannes telah berlutut di tengah ruangan sambil menundukkan kepala. Terutama Johanna, dia sangat berhati-hati agar tidak menatap kedua orang tuanya. Selain tidak mau melihat tatapan kekecewaan atas hal yang tidak dia lakukan, dia tidak mau jadi menangis kembali dan terlihat lemah.
Berbeda dengan Johannes, setelah menundukkan kepalanya sekejap dia memberanikan diri untuk menatap kaisar. Dia ingin sekali berbicara untuk mengatakan bahwa Johanna dan dirinya tidak mungkin melakukan hal keji itu. Dia sangat ingin meyakinkan semua orang tentang hal itu, karena mereka telah menangkap orang yang salah. Mereka hanya membuang waktu mereka dengan ini dan mungkin sang pelaku yang asli telah pergi jauh dari sini.
"Yang Mulia–"
"Buka tali yang mengikat tangannya!" perintah kaisar pada seorang prajurit yang berdiri di belakang Johanna.
Gadis berambut hitam panjang itu masih menundukkan kepalanya sambil memejamkan mata. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan padanya, namun dia sangat berharap jika perkataan Johannes tadi benar, bahwa mereka mungkin akan dibebaskan.
"Perlihatkan kedua tanganmu, Nona Veelaz."
Johanna membuka matanya lalu menoleh ke arah saudara kembarnya, Johannes membalas dengan senyuman tipis untuk memberinya semangat. Dengan perlahan, Johanna pun mengulurkan kedua tangannya ke depan atas perintah kaisar.
Terlihat dengan jelas jika di kedua telapak tangannya terdapat bercak hijau yang Johanna sendiri tidak ketahui penyebabnya. Seorang wanita tua yang berdiri tidak jauh darinya pun segera menghampiri dan mencium bau dari bercak hijau yang ada di telapak tangannya.
"Sama seperti botol yang ditemukan, baik itu dari warna maupun baunya," ucap Nyonya Gulma. Johanna menatap sendu pada wanita tua yang sangat dikenalinya itu. Dia merupakan salah satu murid yang mempelajari segala hal tentang medis dari mantan kepala medis itu.
Awalnya Nyonya Gulma memang tidak percaya dengan Johanna yang menjadi tersangka akan hal pembunuhan ini. Namun kini setelah dia meneliti bercak hijau pada tangan murid kesayangannya, dia menatap tak percaya.
Johanna menggeleng kecil pada wanita tua itu, ini tidak seperti yang semua orang pikirkan. Dia bukan pembunuh dan dia tidak tahu bercak hijau ini berasal dari mana. Semua orang bahkan kedua orang tuanya sekarang pasti sudah menyimpulkan jika memang dia pelaku atas pembunuhan ini, hal itu membuat Johanna kembali menundukkan kepalanya dan air mata langsung keluar.
Kedua orang tua mereka yang sebelumnya masih yakin dan ingin berbicara untuk membebaskan anak-anak mereka kini bungkam dan sangat terkejut. Mereka hanya tertunduk dan bahkan hati mereka tak dapat berkata apa-apa lagi.
"Jadi sepertinya sudah jelas jika mereka memang pelakunya. Bawa mereka ke Poena sekarang juga," ucap kaisar dengan kedua tangannya yang terkepal kuat karena menahan amarahnya.
Mendengar nama Poena tentunya semua orang sudah mengetahui hukuman apa yang Kaisar berikan terhadap saudara kembar Veelaz itu. Hukuman mati. Johanna benar-benar sudah pasrah, dirinya seperti dijebak seseorang agar terbukti sebagai pelaku. Johanna sudah tidak bisa melakukan apa-apa, semua orang tengah memberi tatapan kekecewaan padanya. Bahkan Azler tidak menatapnya sama sekali. Sudah kehilangan harapan, kepercayaan, kini dia akan kehilangan kehidupannya juga.
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasy[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...