"Jangan banyak bicara dan katakan saja apa tujuanmu yang sebenarnya!"
Kini Sean yang berbicara dengan nada tinggi. Laki-laki berambut jingga itu mengarahkan pedangnya pada Arabella. Tatapannya tajam dan menusuk. Emosinya yang mengingat kematian Merliana muncul dan api yang bergejolak dalam dirinya seolah siap untuk ditumpahkan. Namun gadis dengan rambut merah itu hanya terlihat santai saja, bahkan setelah menjentikkan jarinya pedang yang digenggam Sean langsung terlempar jauh.
"Jika kalian bisa mengalahkanku maka kalian akan mendapatkan jawaban itu." Sebilah pedang muncul secara tiba-tiba dan langsung diarahkan ke Sean. Jika saja Eldean tidak bergerak cepat, laki-laki berambut jingga itu sudah tertusuk.
Sean baik-baik saja, tapi Eldean lah yang terkena tusukan pedang bersihir milik Arabella. Dari mulutnya, Eldean memuntahkan darah. Sedangkan luka tusukan pedang itu membuat kulitnya melepuh dan menghitam. Sedikit kepulan asap pun keluar dari sana. Sebelum benar-benar terjatuh ke lantai, Sean dengan cepat menangkap tubuh sahabatnya itu. Dia menatap tak percaya dengan hal yang baru saja terjadi ini.
"Oh, aku tidak menduganya. Ini terlalu cepat. Padahal aku ingin menyiksanya lebih dulu."
Kekesalan, amarah, dan kebencian berkumpul hingga membuat dada Sean bergemuruh. Matanya memerah dan urat-uratnya menonjol. Rahangnya mengeras serta kedua tangannya mengepal kuat. Sean bergerak cepat untuk bangkit dan mengambil pedangnya lalu menyerang Arabella secara membabi buta.
"Penyihir sialan!!!"
***
Dinding istana yang bisa dibilang kokoh mulai retak pada dua sisinya. Lilin-lilin yang menyala terpadamkan oleh gerakan cepat Amora menyerang Azler. Di depan sana merupakan tempat balkon istana berada, dan Azler terus berlari ke arah sana sambil menghindari serangan dari belakang.
Saat jarak Azler tinggal beberapa langkah sampai di balkon, tangan Amora bergerak meruntuhkan sebuah pilar hingga membuat atapnya roboh. Salah satu reruntuhan pilar itu mengenai Azler hingga membuat lelaki itu terdorong sampai membentur tembok pembatas balkon. Reruntuhan tadi sedikit menimpanya hingga membuat punggung dan lengannya terluka.
Amora menghentikan langkahnya tak jauh dari tempat Azler terbaring. Ringisan pelan terdengar saat laki-laki itu berusaha untuk bangkit. Seakan tidak mau memberi kesempatan, sebelum Azler benar-benar bangkit Amora kembali menyerangnya dengan menggunakan sihirnya yang diarahkan pada tubuh Azler.
"Ahh–, Amora... hentikan! Amora, sadarlah!"
***
Aku merasa tak tega mendengar suara Azler yang memohon itu. Sangat tidak tega. Mungkin aku memang sempat membencinya, tetapi kini perasaan itu seperti hilang dalam seketika saat aku melihatnya tersiksa.
Aku sangat sadar dengan apa yang tubuhku lakukan, tapi aku sama sekali tidak bisa mengendalikannya. Tubuh ini terus bergerak untuk menghancurkan sesuatu atau membunuh seseorang yang ada di hadapanku. Tubuh ini dikendalikan penuh oleh sihir hitam yang ada di dalamnya.
Dalam beberapa jam ini, sihir hitam itu telah mengubahku menjadi pembunuh sadis yang tak memiliki perasaan. Tanganku ini telah membunuh puluhan atau mungkin bahkan ratusan prajurit yang tak berdosa. Aku sudah sangat kotor karena hal itu. Dan kini, di hadapanku Azler tengah terbaring lemah namun laki-laki itu tetap berusaha untuk bangkit kembali.
Dengan sekuat tenaga aku mencoba untuk mengendalikan tubuhku, aku tidak ingin menyakitinya, aku tidak mau membunuhnya. Namun tubuh ini tetap saja tidak bisa dikenalikan. Tanganku bergerak mengayun ke atas, mengangkat sebuah reruntuhan pilar yang berukuran cukup besar. Lalu dengan gerakan cepatnya yang mendahuluiku, Azler menggerakkan pedang—yang entah didapat dari mana—ke arahku hingga menggores tangan kananku yang terangkat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasi[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...