Waktu tiga puluh hari tak terasa sudah terlalui dan sampai detik ini pun Amora masih belum dapat ditemukan, baik oleh Azler ataupun Ellioz dan Envioz yang juga mencari adiknya.
Dari saat datang kembali ke istana pada malam hari, dan kini matahari sudah terbit kembali Azler tidak tidur sama sekali. Laki-laki itu terdiam di dekat jendela kamarnya, pandangannya kosong dan lurus keluar sana. Beberapa ketukan pada pintu terdengar sedari tadi namun hanya dia abaikan saja.
Harapannya memang sudah berkurang, namun di dalam hati kecilnya masih ada keyakinan jika dia bisa bertemu dengan Amora lagi. Mungkin saja waktunya belum tepat. Tapi karena dia sudah berjanji hanya akan mencari Amora dalam waktu tiga puluh hari saja, maka di hari ini dia mau tidak mau harus bertunangan dengan seseorang yang telah dipilihkan kaisar untuknya.
Tidak bisakah seorang kaisar melajang seumur hidupnya? Bahkan Azler tidak memiliki ketertarikan lagi pada tahta dan kekuasaan. Dia hanya ingin mencari Amora hingga mereka benar-benar dipertemukan kembali.
"Jika saja aku seorang kaisar mungkin aku akan berbaik hati memberikanmu waktu lebih dan bahkan tidak akan memaksamu untuk menikahi gadis lain."
Eldean melangkah masuk dan berdiri di samping Azler. Laki-laki itu mengetahui jika Azler tidak tidur semalam, dia bahkan mudah menebak siapa yang ada dalam pikiran sang putra mahkota.
"Jika bisa aku ingin memberikan kekuasaanku padamu saja, dan aku akan pergi untuk mencarinya,"
Eldean terdiam, lalu dia menoleh pada Alzer. "Bisakah aku juga berharap acara ini gagal?"
"Sepertinya tidak mungkin." Azler mulai berbalik dan bergerak menuju tempat tidurnya. Di sana, sepasang pakaian telah disiapkan khusus untuk acara hari ini.
Helaan napas berat terdengar. Dalam sesaat Azler ingin bisa menghilang begitu saja dari bumi ini, tapi dia juga harus memenuhi janji yang telah dia buat tiga puluh hari yang lalu. Dia tidak mungkin mengingkari janji itu, tapi dia juga tidak bisa memaksakan perasaannya pada orang lain.
***
Sudah tiga puluh hari Amora terkurung di dalam ruangan berjeruji besi. Keadaannya semakin buruk dan penampilannya cukup mengerikan. Kantung mata yang menghitam, rambut berantakan, tubuh yang semakin kurus dan kotor.
Setiap harinya dia hanya terdiam mematung, dan tak ada lagi semangat yang terlihat. Seorang pelayan pun sampai harus membantunya memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Terkadang dia tidak mau makan, dan hanya makan beberapa suap saja.
Setelah tiga puluh hari itu Arabella tidak datang menemuinya lagi, entah kemana gadis itu, sepertinya dia tidak mempedulikannya. Juga laki-laki yang Arabella sebut pamannya dan Amora duga adalah Baron Cambrean tidak pernah terlihat sama sekali.
Tubuh kurus yang hanya duduk atau berbaring selama tiga puluh hari itu terasa sangat kaku digerakkan. Apalagi kedua pergelangan tangannya yang dirantai, kini mati rasa. Beberapa kali Amora mencoba mengeluarkan sihirnya untuk menghancurkan rantai ini, tetapi tidak bisa. Kekuatannya sama sekali tidak keluar. Sepertinya pengaruh sihir hitam pada rantai yang membuatnya tidak bisa mengeluarkan kekuatan sama sekali.
Beberapa jam yang lalu seorang pelayan datang untuk menyuapinya makan malam. Sebenarnya tadi Amora sangat tidak ingin makan, namun dirinya sangat dipaksa hingga makanan itu benar-benar habis.
Saat ini, dari kejauhan terlihat bayangan dua pelayan yang datang. Ini sudah hampir tengah malam, dan entah apa yang akan mereka lakukan dengan datang ke sini. Gembok pada pintu berjeruji itu dibuka dan mereka masuk ke dalam.
Biasanya jika mereka datang hampir tengah malam seperti ini, mereka hanya akan memberikannya sebuah cairan berwarna hijau dengan rasa pahit namun membuat tubuh Amora terasa lebih baik setelah meminumnya. Tapi kali ini, mereka bahkan melepas rantai yang mengikat kedua tangannya dengan sebuah cairan berwarna hitam pekat.
Setelah rantai itu terlepas, kedua tangan Amora diletakkan pada pundak mereka masing-masing dan mereka membantu Amora berdiri. Entah akan di bawa ke mana, Amora tak dapat melawan karena tubuhnya sangat lemas.
Keluar dari ruangan berjeruji, mereka melewati lorong gelap yang panjang lalu menaiki tangga. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka sampai di depan sebuah ruangan yang memiliki penjagaan sihir. Setelah pintu diketuk, seorang pria paruh baya dengan memakai jubah hitam panjang keluar dari dalam sana.
Seringaiannya membuat Amora merinding seketika. Siapa dia?
Pria itu membuka lebar pintunya dan dua pelayan di samping kanan-kiri Amora membawa gadis itu masuk lalu mendudukkannya di sebuah kursi yang berada di tengah ruangan. Mereka membungkukkan tubuhnya pada si pria sebelum akhirnya pergi dan menutup pintu.
Amora tersentak saat pintu ruangan itu ditutup. Dia mencoba menguatkan diri untuk lebih waspada walau perasaannya sangat takut. Terlebih saat pria tadi mulai berjalan dan menghampirinya.
"S–siapa kau?" tanyanya dengan suara lemah dan bergetar. Amora berusaha untuk bangkit namun tangan pria itu bergerak lebih cepat mengeluarkan sihir dan membuat tubuhnya terikat pada kursi. Sihir yang dimiliki pria itu adalah sihir hitam dan berupa asap pekat yang melingkar menyerupai tali. Semakin Amora banyak bergerak, semakin tali sihir itu mengikatnya dengan kencang.
"Kau masih sangat lemah, keponakanku. Jadi, duduklah saja dengan tenang."
Keponakan? Jadi, apakah pria ini lah paman yang dimaksud Arabella? Lalu dia juga yang telah menculik dan membawanya ke sini? Tapi kenapa dia tega menculik keponakannya sendiri?
"Kenapa kau membawaku ke sini dan mengurungku seperti seorang tahanan?"
"Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk mengurungmu seperti itu jika saja aku bisa mendapatkanmu lebih cepat. Namun karena keadaan, aku terpaksa mengurungmu dan menunggu hingga saat yang tepat."
"Apa maksudmu?"
"Yang aku tahu, bukankah kau masih belum bisa mengendalikan kekuatanmu itu?"
Amora terdiam dan tidak berminat menjawab pertanyaan itu.
"Bagaimana jika aku bantu agar kau bisa mengendalikan kekuatanmu, bahkan kau dapat memiliki kekuatan baru yang lebih besar."
"Aku tidak mau! Yang aku inginkan hanyalah pergi dari sini, jadi lepaskan aku."
"Oh sepertinya kita terlalu banyak berbincang-bincang hingga tak sadar jika waktunya akan tiba. Aku akan melepaskanmu gadis kecil, namun setelah semua ini selesai."
Pria itu terlihat mengeluarkan pisau kecil dari balik jubahnya, lalu membesit telapak tangan kirinya sendiri. Amora tidak tahu apa yang akan pria itu lakukan, namun dia ternyata melangkah mendekatinya.
Tangan kanan pria itu mencengkram rahang Amora dan membuat Amora membuka mulutnya. Dia mengangkat tangan kirinya dan setetes darah yang keluar dari sana masuk ke dalam mulut Amora. Dalam seketika kedua mata Amora terpejam dan tubuhnya melemas.
Pria itu, Zacharson. Dia mengeluarkan seringaian lebarnya lalu tertawa puas. Setelah sekian lama, akhirnya dia dapat melangkah ke tahap berikutnya untuk mencapai tujuannya.
Dengan setetes darahnya yang masuk ke dalam tubuh Amora, maka sihir hitam mulai memenuhi gadis itu dan mengendalikannya. Dia akan menjadi salah satu senjata Zacharson untuk mencapai tujuannya.
Kedua tangan Amora tergerak mengepal kuat, lalu kedua kelopak matanya terbuka dan memperlihatkan manik mata yang berwarna hitam kelam. Tatapan mata gadis itu lurus ke depan dan kosong seperti tak ada kehidupan. Tubuh Amora telah diambil alih oleh sihir hitam, dan jiwanya tak dapat melawan itu. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Kehancuran siapa yang ada di depan mata. Mungkin hanya tinggal menghitung waktu.
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasy[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...