Setelah tadi mayat Steve dan Merliana di bawa ke ruang medis, Azler segera membawa Amora kembali ke kamar gadis itu. Tatapannya masih kosong sejak tadi, dan Azler tahu jika gadis itu masih dalam keterkejutannya. Azler membawa Amora duduk di pinggiran tempat tidur dan dia menyentuh kedua bahu Amora.
"Kau mengetahui sesuatu?" suaranya terdengar lirih dan sangat lembut, Amora yang tadinya terdiam seperti patung pun menoleh ke arahnya.
Tetapi mendengar pertanyaan yang seperti itu, Amora langsung menggelengkan kepalanya. Jantungnya mulai berpacu dengan cepat, dia merasa takut jika dirinya lah yang dituduh sebagai orang yang membunuh Steve dan Merliana karena hanya dia yang berada di lokasi itu.
"T-tidak, aku tidak melakukan apapun. Bukan aku! A-aku bukan seorang pembunuh." Amora menutup kedua telinganya dan memalingkan wajah. Namun dengan segera Azler menariknya untuk dapat berhadapan dengannya lagi.
"Kau bukan pembunuh." Laki-laki itu menangkup wajah Amora dengan kedua tangannya. Terdapat sebuah ketakutan dan juga kebingungan dalam tatapan mata Amora.
"Kau percaya, kan, jika bukan aku yang membunuh mereka? Kau percaya padaku?" Pertanyaan itu dibalas anggukan kepala oleh Azler. Dia sangat percaya pada Amora, dan tidak mungkin gadis itu melakukan hal yang sangat kotor.
"Kau menemukan mereka di sana setelah mereka seperti itu?"
"Tidak."
Azler mengerutkan keningnya. Jika Amora tidak datang setelah keadaan Steve dan Merliana seperti itu, lalu apakah Amora mengetahui hal yang terjadi pada dua orang itu? Atau ... Tidak! Amora tidak mungkin membunuh mereka. Tapi jika bukan Amora, lalu siapa pelakunya? Jelas-jelas hutan itu sangat sepi.
"Apa kau melihat si pembunuhnya? Pergi ke mana dia?"
"Tidak, di sana hanya ada aku dan mereka."
"Bagaimana kejadiannya?" Daripada terus menerka-nerka, Azler langsung bertanya perihal penyebab kematian Steve dan Merliana yang mungkin dilihat langsung oleh Amora.
"A-ada sebuah asap hitam yang mengelilingi mereka, lalu mereka berteriak dan terjatuh dalam keadaan berpelukan sepertu itu, saat aku lihat darah sudah keluar dari mana-mana."
Mendengar penjelasan Amora yang tidak masuk akal itu membuat Azler mengerutkan keningnya bingung. Mana mungkin mereka bisa tiba-tiba mati secara bersamaan seperti itu? Lalu darah-darah itu? Dari mana asalanya jika bukan sebuah luka?
"Amora, bicaralah yang jujur. Katakan yang sebenarnya." Nada bicara Azler berubah sedikit meninggi dan itu membuat Amora langsung menunduk ketakutan.
"Apa maksudmu? Aku bicara jujur. Apa kau menduga jika aku yang membunuh mereka? Kau tidak percaya pada ucapanku tadi?" Amora memberanikan diri untuk meninggikan nada bicaranya juga, matanya membalas tatapan tajam Azler.
Laki-laki itu menghela napasnya, dia mendengar sebuah ketukan pada pintu kamar lalu disusul dengan suara seorang prajurit yang memberitahunya jika dia ditunggu oleh kaisar di ruang kerjanya. Tanpa membuang waktu lagi Azler pun pergi ke sana meninggalkan Amora yang mulai mengeluarkan air matanya. Kepercayaan dan harapannya sudah dihancurkan oleh Steve, dan kini Azler pun juga tidak mempercayainya?
***
Ruang kerja kaisar selalu tertutup rapat dan tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam sana kecuali sang kaisar sendiri. Kini ruangan itu diisi oleh lima orang laki-laki di dalamnya. Mereka akan membahas tentang penyebab kematian Steve dan Merliana yang belum jelas.
Pemeriksaan pada kedua mayat itu telah dilakukan oleh Johanna. Gadis itu tidak menemukan adanya sebuah luka pada tubuh mereka, dan darah yang terus keluar itu berasal dari mata, hidung, telinga serta mulut mereka. Anehnya, darah itu juga memiliki warna yang gelap bahkan hampir terlihat seperti warna hitam. Urat-urat yang terlihat di kulit pucat mereka pun kehitaman. Hal ini baru pertama kali dia temukan dan dia tidak mengetahui apa penyebabnya.
"Aku memang merasakan sebuah aura sihir hitam yang tidak terlalu pekat pada tubuh mereka. Lalu setelah mendengar hasil pemeriksaan yang telah dilakukan Johanna, aku semakin yakin jika memang sihir hitamlah penyebabnya." Johannes berucap dengan sedikit hati-hati karena mungkin hal ini akan sedikit sulit untuk diterima.
"Sihir hitam? Jadi maksudmu, Merliana menggunakan sihir hitam?" ucap Sean yang sedikit meninggikan nada bicaranya karena merasa tidak terima adiknya dituduh menggunakan sihir hitam.
Johannes menghela napas, sedangkan keempat orang lainnya masih menunggu penjelasan lebih lanjut darinya. "Maafkan aku, tapi jejak sihir hitam memang ada pada tubuh mereka."
"Tunggu dulu. Sihir hitam, lagi? Sama seperti Tuan Putri Anneliese? Kenapa mereka bertiga bisa memiliki penyebab yang sama? Apakah mereka juga memiliki satu guru yang sama? Tidak mungkin, kan, jika mereka mempelajari sihir hitam sendiri?" kini Eldean yang berbicara.
"Tidak-tidak! Hanya sebuah jejak dari sihir hitam yang kurasakan, mereka tidak benar-benar memiliki sihir hitam itu tapi sepertinya mereka terpengaruh di bawah sihir hitam. Dan seseorang yang mempengaruhi mereka itu bisa saja satu orang yang sama."
"Siapa seseorang yang berani mempengaruhi mereka dan membunuh mereka seperti itu? Lalu apa tujuannya berbuat seperti itu?" Kini kaisar yang berbicara.
"Entahlah, tapi kasus ini harus kita selesaikan dan menemukan dalangnya."
"Kita pasti dapat menemukannya, dan aku tidak akan membiarkannya mati dengan mudah!" Kilatan tajam terlihat pada manik biru milik Azler. Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya, dan giginya bergemeletuk menahan amarah.
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasi[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...