Derap langkah pelan seseorang yang melewati koridor istana di malam hari sayup-sayup terdengar. Para penjaga yang dapat ditemukan sepanjang koridor menunduk hormat saat melihatnya. Sebagian lilin di koridor telah dipadamkan membuat suasana yang remang-remang.
Laki-laki bersurai hitam itu membawa sesuatu di genggaman tangannya. Pandangannya lurus ke depan, dan deru napasnya sedikit tidak teratur. Masih terdapat perasaan bersalah dalam hatinya, dia menyesal atas ucapannya siang tadi. Apakah dirinya akan dapat dimaafkan? Entahlah.
Helaan napas terdengar saat laki-laki itu berdiri di depan sebuah pintu kamar. Langkahnya ingin kembali pergi namun rasa bersalah mendorongnya untuk masuk ke dalam dan meminta maaf. Tapi bagaimana jika gadis yang ingin ditemuinya sudah tertidur? Ini sudah hampir tengah malam.
Tentu saja Azler tidak akan mengetahuinya sebelum dia masuk untuk melihat keadaan gadis itu. Akhirnya tangannya pun bergerak mencari kunci di saku celananya lalu membuka kunci pintu kamar itu. Hal yang pertama dia lihat adalah suasana remang-remang dan seorang gadis yang tengah tertidur pulas.
Melihat wajah damai Amora yang tengah tertidur membuat Azler merasa tenang. Wajah lembut gadis itu sangat berbeda dengan ekspresinya tadi siang. Azler seperti sudah kehilangan Amora yang dulu. Gadis ceria, banyak bicara dan sedikit bodoh. Azler sangat merindukan Amora yang seperti itu.
Karena sudah terlanjur datang, Azler pun melangkah mendekat dan dia dapat melihat wajah Amora dari jarak dekat. Selain itu, mungkin lebih baik dia memberikan benda ini sekarang saja. Benda yang pertama kali Azler berikan pada Amora saat mereka kecil dulu. Sebuah hiasan rambut berbentuk kupu-kupu.
Senyuman tipis tersunggingkan, lalu Azler pun menyimpan hiasan rambut itu di atas nakas yang berada di samping tempat tidur. Dirinya kembali beralih menatap Amora lalu menyingkirkan rambut Amora yang menghalangi wajah gadis itu.
"Maafkan aku atas semua ini, Amora," ucapnya, lalu mengelus singkat kepala Amora.
***
Suasana di luar sudah cerah, matahari sudah sedikit naik dan orang-orang sudah memulai aktifitasnya sedari tadi. Namun seorang gadis masih pulas tertidur di atas tempat tidurnya. Jendela kamar yang masih tertutup membuat suasana kamar itu sedikit gelap.
Tiba-tiba saja gadis itu terbangun dan menolehkan kepalanya ke sekeliling ruangan lalu menyadari sesuatu. "Aku tertidur?" tanyanya pada diri sendiri dengan kening yang mengerut dan ekspresi kebingungan.
Sejak semalam Amora sudah berniat untuk tidak tertidur. Dia ingin menyiksa dirinya sendiri. Setiap makanan yang diantarkan untuknya tidak Amora sentuh sama sekali, dirinya juga mencoba untuk tidak tertidur sepanjang malam. Namun sepertinya semalam tadi dirinya benar-benar mengantuk.
Amora memang sudah benar-benar kehilangan semangatnya untuk hidup, bahkan perkataan Azler kemarin hanya membuatnya semakin sakit hati. Jika memang Azler mencintainya, kenapa laki-laki itu membuatnya sedih seperti ini?
Merasa sedikit pusing pada kepalanya, Amora pun memijat kepalanya secara perlahan. Kepalanya ditolehkan ke arah kiri dan tak lama pandangannya menangkap sebuah benda berbentuk kupu-kupu di atas nakas. Saat dilihat lebih dekat, benda itu memanglah hiasan rambutnya yang hilang. Tetapi kenapa bisa ada di sini?
Perlahan tangan Amora terulur untuk mengambil hiasan rambut itu. Dia menelitinya dengan memutar-mutar benda itu. Keningnya kembali mengerut, jika Azler memanglah teman kecilnya dulu, itu artinya laki-laki itu yang telah memberikannya hiasan rambut ini.
"Tidak, aku tidak mau!"
Napas Amora menderu sedikit kencang lalu dia melemparkan hiasan rambut itu ke lantai hingga mengeluarkan suara nyaring. Saking kuatnya lemparan Amora yang disertai amarah, hiasan rambut itu sampai terbelah menjadi dua bagian.
Sebuah isakan kecil terdengar, Amora mengacak-acak rambutnya dan bersandar pada tembok belakang. Perasaannya tidak dapat dimengerti. Di satu sisi dia ingin sekali lupa ingatan tentang segala hal, namun di sisi lain dia seperti ingin mengungkapkan perasaannya juga pada Azler.
"Tidak, Amora! Dia sudah mengecewakanmu." Setelah mengucapkan kalimat itu pada dirinya sendiri, Amora menggigiti bibir bawahnya hingga terasa perih dan mengeluarkan darah.
Saat terasa sebuah cairan bening keluar dari matanya, Amora segera menghapusnya lalu menarik napas dalam-dalam. Dia beranjak dari tempat tidur itu dan melangkah mendekati pecahan hiasan rambut di lantai.
"Aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi," salah satu bagian sayap itu di ambil dan Amora mengarahkan sisi pecahan yang cukup tajam ke pergelangan tangan kirinya. "Jika memang dia tidak mau melakukannya, maka aku akan lakukan sendiri."
Rasa perih mulai terasa, sebuah goresan yang dia buat terlihat memerah namun belum sampai mengeluarkan darah. Karena tidak ingin membuang waktu lagi, Amora pun kembali menggoreskan benda itu beberapa kali untuk membuat nadinya terputus. Rasa sakit harus Amora rasakan lebih dulu sebelum nantinya akan benar-benar hilang.
"Amora..."
Amora langsung terperanjat karena keterkejutannya, dia menggeram kesal karena laki-laki itu baru saja menggagalkan goresannya yang terakhir. Rasa sakit yang luar biasa di pergelangan tangan kirinya itu dia tahan dan bergerak mundur untuk menjauhi Azler. Namun ternyata laki-laki itu langsung mencekal lengan kirinya.
"Aaaakhh," jerit Amora kesakitan dan darah memuncrat dari hasil goresannya tadi. Dengan gerakan cepat Azler langsung menutup goresan itu dengan selimut yang dia tarik dari tempat tidur, lalu dia merebut pecahan sayap itu dan dilemparnya sejauh mungkin.
Tangan kanan Amora yang bebas mendorong Azler dengan kuat, "Apa yang kau lakukan? Jangan menunda kematianku seperti ini! Daripada kau menyakitiku, lebih baik kau langsung saja membunuhku!" Amora berteriak dengan dadanya yang bergemuruh karena amarah.
"Tidak, Amora!" Kini Azler pun mencekal tangan kanan Amora. Matanya mulai berkaca-kaca melihat keadaan gadis itu yang jauh dari kata baik-baik saja. Rambutnya sudah acak-acakan, tangisan yang belum berhenti, kantung mata menghitam, bekas luka yang banyak dan belum mengering, dan kini selimut yang menggulung tangan kirinya pun sudah hampir berwarna merah di semua bagian karena darahnya.
Tangisan Amora semakin kencang dan bahkan sekali-kali dia berteriak. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berusaha menarik kedua tangannya. Jika orang lain yang melihatnya, mungkin mereka akan mengira jika Amora ini adalah orang gila. Tapi mungkin lebih tepatnya hampir gila, ya dia benar-benar sudah hampir gila.
Tangisan yang membuat Azler merasa tidak nyaman mendengarnya itu tiba-tiba terhenti. Amora seperti tercekat sesuatu dan membuat mulutnya menganga. Mata Amora pun membulat dan napas Amora mulai tidak teratur. Di dalam tubuhnya, Amora merasa jika jantungnya kembali ditusuk oleh sesuatu yang sangat tajam dan kali ini rasa sakit itu sangat luar biasa hingga membuat dirinya langsung terdiam seperti itu dan kemudian tak sadarkan diri.
Azler yang melihat Amora hampir ambruk langsung menahan gadis itu dan mengangkatnya, dia membaringkan Amora di atas tempat tidur lalu memerintahkan prajurit yang berjaga di depan untuk memanggilkan Johanna serta Johannes.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua langsung datang dengan kemampuan teleportasi Johannes. Johanna yang sudah membawa peralatan medisnya segera mengobati Amora.
"Goresannya sudah lumayan dalam, masih beruntung nadinya tidak terkena sama sekali," ucapnya menjelaskan pada Azler yang pastinya sangat merasa cemas dan takut.
"Johannes, aku ingin kau membuatnya berada dalam pengaruh sihirmu agar dia tidak melakukan hal-hal gila lagi," bisik Azler pada sang penyihir agung itu. Johannes hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu Azler pergi dari sana karena dia tidak bisa berlama-lama melihat Amora yang dalam keadaan seperti itu.
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
خيال (فانتازيا)[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...