Bab 27 - Sesuatu yang Hilang

4.8K 522 9
                                    

Ruangan kamar seorang gadis berambut coklat yang biasanya selalu rapi kini terlihat sangat berantakan dengan barang-barangnya yang tergeletak tak beraturan di lantai kamar. Semua isi lemari yang merupakan gaun-gaun miliknya pun dikeluarkan dan berceceran di mana-mana.

Sudah sedari tadi Amora mencari sebuah benda kesayangannya, namun hingga kini benda itu belum juga berhasil dia temukan. Amora sudah mencarinya di seluruh penjuru kamar, mulai dari meja rias, laci meja, lemari pakaian, hingga di belakang sofa pun benda itu tidak ada. Dia bingung harus mencari kemana lagi benda kesayangannya itu. Dia benar-benar tidak mau kehilangan benda itu.

Setelah tadi mengetahui satu fakta baru tentang Azler, Amora langsung teringat pada benda pemberian laki-laki itu sebagai tanda pertemanan mereka. Sebuah hiasan rambut berbentuk kupu-kupu yang sangat indah itu entah berada di mana. Seingatnya, dia selalu menyimpan benda itu di sebuah kotak yang disimpan di dalam lemari pakaiannya.

Amora yang sedang duduk di lantai dan menyandar pada tempat tidurnya menolehkan kepala ke arah pintu karena dia mendengar seseorang tengah membuka kunci pintu kamarnya. Orang yang tidak lain adalah Eva itu masuk ke dalam sambil membawakan sarapan pagi untuk nonanya. Namun gadis bermata coklat itu sangat terkejut ketika melihat kondisi kamar Amora. Benar-benar sudah tidak bisa disebut sebagai kamar.

"Ada apa ini? Kau kenapa, Amora?"

Amora menghela napasnya sebelum bersuara, "Aku tidak apa-apa, hanya saja aku sedang mencari sesuatu yang hilang namun sampai saat ini belum ditemukan."

Eva bernapas lega mendengar nonanya tidak apa-apa. Dia kira penyakit Amora kembali terasa dan gadis itu mengacak-acak kamarnya karena hal itu.

"Lebih baik kau makanlah sarapanmu ini dan biar aku yang mencari benda itu. Beritahukan saja bagaimana bentuk benda itu dan ukurannya."

"Benda itu merupakan hiasan rambutku yang berbentuk kupu-kupu, ukurannya mungkin sama dengan ukuran asli hewan itu mungkin hanya sedikit lebih besar," jelas Amora pada Eva.

Eva pun mengangguk mengerti dan akan memulai pencariannya. Melihat kamar ini yang berantakan mungkin saja benda itu tertumpuk dengan benda-benda yang tergeletak ini. Satu persatu benda itu diletakkan kembali di tempat sebelumnya. Jadi sembari mencari, Eva juga membereskan kamar ini. Sedangkan Amora, gadis itu duduk diam di atas tempat tidurnya sambil memakan sarapannya.

Setelah selesai membereskan meja rias beserta lacinya, Eva masih belum menemukan hiasan rambut itu. Mungkin saja benda itu tertumpuk oleh gaun-gaun Amora yang sudah dikeluarkan dari lemarinya. Dia pun beralih mengambil gaun-gaun itu dan memasukannya kembali ke dalam lemari.

Walaupun kini kamar Amora sudah rapi kembali, hiasan rambut itu masih saja belum ditemukan. Eva sampai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan untuk meneliti sesuatu hal, barangkali terlewat.

Pandangannya pun berhenti pada bawah tempat tidur. Eva menyingkap seprai yang menutup bagian bawah itu. Ternyata di dalam sana terdapat sebuah kotak dengan ukuran lumayan besar. Amora yang masih kelelahan merasa tidak penasaran dengan apa yang Eva temukan di bawah tempat tidur ini.

Kotak yang memiliki ukiran pada tiap sisinya itu dibuka oleh Eva dan terdapat sebuah kain berwarna abu-abu dengan lambang seperti kristal es berwarna putih di tengahnya.

***

Dua hari yang lalu pasukan Ziurich telah berangkat ke medan perang. Tempat yang mereka gunakan untuk berperang berada di perbatasan antara dua kekaisaran besar ini dan berada sangat jauh dari pemukiman penduduk. Tempat itu bukan bagian dari Ziurich maupun Grayson, nama tempat itu adalah Caedes, atau yang berarti pertumpahan darah.

Lahan itu berukuran sangat besar dan dikelilingi hutan. Sepertinya kedua pasukan juga sudah mendirikan ratusan tenda untuk peristirahatan prajurit di pinggiran lapang dekat hutan. Dan mungkin di esok hari Johanna dan beberapa petugas medis lainnya akan pergi ke sana.

Pagi ini gadis berambut hitam itu sedang berjalan menuju taman belakang istana, di mana sebuah pertemuan putri-putri bangsawan akan diadakan. Seperti jamuan teh pada biasanya.

"Maafkan keterlambatan saya, Yang Mulia," ucapnya dengan menunduk hormat pada Anneliese.

Di sana bukan hanya ada Anneliese saja, namun Moritha, Arabella dan Merliana pun hadir. Sang putri sedari tadi hanya duduk diam dan mungkin dia pun tidak mendengarkan permintaan maafnya barusan.

"Selamat pagi, Yang Mulia Putri Anneliese, Lady Moritha, Lady Merliana dan Lady Arabella." Johanna memberikan sapaan pada mereka dengan tersenyum tipis.

"Pagi Lady Johanna, sepertinya kau sudah mulai sibuk menyiapkan segala keperluan yang akan kau bawa ke Caedes," ucap Moritha.

Johanna sedikit melirik ke arah Moritha dengan tatapan sinisnya untuk sekejap. Jangan sangka jika hubungan di antara putri-putri bangsawan ini berjalan dengan baik. Tentunya dalam diri masing-masing dari mereka memiliki perasaan yang sangat tidak ingin disaingi oleh yang lain.

"Begitulah. Ah ya, Lady Moritha, bukankah pertemuan kita yang sebelumnya itu adalah saat kau sedang mengejar Pangeran Azler? Setahuku saat itu keluargamu sedang mengadakan pertemuan dengan yang mulia kaisar dan membicarakan tentang perjodohan kalian, bukan begitu?"

"Perjodohan? Yang mulia kaisar hendak perjodohan pangeran denganmu, Lady Moritha?" tanya Merliana memastikan dengan raut keterkejutannya.

"Apa itu benar? Bagaimana bisa? Lalu apakah pangeran menyetujuinya juga?" Arabella ikut penasaran dan sama terkejutnya dengan Merliana.

Di saat Moritha akan buka suara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Johanna mendahuluinya dan membuatnya melengos sebal.

"Ya itu memang benar para lady, namun aku penasaran akan satu hal. Kenapa pangeran bisa tiba-tiba pergi dari pertemuan yang belum selesai itu dan berjalan dengan terburu-buru? Selain itu di belakang kau mengejarnya sambil terus memanggil namanya hingga langkah pangeran terhenti karena hampir bertabrakan denganku. Ah, apa itu karena pangeran tidak setuju dan ingin cepat pergi?"

Moritha semakin kesal, gadis berambut hitam di hadapannya ini sedang mempermalukannya di depan putri bangsawan lain dan juga Putri Anneliese. Tangannya mengepal kuat, sorot matanya menatap tajam Johanna yang tersenyum sinis.

Tak ada satupun dari mereka yang menyadari jika sedari tadi Anneliese hanya diam saja dengan tatapan kosongnya. Para putri bangsawan itu lebih tertarik dengan pembicaraan mereka dibanding memperhatikan sekitarnya.

"Lady Moritha, bisakah kau menjawabnya sendiri? Apakah benar dengan apa yang dikatakan oleh Lady Johanna?" Merliana masih sungguh penasaran dengan jawaban langsung dari Moritha.

"Astaga! Aku melupakan sesuatu. Aku harus segera pergi para lady, a-aku lupa jika siang ini aku memiliki urusan yang cukup penting. Yang Mulia Putri, saya mohon pamit." Dengan rasa gugup dan kesalnya Moritha pun beranjak pergi dari sana karena tidak mau mendengar hal apapun lagi tentang perjodohannya yang ditolak itu.

Dengan menatap punggung gadis berambut pirang yang berjalan menjauh itu, Johanna semakin melebarkan senyumannya. Dia tidak habis pikir, tidak kakaknya dan tidak juga adiknya sama saja menjadi saingannya untuk mendapatkan Azler. Oh atau mungkin, Merliana dan Arabella pun merupakan saingannya juga.

*To Be Continue*

BLACK MAGIC [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang