Hari yang melelahkan membuat seorang gadis tidur dengan sangat lelap. Sinar matahari yang sudah masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka sama sekali tidak mengganggunya. Tubuh gadis itu masih terbungkus oleh selimut yang membuat tidurnya bertambah nyaman. Hingga akhirnya gedoran keras pada pintu kamar membuatnya terlonjak dan langsung bangun seketika.
Sepertinya ada suatu hal yang terjadi sehingga Johanna dibangunkan seperti ini. Pintu kamarnya bukan lagi diketuk, melainkan digedor terus-menerus sambil memanggil namanya. Dari suaranya, Johanna sangat mengenali jika orang di luar kamar yang memanggilnya itu adalah Eldean. Johanna pun beranjak dari tempat tidurnya dan segera membuka pintu.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa hari ini kau bangun kesiangan? Biasanya kau selalu bangun pagi-pagi sekali dan langsung memeriksa keadaan permaisuri." Pertanyaan-pertanyaan itu langsung dilontarkan oleh si laki-laki berambut pirang dengan nada bicara yang tinggi. Tentunya itu membuat Johanna bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"M-maafkan aku karena aku sangat kelelahan sehingga bangun kesiangan seperti ini. Memangnya ada apa kau kemari hingga membangunkanku?"
"Keadaan permaisuri semakin lemah, dan kau tahu apa penyebabnya?" jeda sejenak, "karena pagi ini kau kesiangan hingga tidak membuat ramuan obat untuk permaisuri."
Ucapan Eldean yang menyadarkan Johanna langsung membuat gadis itu menganga dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Johanna baru saja membuat kesalahan yang sangat besar dan membahayakan nyawa permaisuri kekaisaran.
"Apa yang telah aku lakukan?!"
Johanna menggigit bibir bawahnya dan menjambak rambut dengan kedua tangannya. Dia benar-benar merasa sangat bersalah.
"Jangan buang waktu lagi. Sekarang kau segeralah membuat ramuan obat untuk permaisuri," ucap Eldean dengan penuh tekanan sebelum akhirnya pergi dari sana.
Johanna mengusap wajahnya, lalu saat menurunkan tangannya kembali dia melihat bercak kehijauan pada kulit tangannya itu. Dia mengerutkan kening karena merasa aneh dengan adanya bercak hijau itu pada tangannya. Johanna akan membersihkan bercak hijau itu, namun dia teringat perintah Eldean untuk tidak membuang waktu lagi dan segera pergi membuat ramuan obat.
Johanna pun hanya bisa menghela napasnya, dia pergi dari kamarnya dengan berjalan cepat dalam keadaannya yang baru bangun tidur seperti ini. Rambut hitam panjangnya terlihat sedikit berantakan, dan bahkan Johanna belum sempat membasuh wajahnya sama sekali.
Johanna memasuki ruangan medis di mana semua petugas medis terlihat sedang sibuk dan berlalu lalang. Di antara mereka, hanya Johannalah yang mengetahui bahan-bahan pembuat ramuan obat sang permaisuri, jadi mereka tidak dapat melakukan apa-apa. Mereka yang tengah sibuk ini sebenarnya sedang mencoba membuat ramuan obat itu, dan sedari tadi belum ada yang berhasil. Hingga saat Johanna datang, mereka pun menghela napas lega dan kembali ke tugas mereka masing-masing.
Di saat Johanna sedang meracik ramuan obat itu, dia teringat sebuah bahan yang tertinggal di kamarnya. Johanna pun kembali ke kamarnya dengan berlari dan mengambil sebuah botol kecil berisi cairan hijau yang bening. Cairan ini lah yang menjadi penyempurna obat itu, cairan yang tak mudah di dapat dan hanya berada di daerah Gunung Nypsus.
Setelah mencampurkan satu tetes cairan tadi pada ramuan obat buatannya, Johanna langsung pergi menuju ke kamar permaisuri. Ruang kamar yang luas itu dipenuhi beberapa orang seperti Eldean, Sean, Johannes, Azler dan kaisar sendiri yang tengah duduk di samping permaisurinya.
"Yang Mulia, sebelumnya hamba sangat meminta maaf atas kelalaian hamba," ucap Johanna yang menunduk hormat pada kaisar.
"Jangan buang waktu. Kemari, berikan ramuan obat itu." Suara kaisar yang berucap dengan nada cukup tinggi membuat Johanna terlonjak dan segera memberikan wadah berisi ramuan obat buatannya.
Sang permaisuri yang terbaring lemah dengan matanya yang tertutup dan detak jantung yang lemah terlihat sangat mengkhawatirkan. Mereka semua berharap dan berdoa dalam hati masing-masing untuk kesembuhan wanita itu.
Saat kaisar baru saja meminumkan ramuan itu, sang permaisuri langsung terbatuk dan mengeluarkan darah. Mereka semua yang melihat itu sangat terkejut dan berjalan mendekat. Sang permaisuri tiba-tiba saja merasa seperti tercekik lalu matanya membulat dan mulutnya ternganga. Sebuah asap hitam tiba-tiba saja menguar dari balik tubuhnya dan menutupi penglihatan orang-orang yang ada di sana.
Mereka terbatuk-batuk dan mencoba menghilangkan asap hitam itu dengan mengibas-ngibaskan tangan mereka. Asap hitam yang pekat membuat mereka tak dapat melihat satu sama lain. Lama kelamaan mata mereka pun terasa perih hingga harus memejamkan mata.
Setelah asap menghilang, mereka melihat tubuh permaisuri yang hanya tinggal tulang dan kulit saja. Hal itu membuat Johanna menjerit terkejut dan kaisar langsung membulatkan matanya tak percaya dengan apa yang dia lihat.
"Ibu!" panggil Azler dan matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Apa yang telah kau lakukan? Racun apa yang kau berikan tadi? Katakan kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau membunuh sang permaisuri?!" Nada yang penuh amarah tentunya terdengar sangat jelas dan kedua tangan sang kaisar sudah mengepal kuat.
Azler yang juga merasa terkejut dan tak percaya langsung menarik Johanna untuk bangkit dan menatap gadis itu tajam. Napasnya memburu dan dadanya bergemuruh menahan amarah. Matanya pun sudah berkaca-kaca dan rahangnya mengeras. Sedangkan Johanna, air mata sudah sedari tadi meluncur di pipinya dan isakan pun terdengar. Gadis itu tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap siapapun.
"Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau menjadi pembunuh, Johanna? Dendam apa yang kau miliki sehingga kau melakukan hal keji ini? Jawablah Johanna, bicaralah!" Azler yang terus berteriak tepat di depan wajah Johanna dan mulai mengangkat tangannya yang mengepal langsung ditarik oleh Sean walau laki-laki itu terus memberontak.
Tubuh Johanna yang bergetar membuatnya merasa lemas dan jatuh meringkuk ke lantai. Johannes menghampiri saudara kembarnya dengan tatapan yang tidak dapat dimengerti, lalu mengelus pelan punggung Johanna.
"Aku– bukan pembunuh..."
Johanna benar-benar tidak mengerti. Ramuan yang dibuatnya tadi sama dengan ramuan yang dibuat pada hari-hari sebelumnya, dan permaisuri tidak bermasalah dengan ramuan obatnya itu.
Eldean yang sedari tadi masih terdiam di tempatnya pun bergerak mengambil wadah berisi ramuan obat itu. Dia menghirupnya sebentar, lalu wadah itu segera dijauhkan kembali. Bau yang sangat menyengat dari ramuan itu terasa tidak asing baginya. Dia ingat jika bau ramuan itu mirip seperti bau tanaman averte yang jarang sekali ditemukan. Tanaman itu sangat beracun dan dapat membunuh hanya dengan satu tetes dari sarinya.
"Bagaimana bisa kau mencampurkan bunga averte pada ramuan obat ini? Apa kau tidak tahu jika bunga itu beracun? Atau kau memang sengaja melakukannya?" ucap Eldean yang juga dengan nada tingginya.
"Bunga averte, bukankah bunga itu hanya dapat diambil oleh seorang penyihir karena berada pada dimensi lain?" Sean ikut berucap dan itu langsung membuat kaisar serta Azler menolehkan wajah ke arahnya, lalu berganti ke arah Johannes.
Johannes mengerti tatapan itu merupakan tatapan tuduhan kepadanya. "Yang Mulia, aku bersumpah jika aku tidak pernah pergi ke dimensi lain untuk mendapatkan tanaman itu. Hal itu juga tidak mungkin dilakukan Johanna, dia tidak mungkin membunuh permaisuri."
"Prajurit!" panggil kaisar dengan lantang. "Bawa mereka berdua ke penjara."
"Tunggu ... Yang Mulia, dengarkanlah penjelasanku lebih dulu."
"Tidak, Yang Mulia, aku bukan pembunuh."
"Kalian akan berada di sana selama masa penyelidikan." Tegas kaisar dan segera pergi dari sana untuk meluapkan segala perasaannya yang campur aduk. Hal ini benar-benar sangat tak terduga, selain itu asap hitam yang keluar tadi terasa tak masuk akal.
Kecuali jika seorang penyihir hitam yang melakukannya.
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasy[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...