Jalur perkotaan memang lebih cepat dan ramai dilalui oleh kereta kuda ataupun orang-orang yang berjalan kaki. Namun untuk perjalanan pulang menuju rumah, Amora memilih melewati jalanan samping yang dekat dengan perbatasan hutan.
Selain untuk memperlambat waktu hingga sampai di rumah, Amora juga tengah menikmati kebebasannya berada di alam luar. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi saat sampai di rumah nanti. Bisa saja dia diberi hukuman lagi karena tidak pulang semalaman.
Di tengah perjalanan ini tiba-tiba saja pendengarannya menangkap suara dua orang yang tengah tertawa kecil. Kepalanya memutar dan pandangannya mencari sumber suara itu. Dari tempatnya ini, dia dapat melihat seorang laki-laki di kejauhan. Namun rasanya dia sudah tidak asing lagi dengan laki-laki itu.
Untuk memperjelas penglihatannya, Amora pun melangkahkan kakinya dan wajah si laki-laki mulai terlihat jelas. Ada perasaan senang ketika melihat jika laki-laki yang ditemuinya di perbatasan hutan ini adalah Steve. Laki-laki berambut abu itu terlihat sedang tertawa, namun apa yang dia tertawakan? Dan apakah dia sedang tertawa sendiri?
"Steve..." Amora memanggilnya dengan kaki yang terus melangkah mendekat. Tapi tiba-tiba Amora kembali berhenti dan diam membeku karena terkejut melihat Steve yang dipeluk oleh seorang gadis. Sebelumnya gadis itu mungkin terhalangi oleh pohon, jadi Amora tidak melihatnya.
Dilihat dari warna rambut gadis itu, sepertinya Amora mengetahui siapa dia. Dan dugaannya benar ketika gadis itu menolehkan kepalanya. Dengan kepala yang masih menyandar pada dada bidang Steve, gadis itu memejamkan mata.
Amora sudah geram dan mengepalkan kedua tangannya. Dia masih sedikit tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Namun dua orang di depan sana memanglah Steve dan Merliana, dan kini Amora melihat Steve yang membalas pelukan gadis itu.
Selama ini, diantara dirinya dan Steve bukankah laki-laki itu yang terlihat sangat mencintainya dan sangat mempedulikannya? Lalu kenapa saat ini dia melihat laki-laki itu sedang memeluk gadis lain? Dari tatapannya pun bisa terlihat jika Steve sangat mencintai Merliana.
Perasaan marah dan kecewa sudah sangat menyelimuti Amora. Dia tidak mengerti lagi dengan apa yang Steve lakukan. Jika Steve memang mencintai Merliana lalu mengapa dia tidak membatalkan perjodohan dengannya? Mengapa dia tidak berterus terang jika sebenarnya dia hanya menyukai Merliana, bukan dirinya.
Ingatan Amora memutar memori saat Steve mengatakan jika dia menyukai Amora sejak pertemuan pertama mereka. Sekarang dia sudah tahu jika semua perkataan dan perhatian Steve hanya sebuah kebohongan. Amora benci laki-laki itu.
Walaupun Amora memang belum bisa menyukai Steve, tetapi sebelumnya laki-laki itu dapat membuatnya merasa ada yang mempedulikannya. Dia juga sudah percaya jika Steve memanglah laki-laki baik yang sudah dipilihkan oleh kedua orang tuanya. Dia sudah berharap bisa hidup bahagia dengan Steve. Namun kini kepercayaan dan harapannya itu hancur seketika. Amora akan memberitahukan hal ini pada keluarganya dan juga keluarga Duke Aleister.
Baru saja Amora akan kembali melangkah untuk menampar laki-laki itu, sebuah asap hitam keluar dari dalam tanah dan mengelilingi mereka berdua. Asap itu cukup tebal dan membuat Amora sedikit kesulitan melihat keberadaan mereka. Mereka juga sepertinya tidak sadar dengan apa yang terjadi di sekelilingnya.
Suara teriakan mereka berdua terdengar cukup kencang dan memekakan telinga. Jerit kesakitan itu sangat menunjukkan ketersiksaan mereka yang berada di dalam asap. Amora tidak tahu apa yang terjadi pada keduanya.
Lalu tidak lama kemudian mereka berdua tiba-tiba saja ambruk ke atas tanah. Ya, terjatuh begitu saja secara bersamaan. Karena merasa penasaran, Amora pun berlari mendekat. Dia kembali dikejutkan karena melihat banyak darah yang keluar dari mata, hidung, telinga, bahkan mulut mereka berdua. Ini sesuatu hal yang mengerikan dan tidak masuk akal.
"Oh ... Steve?" Amora menutup mulutnya yang terbuka dengan telapak tangannya. Matanya berkaca-kaca dan dia sedikit ketakutan. Apa yang baru saja terjadi?
Tidak ada gerakan ataupun hembusan napas, mereka berdua telah tiada. Tapi Amora masih belum bisa mengerti, semua ini terjadi begitu cepat. Mereka menjerit, terjatuh, lalu keluar banyak darah dan tiada? Secara bersamaan pula? Bagaimana bisa seperti ini?
Dari arah istana seseorang yang menaiki kuda datang untuk membawa kembali Amora. Namun di saat dia melihat Amora yang sedang mematung dengan raut wajah terkejut dan berdiri di dekat dua orang yang tergeletak di tanah, dia jadi penasaran. Azler pun turun dari kuda dan menghampiri Amora sambil memanggil gadis itu, tapi sepertinya pikiran Amora terlalu larut.
"Amora, apa ini?!" Kini Azler pun ikut menampilkan keterkejutannya. Azler kira jika dua orang ini adalah orang asing, tapi setelah diteliti lagi ternyata mereka adalah Steve dan Merliana. Keadaan mereka berdua benar-benar mengerikan sampai sulit dikenali. Apalagi ditambah darah yang keluar dari tubuh mereka. Kenapa mereka bisa seperti ini? Dan sepertinya mereka mati secara tidak wajar. Mungkin Azler akan bertanya pada Amora saat sampai di istana nanti.
"Amora..." Azler bergerak menarik tangan Amora dan mereka mendekati kuda hitam milik Azler. Ketika Azler menaikkan Amora ke atas kudanya, gadis itu baru tersadar dari lamunan dan merasa bingung dengan posisinya yang sudah duduk di atas kuda. Lalu Azler menyusul dan duduk di belakangnya.
"Eh?" Amora bertanya-tanya tentang kapan datangnya laki-laki itu. Dia rasa sedari tadi dia hanya sendirian di sana sedang melihat ke arah Steve dan Merliana yang baru saja mati secara tiba-tiba dan mengenaskan.
"Azler..."
"Ssh, diamlah." Azler memacu kudanya kembali menuju istana, dan Amora yang masih bingung pun hanya menurut untuk diam saja.
Dalam jarak yang cukup jauh dari sana, di balik sebatang pohon, seseorang yang mengenakan jubah panjang dan tudung yang menutupi sebagian wajahnya tengah menampilkan seringaian liciknya. Bibirnya yang berwarna merah bagai darah itu bergerak mengucapkan sebuah kalimat.
"Keinginanmu yang ingin bersamanya sudah kupenuhi, namun aku tidak pernah memberitahu jika kebersamaan kalian bukanlah di dunia ini."
Setelah itu tawa nyaring pun terdengar dan gadis berjubah itu berubah wujud menjadi seekor burung merpati lalu terbang pergi dari sana.
***
Sesampainya di gerbang belakang istana, Azler memberitahu seorang prajurit untuk membawa mayat Steve dan Merliana yang dia temukan di perbatasan hutan ke istana. Penyebab kematian mereka berdua harus diselidiki.
"Ada apa ini? Mau pergi ke mana pasukan itu?" tanya Eldean yang baru keluar bersama Sean dan Johannes.
Azler dan Amora yang telah turun dari kuda pun berjalan menghampiri mereka dengan Azler yang menggenggam tangan Amora. Gadis itu menatap sendu ke arah Sean. Amora tahu jika Sean merupakan seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya, dan bagaimana reaksinya ketika dia mengetahui Merliana sudah tiada.
Salah satu tangan Azler yang bebas menyentuh pundak Sean. Suasana tiba-tiba saja berubah sedikit tegang dan penasaran dengan apa yang terjadi.
"Merliana sudah tiada."
"Apa?"
Johannes dan Eldean yang sama terkejutnya langsung menatap satu sama lain. Dan Sean, laki-laki itu mulai berkaca-kaca dan menatap Azler dengan penuh tanda tanya.
"Penyebabnya masih belum jelas. Dia dan juga Steve harus diperiksa terlebih dahulu."
"Steve? Maksudmu Steve juga tiada?" kini Eldean yang berbicara.
"Ya."
Tak lama, pasukan yang diperintahkan Azler tadi pun telah kembali dengan dua buah tandu yang membawa Steve dan Merliana. Mereka bertiga terperangah melihat begitu banyak darah di tubuh keduanya.
"Bawa mereka ke ruang medis. Johanna akan memeriksanya."
*To Be Continue*
Rantai kematian ini masih terus berlanjut, kawan..
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasy[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...