Karena menahan rasa lapar sedari tadi dan tidak sempat mencicipi satu hidanganpun, alhasil kini seorang gadis berambut coklat itu tengah menyantap makanan seadanya yang ada di dapur rumahnya.
Padahal tadi Eva sudah menawarkan diri untuk membuatkannya makanan, tapi karena Amora yang sudah sangat lapar dan tidak bisa menunggu lagi dia pun segera memakan makanan yang ada saja.
Setelah perutnya kenyang Amora pun baru akan pergi ke kamarnya untuk beristirahat, sedangkan Eva membereskan alat makan yang telah dipakainya.
Saat melewati ruang utama, Amora melihat jika keluarganya sudah datang. Namun ada yang aneh dari mereka, apalagi Moritha. Gadis itu terlihat sedang menahan amarah dengan mengepalkan tangannya dan saat Amora mendekat, gadis itu melakukan sesuatu padanya.
Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kiri Amora yang meninggalkan bekas memerah pada kulit putihnya. Ini adalah pertama kalinya Amora mendapat tamparan dari Moritha. Tentu saja Amora sangat terkejut dan tak pernah menduga hal ini. Namun apa kesalahannya sehingga adiknya itu sampai berani menamparnya bahkan kedua orang tuanya hanya terdiam melihat hal ini.
"Dasar jalang! Kau sudah bertunangan dengan seorang putra Duke dan kau masih berani-beraninya mendekati pangeran dengan menjadi pasangan dansanya. Kau sangat rendahan, dosa apa yang ayah ibu miliki sehingga memilikimu dalam keluarga ini?! Aku tidak mau menganggapmu sebagai kakakku lagi, kau benar-benar wanita rendah! Pergi kau dari sini!" ucap Moritha dengan berteriak mengeluarkan semua emosinya.
Mata Amora berkaca-kaca, dia tidak menyangka jika Moritha akan mengatakan hal seperti itu untuknya hanya karena sebuah kesalahpahaman. Kini gadis itu mulai mendorong-dorong sang kakak untuk keluar dari rumah. Dia benar-benar marah dan membenci Amora. Dia tidak mau melihat wajah kakaknya lagi.
"Pergi kau, pergi!!!"
"Moritha, sayang ... Sudahlah tenangkan dulu dirimu. Dia akan menjadi urusan ibu, ayo akan ibu antar kau ke kamar." Marchioness yang sedari tadi berdiri di samping Moritha langsung merangkul putri kesayangannya itu dan menuntunnya masuk ke dalam kamar.
Amora masih terdiam di tempat sampai ibunya kembali dan kini menyeretnya lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar, membuat Amora jatuh tersungkur ke lantai kamarnya.
"Kau sudah benar-benar keterlaluan dan membuat kami malu mengakuimu sebagai bagian dari keluarga ini. Sepertinya lebih baik Duke muda itu segera menikah denganmu dan membawamu pergi dari sini. Itu akan membuat keluarga ini menjadi lebih baik tanpamu."
Tepat setelah pintu kamar tertutup dan dikunci, air mata pun keluar dan membasahi pipi Amora. Masih dalam posisi tersungkurnya, Amora menangis sejadi-jadinya karena ucapan ibunya. Bagaimana tidak sedih, jika ternyata keluarganya ini malah mengharapkan dia agar segera pergi. Mereka sama sekali tidak menginginkan keberadaan Amora dan mereka sama sekali tidak peduli dengannya.
Amora berusaha untuk bangkit dan berbaring di tempat tidurnya lalu tangisnya kembali pecah. Air matanya membasahi bantal dan dia terus menangis hingga kesadarannya pun menghilang dengan perlahan.
***
Setelah acara penobatan selesai, kini Azler tengah menemani adiknya. Entah kenapa Anneliese tiba-tiba bersikap manja akhir-akhir ini. Katanya dia harus menghabiskan waktu dengan Azler sebelum laki-laki itu memiliki tugas yang lebih banyak untuk dikerjakan.
Di balkon kamar, mereka duduk sambil menikmati suasana malam yang sunyi dengan disuguhkan pemandangan langit yang indah. Banyak bintang yang bertaburan di atas sana menemani sang purnama yang bersinar terang.
"Kakak, sore tadi Mori sangat nakal sampai mencakarku. Aku tidak mengizinkannya masuk lagi ke dalam kamarku dan sepertinya dia marah. Saat aku keluar dia tidak ada di sana, para prajurit dan Moersel pun sampai membantuku untuk mencarinya tapi dia benar-benar tidak ada. Dia pergi karena marah padaku. Tapi, Kakak, sebenarnya di sini siapa yang salah?"
Mori adalah kucing peliharaan Anneliese yang memiliki bulu lebat berwarna putih. Kucing itu memang lucu, namun terkadang menjadi garang ketika ada orang asing yang mendekat dan mencoba menyentuhnya.
Sore tadi Mori terlihat ingin bermanja dengan Anne, tetapi karena Anne yang sibuk memilih gaun dan mengabaikannya, kucing itu pun sampai tega mencakar kakinya. Anne yang kesal segera mengeluarkan Mori dari kamarnya dan sampai saat ini keberadaan kucing itu pun tidak diketahui. Benar-benar menghilang entah kemana.
"Kakak, kenapa kau hanya diam saja? Kau juga malah melihat benda itu terus. Memangnya ada apa dengan benda itu?"
Sedari tadi bukannya mendengarkan ucapan Anne, Azler malah terus memperhatikan hiasan rambut berbentuk kupu-kupu milik Amora yang terjatuh. Dia masih ingat sekali saat memberikan hiasan rambut ini pada gadis bermata abu itu. Kini sudah terbukti jika Amora memanglah teman kecilnya saat dulu.
"Kakak, aku harus mencari Mori ke mana lagi?"
"Besok pasti ketemu."
"Hormat hamba, Yang Mulia Pangeran dan Yang Mulia Putri," ucap seorang pelayan yang baru saja datang dan membuat mereka berdua menoleh.
Pelayan itu terlihat membawa sebuah nampan berisi secangkir teh, lalu meletakkan cangkir itu ke atas meja yang berada di tengah-tengah antara Azler dan Anneliese.
"Maafkan saya, Yang Mulia Pangeran, saya hanya diperintahkan untuk mengantar teh ini untuk Yang Mulia Putri." pelayan itu membungkuk hormat sebelum akhirnya kembali pergi dari sana.
Azler merasa matanya sudah berat dan tubuhnya lelah ingin beristirahat, dia pun memasukkan hiasan rambut itu ke dalam saku jasnya sebelum akhirnya bangkit untuk pergi ke kamarnya.
"Minumlah teh itu lalu kau tidur," ucapnya pada Anne sambil menepuk pelan kepala adiknya.
"Baiklah, selamat malam kakak."
"Malam."
Di luar kamar Anne, Moersel memberikan penghormatan pada Azler yang akan pergi. Namun setelah dia kembali menegakkan tubuhnya, laki-laki berambut hitam itu belum pergi juga. Azler malah menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
"Kau menjaganya dengan benar?"
"Tentu, Yang Mulia, karena yang mulia kaisar telah memberi tugas ini pada saya maka saya harus melaksanakannya dengan baik. Saya menjaga dan melindungi Yang Mulia Putri Anne setiap waktu, dan saya juga selalu memastikan jika yang mulia putri baik-baik saja."
"Kau menyukainya, bukan begitu?"
"Yang mulia, saya tidak berhak-"
"Jagalah dia dengan baik. Sepertinya dia juga menyukaimu."
Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya Azler pergi begitu saja dan membuat Moersel tanpa sadar mengulum senyum tipis.
Kembali pada Anne, gadis yang baru saja menghabiskan secangkir teh itu tiba-tiba merasakan pusing pada kepalanya. Ah, mungkin saja ini karena dia terlalu kelelahan dan harus cepat beristirahat.
Saat bangkit dari kursinya dan akan masuk ke dalam kamar untuk tidur, rasa pusing di kepalanya semakin menjadi hingga Anne tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Sebelum tubuhnya terjatuh, Anne masih bisa merasakan jika seseorang telah menggendongnya dan menempatkannya di atas tempat tidur.
"Moersel?" gumam Anne pelan dan mencoba melihat laki-laki itu tapi penglihatannya malah semakin memburam.
"Istirahatlah, selamat malam."
***
Di pertengahan malam yang sunyi dan gelap, seseorang keluar dari dalam kamarnya dengan mengendap-ngendap dan sangat hati-hati, takut ada orang lain yang terbangun karena pergerakannya.
Dengan berbekal sebuah lilin yang ada di kamarnya, dia mulai melangkah perlahan menuju sisi lain dari mansion besar itu. Hingga tibalah dia di depan sebuah ruangan kamar, lalu dia mematikan api pada lilin itu sebelum membuka pintu kamar yang terkunci dengan penjepit rambutnya.
Setelah pintu berhasil terbuka, dia melangkah masuk dan meletakkan lilin di atas sebuah meja lalu dia mengeluarkan sesuatu dari balik gaun tidurnya, yaitu sebuah pisau kecil.
Kebencian dan dendam yang ada dalam dirinya membuatnya bertindak seperti ini. Yang dia pikirkan hanyalah kebahagiaannya dan dia tidak mau ada seseorang yang merebut kebahagiaannya itu.
"Selamat tinggal, Amora!"
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasy[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...