Langit sudah menjingga, kawanan burung-burung yang terbang bebas di atas sana tambah memperindah suasana senja. Amora selalu menyukai suasana seperti ini, biasanya dia berdiri di dekat jendela untuk menikmati pemandangan langit yang berwarna jingga hingga berubah menggelap.
Namun kini gadis itu seolah tidak menyadari pemandangan indah di depannya, dia hanya berdiri di dekat jendela dengan pandangan kosong. Perasaannya tidak tenang dan seperti ada sesuatu yang mengganggunya. Kuku jari-jari tangannya terus digigiti hingga membuat ujungnya runcing dan tajam.
Semenjak kedatangan keluarganya ke istana ini siang tadi, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres sehingga dia pun dilarang menemui mereka. Apa keluarganya itu berbuat sebuah kesalahan? Atau ini hanya dugaan buruknya saja karena mungkin sebenarnya mereka datang hanya untuk berbicang dengan kaisar?
Di saat derap langkah kaki puluhan orang terdengar di bawah sana, Amora langsung menoleh. Dia melihat puluhan prajurit keluar dari pintu samping istana dengan tiga orang di tengah-tengah mereka yang tangannya diikat menggunakan tali.
Amora sampai menutup mulutnya dengan telapak tangan karena terkejut dan juga tidak percaya jika ketiga orang itu adalah keluarganya. Mereka seperti seorang tahanan yang akan di bawa ke suatu tempat untuk di hukum. Mereka juga sangat terlihat menundukkan kepalanya sangat dalam dan prajurit yang berjalan di belakang mereka menodongkan pedang ke dekat leher mereka.
"A-ayah, ibu, Moritha..." lirihnya, kini matanya yang memiliki manik abu itu mulai basah oleh air mata yang siap jatuh.
Di barisan paling belakang, Amora melihat lima ekor kuda yang ditunggangi oleh kaisar, Azler, Eldean, Sean dan Johannes. Sebelum mereka akan menghukum keluarganya itu, dia harus tahu kejahatan apa yang telah keluarganya perbuat. Dia juga harus memastikan apakah itu benar atau tidak, karena dia sangat tidak percaya jika keluarganya melakukan sebuah kejahatan.
Sebelum mereka pergi terlalu jauh, Amora harus segera menyusulnya. Dia menghapus bekas air mata yang baru turun satu tetes pada pipinya, lalu segera berlari keluar kamar.
Keberuntungan mungkin sedang berada di pihaknya karena kini si prajurit penjaga kamarnya itu entah pergi kemana. Selain itu seluruh koridor istana terasa sepi dan membuat Amora leluasa berlari kencang. Dia mengangkat sedikit gaunnya agar lebih mudah berlari.
Oh, tidak! Apakah ini karena lari Amora yang lambat melewati koridor panjang istana, atau memang mereka melakukan sebuah sihir perpindahan? Di gerbang istana Amora sudah tidak dapat melihat jejak mereka. Apa mungkin Amora hanya berhalusinasi saja tadi?
Di saat berbalik untuk kembali masuk ke dalam istana, tiba-tiba Amora teringat sesuatu. Saat itu Anneliese pernah memberitahunya tentang sebuah tempat bernama Poena. Tempat itu digunakan khusus untuk menghukum para penjahat. Apakah keluarganya di bawa ke tempat itu? Jika iya, Amora harus pergi ke sana. Amora belum mengetahui pasti letak tempat itu, tapi yang jelas dia harus pergi ke arah Timur.
Dengan sekuat tenaga Amora berlari kencang menyusuri kawasan Timur yang ternyata rimbun dengan pepohonan. Terkadang ranting-tanting pohon yang rendah mengenai kulitnya dan luka-luka di tubuhnya semakin membanyak karena luka yang kemarin pun masih belum hilang.
Tangannya sibuk menjauhkan ranting-ranting itu dan kakinya terus berlari sambil melewati akar-akar pohon yang menyembul ke permukaan tanah. Dia harus segera sampai sebelum penghukuman itu di mulai. Jika bisa, dia sangat ingin menyelamatkan keluarganya itu.
Dukk!
"Aw..." ringisnya saat terjatuh karena menyandung salah satu akar pohon yang cukup besar. Telapak tangannya terasa sangat perih karena sudah terluka, lalu menjadi tumpuan pertama saat jatuh ke tanah.
Dengan berpegang pada salah satu dahan pohon yang rendah, Amora pun mulai bangkit kebali. Dia berusaha mengabaikan rasa perih pada luka-luka goresan di sekujur tubuhnya dan kembali berlari. Dia tidak ingin terlambat untuk menyelamatkan keluarganya.
Matahari sudah semakin tenggelam dan langit di sebelah Timur sudah mulai menggelap. Entah sudah seberapa jauh Amora berlari, dia masih belum menemukan tanda-tanda apapun. Hingga akhirnya dia melihat kumpulan orang-orang di hadapannya yang seperti tengah mengelilingi sesuatu.
Amora sangat yakin jika itulah tempatnya, tempat bernama Poena itu sudah berada di depan matanya. Dia semakin mempercepat larinya dan suara riuh sayup-sayup terdengar. Saat Amora sudah berada di barisan paling belakang ini, dia dapat mendengar dengan jelas apa yang mereka teriakkan.
"Hukum mati! Hukum mati!"
Tubuhnya kembali bergetar dan perasaannya mulai takut. Amora berusaha menerobos kerumunan itu agar dia bisa melihat apa yang sedang terjadi. Jika memang orang yang akan dihukum mati itu adalah keluarganya, maka dia akan menghentikannya.
Untung saja Amora memiliki tubuh yang kecil dan dia dapat dengan mudahnya menerobos kerumunan. Dia terus berjalan untuk bisa berada di barisan terdepan. Kini sebuah suara yang tidak asing terdengar di telinganya, itu adalah suara sang kaisar. Amora tidak bisa mendengar suara kaisar dengan jelas karena teriakan orang-orang di sekitarnya ini. Hal ini membuat Amora lebih mempercepat langkahnya dan akhirnya dia dapat keluar dari kerumunan itu.
"Tidaak!!!"
Jantung Amora seolah berhenti berdetak, tubuhnya membeku dan air mata langsung lolos begitu saja membanjiri pipinya. Perasaannya benar-benar hancur, dan dia langsung jatuh terduduk di atas tanah.
Bertepatan dengannya tadi, sebuah kepala secara bersamaan terpenggal dan lepas dari tubuhnya. Seseorang yang telah mendapatkan hukuman mati itu tidak lain adalah Moritha. Dan tepat di sisi kanan-kiri tempat pemenggalan itu, kedua orang tuanya berdiri dengan tangisan yang sangat tertahan.
Dadanya bergemuruh dan giginya bergemeletuk menahan amarah karena tidak menerima hal ini. Gadis itu menghapus bekas air matanya yang sangat membasahi pipi, dan berusaha bangkit lalu berjalan ke tengah-tengah. Lebih tepatnya mendekati satu mayat dengan kepala yang sudah terlepas itu dan kedua orang tuanya.
"Amora?" pergerakan Azler yang bangkit untuk menghampiri Amora terhenti karena kaisar menahannya.
Di tengah lapangan Poena itu Amora menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di sana. Sesekali air matanya masih turun, dan tatapan tajamnya mengarah pada lima lelaki yang duduk di hadapannya.
"Apa yang telah kalian lakukan pada keluargaku? Apa yang kalian lakukan pada adikku? Hukuman mati? Apa kejahatan yang telah dia buat sehingga dia mendapatkan hukuman itu? Selanjutnya hal apa yang akan kalian lakukan pada kedua orang tuaku? Apa kalian akan menghukum mati mereka juga? Jika iya maka kalian juga harus menghukum mati diriku! Jika mereka pergi, maka aku juga akan ikut mereka pergi. Kalian tidak bisa memisahkanku dari keluargaku!"
"Prajurit, bawa mereka berdua ke hutan perbatasan, dan bawa Nona Amora kembali ke istana."
Tangisan tak dapat dibendung lagi, napasnya tidak teratur dan dadanya bergemuruh. "Aku akan ikut dengan mereka! Lepaskan aku!" Amora terus meronta agar bisa terlepas dari para prajurit yang akan membawanya pergi. Sesekali dia memanggil ibu dan ayahnya namun jarak diantara mereka semakin menjauh. Amora terus meronta dan tangisnya semakin keras. "Tidaak!!! Ibu! Ayah!"
Amora yang sedari tadi terus meronta, kini tubuhnya lunglai dan tak sadarkan diri. Bertepatan dengan itu Azler datang dan mengambil alih Amora dengan menggendongnya. Portal besar khusus menuju istana telah dibuka oleh Johannes dan mereka pun segera memasuki portal itu. Setelah semua melewati portal dan kembali ke istana, portal itu perlahan mengecil lalu menghilang dan menyisakan sepi.
*To Be Continue*
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK MAGIC [END]
Fantasy[High Fantasy-Bukan Transmigrasi] Amora, putri dari seorang Marquess yang merasa jika hidupnya selalu di beda-bedakan dengan sang adik. Apakah ini semua karena Amora memiliki sebuah penyakit langka? Entahlah. Namun ternyata di balik penyakit yang se...