Prolog

37.4K 2.8K 133
                                    

Musim hujan memang agak menyusahkan anak sekolah. Ia datang sore hari di jam pulang. Biasanya berhenti maghrib, atau secepat-secepatnya setengah jam lagi, dan buruknya malam nanti. Kali ini petir ikut turun. Kadangkala suaranya menggelegar hingga membuat kejut jantung. Seperti tiba-tiba didatangi gebetan saja. Kilat datang beberapa detik lebih cepat. Kata Mas Abin karena kecepatan cahaya lebih cepat daripada kecepatan suara. Kata Papa, karena Malaikat memelencitkan pecutnya lebih dulu baru melemparkan batu sebesar gunung.

Entah mana yang benar. Cerita memang kadang bertentangan. Aku mempercayai keduanya. Baik Mas Abin dan Papa sama-sama dapat dipercaya. Kupikir, selama enam belas tahun hidup, baru sekali ini Papa ingkar janji. Katanya jemput pakai mobil lima belas menit lagi. Namun sudah 35 menit dan tidak ada mobilnya datang. Susu kotakku hampir habis. 

Sreeet! 

Habis. Kulemparkan bungkusnya ke tong sampah terdekat. Berdecak, menggenggam ponsel geregetan. Ketika petir datang, ponsel pantang dihidupkan. Aliran listriknya bisa menyambar-nyambar. Akibatnya seperti pohon kelapa gosong tersambar petir di berita.

Namun bagaimanapun aku membenci aku pulang terlambat ataupun dijemput terlambat. Kedisiplinan adalah harga mati. Baru kali ini aku merasa kecewa betul oleh lelaki. Dan ia papaku sendiri. Tiba-tiba seorang terasa duduk di sebelahku. Aku menoleh, ia sama menoleh. Senyumnya muncul kecil sebelum menatap lurus ke depan. Kekesalanku bertambah dengan kehadirannya. Tubuhku menjauh tanpa komando, duduk di pinggiran kursi.

"Hampir datang petir." Suaranya mengalun datar. 

Aku melengos terang-terangan. Sejak tadi kami semua tahu bahwa ini adalah hujan petir yang mengerikan. 

"Masih ada waktu dua puluh detik untuk mendekat."

Aku belum paham mendekat ke mana yang ia maksud. Namun, aku tak akan mendekat sampai kapan pun. Apalagi mendekat pa—oh, shit! Tuhan sedang bekerja sama dengan Nevan Cakra? Jantungku mendapat kejutan luar biasa. Kilatan cahaya baru saja menyambar di depan mata. Mungkin sebenarnya beberapa meter di depanku, tetapi rasanya di depan mata.

"Take my hand, Anindhya Ghifari. Suaranya—"

Aku lebih dulu berjengit sampai hampir terjengkang karena suaranya menggelegar. Dalam sejarah hidup, baru kali ini ada suara petir sekeras itu. Dan, baru kali ini ada yang menggenggam tanganku. Tubuh kami berhimpit pada sisi kursi kayu di koridor sekolah.

Nevan Cakra

Prolog.
5 Agustus 2021
Edited: 31 Agustus 2023

All That is Lost Between Us (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang