Gilang merasakan detakan lain bersama bocah itu. Bocah SMA yang jadi adik kelasnya. Yang kadang selalu mengelus dada juga tak dianggap hati perlakuan dia yang nampak gemas.
Bintang pelit bicara sedari tadi semenjak mengajaknya ke kamar karena dia pemalu juga agar Bintang nyaman tak canggung mengobrol panjang dengannya. Namun semuanya semrawut tak ada yang berjalan sesuai hatinya. Gilang akan mendekatkan dirinya agar adik kelasnya itu bisa akrab dengannya juga bisa menurunkan tempramen dia yang enggak bisa dikontrol. Gilang senang saat mengetahui ayahnya jika Bintang bertamu berbarengan yang mengantarkan pesanan kacangkaprinya.
Menuruni tangga juga mengantar Bintang yang tak nyaman bikin Gilang sebal karena dia bertamu hanya dua puluh menitan. Dirinya mengantar Bintang yang katanya akan pulang ditelepon ibunya. Gilang agak tak yakin dengan kelit Bintang yang mencurigakan. Sibuk bicara sendiri seakan bicara dengan ibunya padahal layar gawainya nyala tidak menampilkan ikon telepon lain. Gilang ingin ketawa namun tahan. Dia juga gemas saat akting adik kelasnya itu benar-benar natural meyakinkan.
"Dah, nanti ke sini lagi, ya." Ucap Gilang nadanya tak jauh ramah seperti di sekolah.
Perpisahan terjadi di pagar rumah. Bintang menuntun sepedanya keluar juga menoleh padanya dengan mimik datar juga dipuji manis oleh Gilang dalam batin. Tak setitik senyum pun dari Bintang untuknya hanya datar juga gerutuan di sekolah. Anak itu benar-benar menyebalkan. Namun kenapa Gilang seakan betah dengannya sesaat bertemu ketika memaksa siswa untuk ekskul karena PMR hanya dua anggota yang menyerahkan diri buat ikut.
"Enggak akan," Ketusnya juga berlalu meninggalkan rumah Gilang.
Gilang sabar menerima nada tak sopan dari tamunya itu. Dia terus memberikan senyum istimewanya pada Bintang.
"Hati, hati ya. Atau mau aku anterin!" Teriak Gilang saat Bintang setengah di pagar depan.
Bintang berhenti menuntun sepedanya lalu menoleh ke belakang dengan mimik lain, senyum manis.
"Enggak usah. Sebelumnya makasih bolehin aku bertamu juga nikmatin camilannya,"
Gilang agak diam tentu melihat perbedaan Bintang yang kalo ngomong sopan gini bikin adem telinga. Manis banget dan Gilang perhatikan lengkung senyum Bintang dari bibirnya yang tipis itu.
Bintang kembali menuntun sepedanya lalu dia tumpangi juga langsung melesat di tepi jalan.
"Manis ...," Gumamnya lalu pagarnya ditutup lagi, Gilang memutar haluan memasuki rumah.
Satu-satu memijak anak tangga menuju kamar, Jesika menyilang kedua tangan menghalangi Gilang di depan.
"Apa?" Tanya Gilang pada kakaknya itu.
"Tadi siapa?"
"Adik kelas."
"Kenal lama?"
"Baru semingguan."
"Ikut ekskul kamu?" Jesika kian interogasi mirip penyelidikan bikin Gilang hanya anguk kali ini.
Gilang hendak meneruskan jalannya yang terhenti, namun dalam sekejap kakaknya menghalanginya oleh tangan ke dinding. Gilang berdecak jengkel melihat kelakuan kakaknya.
"Kenapa kak?"
"Punya Facebook-nya enggak?" Ucap Jesika menyodorkan gawainya.
Gilang menaut alis. "Enggak tahu." Timpalnya seraya menepis lengan Jesika lalu mencampakkannya menuju kamar.
"Masa enggak tahu!" Kata Jesika agak keras.
Hanya sahut suara pintu yang ditutup.
Gilang menarik gorden yang menutupi dinding kaca kamar. Dalam sekejap, ruangan itu terpenuhi cahaya. Gilang merapatkan dahinya ke kaca itu menatap suasana halaman yang sunyi juga jalan yang ramai kendaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Sunset In Skyline [BL]
Teen FictionBINTANG Antares Rifki Pradana, dulu pernah pernah menjadi salah satu korban perundung SMP. Kisahnya terlupakan kendati berteman dengan salah satu gadis bernama Agnes sejak kelas tiga SMP. Ia sudah mengira perbedaan dalam dirinya seringkali dijadikan...