Rumahnya tak semegah juga tak sebesar pelajar lain di sekolahnya. Hanya rumah standar juga halaman yang kadang digunakan parkir sepeda motor milik tetangga. Di sinilah Bintang tinggal bersama ibunya, hidup sederhana hanya menunjang ekonomi dari ibunya yang kerja sebagai tengkulak sayur sepeninggal ayahnya yang tiada empat tahun lalu karena mengidap serangan jantung saat tengah bekerja di saung tepi jalan akrab menimba sayur dari petani lalu dijual lagi ke Jakarta melalui pihak kedua dari Mang Jajang, adik ibunya yang berniaga sayur mayur di Jakarta.
Bintang anak tunggal meski dirinya dulu-dulu adalah kembar. Sejauh cerita yang dia dengar, adiknya meninggal karena lahir prematur juga ibunya hamil tua. Bintang itu kakak lalu ditinggalkan adiknya saat berumur delapan bulan. Hal yang menyedihkan bikin dia sedih juga kadang terpikir adalah soal pemakaman adiknya yang entah di mana berada.
Ibunya selalu bilang kalo adiknya dikebumikan di seberang desa tempat tinggalnya. Hanya saja karena dulu kuburan bayi terlalu kecil hingga sering tergali oleh yang baru hingga terlupakan hingga entah di mana lagi.
Yang bisa dilakukan Bintang adalah: dengan mengirim doa untuknya juga berharap bisa bertemu meski lewat mimpi.
"Kenapa murung?" Tanya Lina, ibu Bintang, usianya sekarang 40 tahun.
Bintang tiba di rumahnya. Dia taruh sepatu di rak pojok pintu. Ibunya sedang membersihkan beras dari nampan anyaman bambu dari debu yang kadang sembunyi.
"Lapar," Sahut Bintang tak semangat juga mendekati dispenser. Dia jongkok lalu mengucur air.
Lina senyum, senyumnya manis juga kerutan wajahnya sedikit. Orang banyak mengira jika beliau masih berusia tiga puluhan.
"Makan aja," Imbuh Lina amat ramah.
Bintang menoleh ke ibunya yang sedang mengorek batu kecil yang bersembunyi di antara beras. Bintang senyum lalu bangun menuju kamarnya.
Sebuah kamar yang enggak luas. Hanya dua meteran luasnya. Dindingnya diubah oleh stiker motif kayu lalu dinding sisinya Bintang ubah pakai dinding tiga dimensi warna gelap. Lemari hitam juga baju bergelantung sengaja lalu pakai besi panjang bekas tirai sebagai penopang.
Dia tanggalkan tasnya di rak gantung yang menempel di pintu kamarnya. Dia berdiri sejenak menilik seksama pada kalender yang dia tempel di pintu. Ujung telunjuknya menyentuh angka kalender.
Bintang berdecak saat menemukan angka kalender lima belas tepatnya hari Sabtu lagi. Dia akan bertemu Gilang lagi juga Desri yang galak.
Bintang melenguh capai, mengempas badannya yang letih ke kasur satu orang miliknya. Satu-satu kancing kemejanya dia lepas lalu dia nyingkap menampakkan dadanya yang putih. Matanya terpejam sela garuk lehernya yang gatal.
"Katanya mau makan?" Lina di ambang pintu melihat putranya yang tiduran telentang.
"Capek. Sebel. Entar aja." Kelit Bintang lugas.
"Ibu mau keluar, tolong jaga rumah, ya." Tutur Lina hendak keluar.
Kedua mata Bintang membuka sepihak. "Mau ke mana?"
"Mau beres-beres di tengkulak."
"Ikut."
"Jangan, ah, kamu di rumah aja. Mau bawain apa nanti?"
Bintang nampak bingung dengan mengumam, "Kacang rebus."
"Kamu ini, ya, kacang rebus mulu. Sama apa lagi?"
Bintang mulai berpikir, "Ada wedang jahe enggak?"
"Itu adanya kalo sore. Itu juga kalo ada yang lewat,"
Bintang agak murung.
"Chiken aja gimana?"
"Yaudah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Sunset In Skyline [BL]
Ficção AdolescenteBINTANG Antares Rifki Pradana, dulu pernah pernah menjadi salah satu korban perundung SMP. Kisahnya terlupakan kendati berteman dengan salah satu gadis bernama Agnes sejak kelas tiga SMP. Ia sudah mengira perbedaan dalam dirinya seringkali dijadikan...