BAB 07: Rucita

446 50 0
                                    

Malam itu tergamang hanya sayup bunyi jangkrik sesekali cicak mengisi malam di halaman rumah dua lantai kediaman Gilang. Ayunan bergerak pelan menyambangi angin malam yang sejuk. Gilang telentang di hammock dengan tatapan ke depan melihat awan bergerak pelan di langit cerah.

Kaki kanan Gilang menjuntai memijak tanah beralas rumput. Seekor anjing yang dia temui di taman tadi membelai betis Gilang. Dia senyum menerima elusan dari pipi anjing peliharaannya.

Sebuah gawai di badan Gilang dia raih lalu mengetuk sebuah beranda Facebook. Sinar backlight menerangi wajah Gilang dengan sayup. Ibu jarinya menggulir ke bawah melihat unggahan temannya berisi curhatan. Gilang mengetuk pertemanan. Dahinya mengernyit mendapati sebuah akun meminta permintaan teman padanya. Gilang lekas bersila mengetuk akun itu dirasa kenal dengan orangnya.

"Bintang ...?" Lirih Gilang lekas sebuah senyum mengukir di bibirnya. Dia ketuk juga gulir ke bawah.

Sebuah tawa kecil dari Gilang berhasil keluar. Dia tak menyangka jika Bintang adik kelasnya itu alay di media sosial. Gilang alihkan dengan unggahan foto Bintang.

"Manis ...," Pujinya saat mengetuk foto Bintang yang sedang cemberut. Dia simpan lalu ditutup gawainya lagi berterus memasuki rumah.

....

Rumah ini terisa hening dari sudut manapun. Bintang telentang rebahan di kasurnya yang empuk. Dia mengusap dinding stiker tiga dimensi yang dia sukai kala jemu. Ruangannya sunyi bahkan suara tarikan napasnya terpencar. Bintang bangun lalu menyalakan spekear bluetooth dari nakas. Dia putar melalui peranti seluler memutar musik galau sesuai hatinya yang kosong saat ini.

"Ibu," Panggil Bintang entah mau apa.

"Iya?" Sahut Lina berlewat menuju dapur memegang teko.

"Sepi banget,"

Lina senyum, suara gemericik sendok di dapur saat Lina mengambilnya dari rak dinding. Beliau menuju meja makan mengambil nasi mengepul asap untuknya juga untuk putra tunggalnya.

"Sini makan, jangan galau terus," Serunya bikin Bintang menaikan volume speaker bluetoothnya.

Nyanyian galau mengisi hening kamar bikin ramai juga bikin Lina menghela napas soal kelakuan putranya.

"Kecilin volumenya. Entar kegangggu tetangga!" Tegurnya, sekejap musiknya mati.

Kursi berderit menampakkan Bintang duduk berhadapan dengan ibunya di meja makan. Ibunya menuang sayur tahu juga ayam goreng untuk putranya yang galau.

"Pake bajunya. Banyak nyamuk, loh." Tegur Lina mendapati Bintang telanjang dada.

"Gerah. Lagipula cuma Ibu yang liat," Kelit Bintang langsung melahap nasinya.

"Kamu ini dibilangin orangtua malah-"

Tuk, tuk, tuk

Pintu diketuk bikin Lina menghampiri, Bintang yang tergegau melihat badannya tak pake baju segera lari hampir menabrak ibunya menuju kamar. Lina geleng-geleng kepala begitu saat teguran ibunya tidak digubris.

"Ada apa? Masuk dulu ...,"

Bintang menguping dari pintu kamarnya dengar sayup obrolan ibunya entah dengan siapa.

"Besok, saya mau ke Jakarta kirim sayur. Teteh mau nitip apa? Sekalian gitu," Suaranya dari pria yang tak asing karena Bintang tahu.

Jajang, adik ibunya, tiap malam minggu atau senin atau rabu, sering ke rumah tak jauh membicarakan soal keberangkatan sayur untuk dibawa ke Jakarta tentunya dijual ke pasar Induk dan Keramat Jati.

"Yaudah, masuk dulu. Makan sama kami. Sama Bintang juga malah kabur dia," Ajak Lina menyilakan Jajang masuk.

"Loh, kok, kabur?" Tanya Jajang keheranan tiap kali beliau datang, Bintang selalu tak ada.

Under Sunset In Skyline [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang