BAB 61: Kemurungan

111 19 0
                                    

Bintang menabur kelopak bunga di kuburan saudara kembarnya yang meninggal tujuh belas tahun yang lalu. Ingin berteriak sekencang-kencangnya menerima pil pahit. Pil pahit soal perpisahan yang begitu pelik untuknya. Begitu cepat hingga tidak berkesempatan melihat wajah masing-masing.

Makam adiknya telah bertabur kelopak bunga sekarang. Bintang usap permukaannya—menatap sendu menahan sejuta renjana yang tak pernah padam—mengakalinya oleh doa yang baik untuk saudara kembarnya. Rasanya ingin menangis hanya saja terbancang oleh ibunya yang di belakangnya sedang melantunkan doa untuk mendiang suaminya. Bintang urun kendati tak mau ibunya bertanya.

Bintang begitu murung. Terdiam dengan meninggalkan pelupuk mata berair dengan beberapa kali menghalaunya oleh punggung jemari. Sekali lagi, dia tak mau menangis. Dia malu.

Surah Yasin tak terlantun lagi. Ibunya telah selesai merapalnya.

"Maafin aku, Bu." lirih Bintang mengecup punggung tangan ibunya. Keranjang bunga dipegang tangan dan keduanya jalan di antara kuburan yang permukaannya semuanya hijau tertutup daun subtil.

Bintang menoleh ke belakang beberapa kali dengan sorot mata pada kuburan adiknya. Dan ibunya mengusap pucuk kepalanya seraya mengembangkan senyum ceria pada putranya. Bintang tak mendongak tak mau pelupuk matanya yang tersimpan kesedihan itu dilihat ibunya. Dia jalan menunduk sesekali peziarah berlewat lalu ibunya mengobrol sebentar.

Dia jalan lebih dulu saat ibunya mengobrol dengan tetangganya untuk menunggu di pos penjaga dengan alihan mata pada ibunya yang sedang bincang riang. Wanita yang seumuran dengan ibunya dan gadis cantik yang umurnya sama dengan dia kiranya.

Gadis itu cantik dengan hijab yang dia kenakan dan gamis panjangnya yang serasi.

"Ibu mau ke rumah temen dulu, ya." ucap Lina di dalam mobil angkutan umum menuju pulang.

Bintang tak mendongak asik membalas pesan dengan Gilang. Sesekali senyum kesenangan. Ibunya di kursi seberang menatap layar gawai putranya.

"Chat terus. Sama pacar, ya?" tukas ibunya mencondongkan kepala. Bintang mendongak memberikan senyum ceria.

"Enggak, kok."

"Kiri, Pak." seru Lina pada supir. Lalu mobilnya berhenti. Beliau mengusap pucuk rambut putranya.

"Ibu duluan." pamitnya menuruni angkot lalu basa-basi sebentar pada supir.

Bintang senyum melambaikan tangannya pada ibunya di luar yang terlihat dari jendela angkot yang beliau pun sama membalas lambaian tangannya.

Ia menghela napas tenang. Dia menatap keadaan mobil. Semua penumpang diisi ibu-ibu yang berbusana rapi ditemani anaknya berbusana seragam TPQ.

Siang ini baru pukul satu siang. Ia lanjutkan untuk berhenti di depan kafe karena lebih dulu dihubungi Gilang melalui chatting line. Dia berseru pada sang supir lalu menuruni angkot seraya mengembangkan senyum riang pada Gilang yang duduk di kursi luar menunggunya dengan lambaian tangan saat melihat ketibaannya.

"Mau ke mana, Dek?" tanya Gilang pura-pura tak kenal. Bintang menyipitkan mata lalu bertingkah sama.

"Lagi cari Ayah aku. Katanya dia di sini. Om liat enggak?" ucap Bintang nadanya di anak kecilkan sembari celingak-celinguk. Gilang menekan kedua bibirnya gemas, lalu menjepit cuping hidungnya spontan. Bintang meringis menepuk dadanya agar dia menghentikan aksinya.

Keduanya di dalam menikmati Jajangmyeon. Sembari duduk berhadapan disambangi nyanyian Korea yang merdu. Rasanya seperti akting.

"Nginap di rumah aku mau?" ajak Gilang lalu Bintang menganguk setuju.

Under Sunset In Skyline [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang