Lina di siang hari menuju rumah Renata untuk berbincang prihal keseriusan yang dialami putranya. Berdandan formal dengan gayanya sendiri, jalan setelah Bintang berangkat sekolah karena ada ujian terakhir. Beliau meremas pakaian ujung pakaian yang beliau kenakan sembari duduk di kursi angkutan umum menuju tujuan.
Raut kekecewaan masih tampak. Beliau manipulasi semuanya ketika tiba di pagar rumah pak Geri dengan mengubah raut kekecewaan itu oleh senyum bohong.
Pat satpam menghampiri lakukan bincang perihal kedatangan sembari membuka pintunya mempersilakan Lina untuk masuk. Jalan setengah buru-buru menguatkan tali tas kulit yang beliau kalungkan ke ketiaknya.
Bel ditekan tak lama muncul pak Geri, orang yang selalu memborong sayurnya. Beliau tampak rapi dengan setelan kemejanya dan hendak berangkat.
"Boleh ketemu sama Bu Renata?" ucap Lina setelah lakukan bincang bersama pak Geri sekadar basa-basi di sofa teras.
Pak Geri mengangguk tak lama supirnya menghampiri untuk keberangkatan menuju Jakarta kendati tugas administrasi yang menunggunya. Lakukan pamit hingga kembali Lina melangkah masuk ke dalam duduk di sofa tuang tamu.
Keadaan begitu sunyi. Lina bersikap biasa kembali menguatkan rematan di tali tasnya. Tatapannya lurus tekan dan duduk tegap.
"Ada apa, Bu?" Renata hadir mengembang senyum pada tamunya. Beliau pun sungkan membalas senyuman itu.
Basa-basi terdengar hingga obrolan ringan sembari menikmati camilan yang sediakan di meja. Meskipun Lina menolak tak menyentuh hanya meminum air teh sekadar menghormati jamuan beliau. Hingga itu usai tak tahu kalau Jesika menguping dari balik tembok saat mendapati tamu yang agaknya lama tak berkunjung lagi.
"Gilang kuliah, Bu?" ucap Lina memanipulasi obrolan meskipun dalam batinnya ingin to-the-point.
"Iya, lagi mengurus dulu,"
Lina senyum. Senyum merasa lega.
"Ada yang ingin saya obrolkan, Bu." Lina memulai ujung pakaian beliau dia remas. Merasa bimbang untuk memulai namun tekad untuk menuntaskan.
"Ini menyangkut putra kita, Bu. Sebelumnya mungkin ada sesuatu yang ada pada Gilang soal kedekatan pertemanan dengan anak saya. Yang awalnya saya kira biasa aja. Namun—" beliau bercerita penuh dengan tatapan penuh gelisah.
Renata mendengar saksama agak setengah bertaut alis. Di sana tergurat rasa yang sama perihal kedekatan putranya dengan Bintang yang dibahas ibunya.
"Keduanya teman dekat, ya." timpal Renata sebagai bentuk tanggapan setelah Lina bercerita panjang. Lina senyum sejenak tatapannya ingin menuntaskan hanya saja begitu tertahan. Apalagi melihat Gilang tetiba datang bersetelan kemeja putih dan levis hitam menginterupsi obrolan sepulang dari sekolah untuk keperluan urus kuliah.
Gilang terdiam, tatapannya langsung pada Lina yang menatapnya kecewa dan ibunya yang senyum mengkode untuk berlalu pamit sopan.
"Bu," sapa Gilang agak ragu dibalas senyum sekilas dari Lina yang hanya dua detik menatapnya lalu kembali mengalihkan ke arah lain.
"Ada apa?" Jesika menahan lengan adiknya saat dia berlewat. Gilang sudah mengira—diam saja menerima seakan drama—itu akan terjadi sebentar lagi. Raut gelisah dia manipulasi oleh senyum setelahnya jalan meneruskan.
Jesika kembali menguping meskipun takut terpergoki, dia penasaran dengan obrolan yang menyangkut adiknya dan Bintang. Dia menebak-nebak dan membelalakkan mata akan tebakan dia yang jauh dari pikiran.
"Anak saya mau pesantren. Saya akan didik dia menjadi pribadi yang baik dan baru sekaligus ... meminta maaf prihal kedekatan anak saya dengan Gilang, saya tahu kalau keduanya mempunyai kedekatan begitu dalam. Yang bahkan sebegitu dalamnya rasa pertemanan keduanya hingga terbawa rasa sayang menjalin rasa cinta yang saya anggap salah," ucap Lina tak diinterupsi Renata yang mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Sunset In Skyline [BL]
Novela JuvenilBINTANG Antares Rifki Pradana, dulu pernah pernah menjadi salah satu korban perundung SMP. Kisahnya terlupakan kendati berteman dengan salah satu gadis bernama Agnes sejak kelas tiga SMP. Ia sudah mengira perbedaan dalam dirinya seringkali dijadikan...