BAB 31: Nekad

209 28 0
                                    

Bintang pulang menyusur jalan di tepi, dia jalannya pelan dengan tatapan layu. Dia tatap jalan juga beralih ke segala arah. Entah, dia merasakan hal aneh. Aneh juga terpikir akan kata-kata Gilang padanya. Bayangan dia saat mengobrol di depan api unggun terulang lagi bikin dia memejamkan matanya lalu menyeberang buru-buru lari berbelok arah ke sawah.

Dia melihat saung sederhana, langsung saja ke sana juga duduk memeluk kedua lututnya merenung akan pernyataan Gilang padanya saat kemarin.

Wafer dia gigit merasainya manis namun tidak juga bikin wajahnya berekspresi enak, melainkan murung juga bingung. Dia layaknya orang yang sedang dirundung masalah berat juga tak tahu harus bagaimana.

Pukul setengah dua siang, masih panas juga langitnya cerah tiada awan. Kalau kita berkelantang di bawah, sudah pasti jadi gosong dibuatnya. Sawahnya hijau bertebar padi yang tingginya hanya sepaha orang dewasa. Daunnya mirip ombak kalau ada angin yang menyapunya. Di sana, di saung itu, gubug sederhana dari bambu gentengnya dari daun kelapa tua yang ditata rapi juga dipastikan tak akan bocor.

Lantainya dari bilah bambu yang tumbuk hingga pipih. Warnanya kuning pudar. Anginnya dingin juga bikin poni bergelombang. Angin menyentuh lutut pemuda itu yang duduk meringkuk memeluk lutut.

Ransel gemuk dicampakkan di sisinya juga sebuah topi ditaruh di paha. Seakan didekap badan yang meringkuk. Lengang, mungkin petani beristirahat karena panas.

Terbersit tanya, 'Gilang gay?'.

Bintang menelan ludahnya memikirkan prihal itu. Jadi selama ini, kebaikan dia ada ajun lain yang bersembunyi. Dia mencintai juga suka. Secara internal dari hati ke hati. Bintang bingung dia dekap kepalanya sembari mengerang pusing.

Pintu rumah dibuka lebar, pemuda itu melangkah masuk tanpa menoleh juga hanya mengucap salam yang lirih. Lina entahlah, beliau tak ada barangkali. Bintang memastikan dan tahu itu. Pukul siang begini, ibunya pasti di tengkulak sibuk menimbang sayur juga mencatat sayur petani yang membawa berkarung-karung sayuran untuk dijual padanya.

Bintang mengempas pantatnya ke sofa empuk. Dia menyandar juga memejamkan matanya capai. Kita bisa lihat lehernya yang nampak jakun kecil yang naik lalu turun.

Kedua matanya membuka lagi, mengangkat kepalanya selaras melihat sekitar dengan pupil cokelatnya. Tadi Bintang dengar bunyi berisik mirip desisan di dapur. Makanya dia begitu. Tidak, hanya perasaan saja. Dia sendiri di rumah.

Gawai dipegang tangan lalu dia ketuk nomor ibunya, dia dekatkan ke telinga. Bunyi dengung menyambungkan telepon terlantun.

"Halo, Bintang, udah pulang sayang?" Seru ibunya dari balik telepon. Nadanya kesenangan. Bintang senyum lalu menyahutnya juga dengan mengobrol dan kalau dia sudah di rumah.

Telepon ditutup. Dia telah memberitahu ibunya. Lalu pipinya mengembung lalu beranjak menjinjing ransel gemuknya menuju kamar.

Bunyi shower dari kamar mandi, Bintang di sana untuk membersihkan diri dengan berdiri mengucur air dari shower ke kepala lalu jatuh dari sela rambut ke lantai. Rasanya dingin juga enak tak mencekik kayak di tempat kemah. Jujur, Bintang tak mandi satu hari di sana, karena dinginnya minta ampun.

Dinginnya kayak es. Saat subuh saja,  baru celupkan tangannya ke air sudah menggigil dibuatnya. Bintang menggelinjang mengingat itu.

Tak apa, badannya bersih sekarang, mandinya satu jam dengan busa-busa dari sabun cair.

Rebahan dan tahu kebiasaan Bintang kayak gimana? Dia tiduran habis mandi tanpa pakai baju hanya celana ringan sepahanya yang dia pakai.

Dia tatap langit-langit atap. Dia memejamkan matanya untuk tidur. Badannya kayak remuk karena tahu-lah, tidur di kemah itu tidak nyenyak sudah diganggu tetangga yang nyanyi tengah malam, sempit juga kadang saat badannya gerak mencari posisi enak, badannya kena batu kecil di balik terpal. Sakit dan siklus tidurnya jadi amburadul.

Under Sunset In Skyline [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang