Sehabis latihan, keduanya pulang dengan menunggangi motor ninjanya Gilang. Bintang jadi sosok pendiam saat di jalan. Biasanya dia tak begini. Ini seperti kali pertama dia memberi tumpangan.
Dia di belakang mendekapnya pinggangnya erat dan memandang ke samping pada sawah selesa yang dilalui.
Rasanya aneh. Pelik dan ingin mencabik sesuatu untuk melampiaskan amarahnya yang dalam. Dia rupanya mempunyai dendam namun sebisa mungkin dipendam hingga terlupakan oleh waktu. Tak bisa dibancang datang dan mengamuk untuk menuntaskan. Dendam itu kembali lagi.
Rumahnya sunyi, mungkin Lina ibunya tak ada di rumah. Beliau pasti sibuk melayani pelanggan petani yang memikul karung-karung berisi sayuran untuk dijual. Sunyi memang, Untung tak seperti lalu, sekarang Gilang yang sering ke sini. Bahkan tiap hari sejak dua hari resmi menjadi kekasih. Dia sering ke sini pun Lina benar-benar senang akan kehadiran Gilang membuat hatinya tak cemas memikirkan Bintang yang sendirian di rumah. Meskipun beliau tak perlu risau akan keadaan putranya kendati sudah besar, namun insting seorang ibu tetap tak bebas. Beliau masih cemas. Kendati hampir tiap hari Bintang ditinggalkan untuk pergi bekerja dan kadang hingga dua hari karena perjalanan ke Bekasi dan lainnya untuk mengirim sayur.
Bintang langsung mereguk teko dengan mengucur airnya ke dalam gelas—langsung meneguknya habis. Gilang duduk di kursi dapur lalu Bintang mengucur air lagi dan mengulurkan pada Gilang. Dia ambil dan teguk sampai habis.
"Aku mau mandi, aku gerah," Ucap Bintang lalu melepas kancing kemeja bersama dasinya. Dia tanggalkan kemeja itu di kursi dan tinggal badannya yang kuning langsat.
"Mau aku mandiin?" Ucap Gilang memberikan tatapan mengerikan yang ... entahlah Bintang tak suka. Itu menggelikan.
Bintang mengelengkan kepalanya lalu menyelimuti punggung dengan handuk segeranya menuju kamar mandi yang tak lama berbunyi gercik air.
Gilang jalan-jalan merhatikan sekitar tergamang akan kediaman Bintang. Mungkin baginya, ini akan menjadi hal menyenangkan kendati dia bisa leluasa melakukan apa pun di sini. Namun dengan Bintang tampaknya dia akan kesepian dan sadar kalau selama dia di sini, sering menjumpai Lina bepergian dengan mang Jajang paman Bintang.
Ada senang kendati bisa lebih dekat dengannya hanya saja itu memunculkan hal lain. Hal yang mengebu dari lubuk hati untuk melakukan sesuatu dengan itu. Dia bancang dan sekuat tenaga tak mau melakukan itu sebelum dia menginjak kelas tiga. Dia tak mau Bintang sudah dilakukan olehnya. Namun melihat Bintang yang kian manis dan menggoda penglihatan, dia jadinya nakal sering menggombal oleh kata-kata ambigu.
Dia lepas kancing kemejanya dan tiduran di kamar Bintang. Dia memejamkan matanya karena capai hanya untuk tiduran sebentar.
"Kamu mau mandi?" Ucap Bintang dengan handuk melilit pinggang selepas mandi. Dia mengadap cermin lemari melap rambutnya oleh handuk lain. Gilang membuka matanya lalu menatap punggung Bintang.
Dia pejamkan matanya kuat-kuat hilangkan rasa itu agar tidak nekad.
Bintang duduk manis dengan mengeringkan rambutnya pakai hairdryer. Gilang tak tahan dia duduk saja di belakang mengalungkan tangannya pada pinggangnya. Bintang kegelian.
Gilang kecup lehernya dan hirup aroma sabun yang tertinggal di kulit.
"Mau," Ucap Bintang nada ala anak kecil.
"Mau apa?"
Bintang nyengir lalu mengenakan celananya setelah menyuruh Gilang menutup mata karena privasi.
Malam dan telah tiba. Gilang telah mandi dan kini bersiap untuk tidur. Dia mendapati Bintang tidur lelap menyamping dengan kausnya. Gilang mengenakan celananya yang tak keras bahannya ringan. Dia pandang Bintang yang tidurnya lelap lalu mengecupnya lagi, lagi, dan lagi hingga Bintang merasa terusik dengan mengumam pelan.
Lina memasukkan kunci ke dalam lubang kunci amat pelan tak menimbulkan suara. Dia tak mau mengganggu putranya kebangun meskipun mustahil namun beliau punya kebiasaan begitu.
Dia menjinjing keresek berisi kacang rebus kesukaan anaknya lalu dimasukkan ke dalam kulkas. Beliau tutup pelan dan menuju kamarnya untuk memeriksa.
Beliau dengan semburat bahagia yang terukir dalam beberapa detik terperangah. Beliau memergoki putranya yang tidurnya lelap sedang dikecup pipinya lembut beberapa kali oleh Gilang dengan dia yang setengah telungkup memandang sayang. Lina menarik langkah ke belakang dan mengatur napas juga berpikir jernih kalau itu hanya perasaan.
"Sayang ... mimpiin aku, ya." Dan itu suara Gilang membuat Lina kian membulatkan mata dan jalan mundur hingga menutup pintu luar beliau duduk menenangkan diri di teras.
Lama Lina di teras. Beliau merenung dengan penglihatan tadi. Beliau merasa tertampar akan perlakuan putra Geri pada putranya. Terpikir heran dan tanya soal putranya.
"Putraku sama?" Gumam Lina tercengut mengusap pelipis kanannya.
Keduanya harmonis dan Lina tetap berpikir jernih tanpa berpikir negatif yang hanya memperburuk sisi positif tentang kejadian tadi. Beliau melihat putranya dipeluk kali ini oleh Gilang dan tidur keduanya saling hadapan saling merapatkan pucuk kepala hingga jika dilihat dari atas, keduanya membentuk sebuah hati.
"Jangan bawa dia ke dunia kamu," Lirih Lina senyum setengah tak arti. Beliau tutup pintunya hingga menutup kendati tak ingin keduanya digigit nyamuk.
Lina menunaikan salat isya yang tertunda. Beliau mengatupkan kedua telapak tangan merapal doa dengan bibir komat-kamit lalu mengusap ke mukanya. Beliau teruskan dengan mengaji.
***
Keduanya hadir di meja dapur dengan tingkah keduanya yang seperti adik-kakak. Lina senyum tak mencurigakan tentang kejadian kemarin. Beliau menuang nasi pada kedua piring untuk dua pemuda yang dirundung ceria.
"Bu, Gilang tidurnya ngorok," Adu Bintang bikin Gilang menunduk malu namun tetap tidak lama ketawa kecil.
"Kamu juga sama, ngorok sampai kedenger ke ruang tamu," Ucap Lina membela Gilang dengan tawa kecil.
Bintang diam tak ingin berkomentar lagi. Dia lebih baik menikmati sarapannya.
"Makasih, Gil, udah jaga Bintang selama Ibu sering jalan," Ucap Lina seraya menikmati sarapannya.
"Iya, Bu, sama-sama, Gilang suka kok, jagain Bintang hehe."
Lina senyum dan menatap ramah pada Gilang yang riang dan tampak melempar senyum pada Bintang yang ngambek.
"Kamu makannya harus banyak, biar kayak Hulk, jadi kuat," Ucap Gilang bikin Lina ketawa kecil.
"Benar, bukan kayak gini. Makannya kayak buru-buru, sedikit." Timpal Lina lalu menuang nasi lagi pada piring Bintang.
"Gimana liburan kemarin?" Tanya Lina.
"Seru Bu, Gilang ajakin aku ke pantai terus sepeda berpelesir intinya," Ucap Bintang seakan menyindir kalau ibunya jarang membawanya jalan-jalan.
"Enggak malu kamu dibawa keluarga orang?"
Bintang ketawa kecil. "Enggak. Kan Gilang yang ngajak, aku sih, seneng aja."
Lina menggelengkan kepalanya pelan. "Nanti jaga rumah, ya, Ibu mau ke Bekasi lagi buat anterin okra, kalau main kunci pintunya," Papar Lina, Bintang saling tatap pada Gilang bikin kode senang.
***
Hari ini latihan kedua dan dimulai untuk PP. Bintang sekarang lebih profesional cekatan mengobati pasien tanpa keteteran. Gilang memujinya itu artinya berhasil membuktikan kalau semenyebalkan apa pun Bintang, dia tetap anggota emas. Dia akan menjadi ... calon ketua penggantinya.
Bintang mengusap peluh di pelipis seraya mengatur napasnya di anak tangga setelah latihan menarinya selesai. Dia capai dan melenguh lega dengan sesekali mengusap wajahnya oleh tisu.
Dia menerima pesan dari geli Gilang yang alai begini:
Gilang: 'Yang, sun dong. Kangen, nih.'
Bintang: 'Dari mana aja? Bini kamu tinggalin,'
Gilang: 'Maaf, nanti aku ke sana, ya.'
Bintang: 'Alay,'
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Sunset In Skyline [BL]
Ficção AdolescenteBINTANG Antares Rifki Pradana, dulu pernah pernah menjadi salah satu korban perundung SMP. Kisahnya terlupakan kendati berteman dengan salah satu gadis bernama Agnes sejak kelas tiga SMP. Ia sudah mengira perbedaan dalam dirinya seringkali dijadikan...