"Mau kuliah ke mana, Kak?" tanya Bintang tiduran saling pandang di rumput subtil disambangi belaian angin di perbukitan.
"Aku cocok enggak jadi dokter?" tanya Gilang mengusap pipinya oleh jemari.
Bintang mengangguk. Lalu setengah bangun dengan menopang badannya oleh kedua sikunya. Dia jalan merangkak hingga bisa mengeksplorasi visual Gilang seluruhnya.
"Mau," ucap Bintang nadanya manja.
"Mau apa?" Gilang menaut alis.
Bintang melenguh sebal dengan mengendurkan kepalanya hingga menyentuh dada Gilang. Dia usap rambutnya sekali dikecupnya.
"Yang itu ...."
"Yang itu mana?" kata Gilang tak paham oleh permintaan Bintang yang harus menebak.
"Uke itu apa?" tanya Bintang mengangkat kedua alisnya.
Gilang tawa kecil lalu memegang kedua pipinya oleh dua telapak tangan mengusap rahangnya pelan.
"Kamu, Yang." ucap Gilang lalu mendekapnya ke dadanya bikin Bintang meronta. Keduanya jadi bergelak tawa.
Larinya cepat seperti hyena lalu terhenti sepihak mengatur napas borosnya di padang rumput. Bintang menoleh ke belakang pada Gilang yang malah diam tak mengejarnya malah melambaikan tangan.
Sapuan angin melibak rambutnya sela Bintang mendekati lagi. Lalu mengendong ke punggungnya. Dia senandung nyanyian sembari bunga kecil terselip di telinga Bintang.
"Mau," ucap Bintang manja lagi.
Keduanya duduk hadapan dengan mengenakan celana ringan sepaha---duduk tergenang air sungai yang mengalir sejuk. Burung berkicau dari batang pohon bersamaan aliran sungai menenangkan. Terhampar batuan berbagai macam ukuran berwarna hitam pekat.
"Kamu manis banget, aku pengen peluk kamu terus," gombal Gilang memandanginya lekat. Bunga yang terselip ia tarik lalu memasangkan pada telinganya.
"Aku cocok enggak?" Gilang bergaya manis bikin Bintang hanya mengangguk menahan tawa pujian.
Keduanya mengeksplorasi sungai yang arusnya sedang karena volumenya hanya selutut. Mencari ikan sedang dengan tangan. Tak menang mereka lincah-lincah semua.
"Kita menunggu senja?" gumam Bintang kini terbaring berdua di tepi sungai dengan pasir tak sehalus pantai. Memejamkan matanya menikmati terik pukul dua siang.
Gilang menyamping masih memberikan jarak. Dia melukis hati di pasir bertulis namanya.
"Enggak ada senja, yang ada terik." ucap Gilang menabur pasir secangkuan tangan pada badan Bintang.
"Jangan lupa mimpikan aku, ya." Gilang mengecup pucuk kepalanya saat tiba di tepi jalan kediaman bintang.
Bintang mengangguk---jalan mundur mengembangkan senyum---memutar badannya melangkah senang.
"Kenapa larut lagi? Kenapa bajumu berganti?" interogasi ibunya di sofa ruang tengah saat Bintang masuk mengucap salam dan baru dua langkah. Dia jemu akan tanyaan itu yang sering menerpanya saat dia pulang larut malam begini. Padahal masih pagi hanya pukul delapan malam.
Ibunya sedang menulis tenang sembari menekan tombol kalkulator.
Bintang tak menyahut untuk memberi alasan. Hanya tak mau berpanjang-panjang lebih baik mengganjur langkah namun secepatnya buku ditutup paksa bikin Bintang terdiam lagi. Ibunya pasti marah.
"Kamu main sama Gilang?" tukas ibunya bikin Bintang menunduk kepala.
"Cuma ekskul," kelit Bintang.
"Gilang enggak baik. Dia ngejerumusin kamu sama dunia laknat. Kamu udah terpengaruh. Ibu mau masukin kamu ke pesantren! Ibu enggak mau kamu jadi homo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Sunset In Skyline [BL]
Dla nastolatkówBINTANG Antares Rifki Pradana, dulu pernah pernah menjadi salah satu korban perundung SMP. Kisahnya terlupakan kendati berteman dengan salah satu gadis bernama Agnes sejak kelas tiga SMP. Ia sudah mengira perbedaan dalam dirinya seringkali dijadikan...