BAB 21: Langit Toska

232 27 1
                                    

Selepas makan, adik kelas bersiap untuk materi satu yang akan dibawakan oleh KSR di aula depan. Gilang sibuk memberi arahan juga memberi tahu harus siap-siap mengenakan seragam rapi juga syalnya. Tak lupa pulpen juga buku untuk menyalin materi.

Mereka keluar tenda langsung berbaris ke belakang dipandu Desri sembari mengecek adik kelasnya untuk merapikan syal.

Bintang di dalam bersila juga tampak geram soal simpul syal yang rumit. Beberapa kali gagal dan bikin emosi saja. Gilang yang paham, dia menghentikan kegiatan bikin rak piring di dapur menuju Bintang yang kesusahan. Dia berjongkok lalu sigap tangannya merapikan syal simpul Bintang yang semrawut entah ke mana. Bintang menatap kakak kelasnya itu. Terlalu sering dia membantu juga bikin dia tak nyaman selalu salah tingkah. Gilang sela merapikan simpul, dia tatap sejenak Bintang yang menatapnya juga.

Dia berikan senyum padanya, senyum manis yang tak berubah selalu dia temui di sekolah.

Agak lama dalam itu, bikin Bintang tersadar kalau dia terlalu lama memandanginya. Dia senyum entah kenapa pipinya bersemu merah jambu. Gilang bangun lebih dulu lalu mengulurkan tangannya agar Bintang berdiri.

Keduanya jalan keluar lalu Bintang ikut berbaris di belakang. Gilang senyum melambaikan tangannya ke semua adik kelasnya.

"Pulpen, buku ...?" Dikte Desri memeriksa juga berbarengan adik kelasnya mengacungkan apa yang disebutkan kakak kelasnya saat sudah berbaris di luar.

"Sip. Pegang bahu temannya, dan jangan berpencar!" Pesan Desri lalu jalan lebih dahulu di depan menuju aula bersambung adik kelasnya saling berpegang bahu jalan pelan bersenandung yel-yel.

Seribu hingga berapa peserta dari berbagai sekolah hadir di aula terbuka. Mereka sama berseragam PDH dengan pulpen juga buku dibawa lekas duduk bersila di lantai agar yang lain bisa masuk ke aula. Sayang, aula terbukanya tak muat bikin peserta lain duduk di luar memenuhi jalan.

KSR mendekatkan mic-nya, mulai perkenalkan juga menyapa anak-anak dengan gurauan seru.

Desri menunggu di tepi dikelilingi peserta yang tak kebagian masuk. Mereka di jalan bersama Kakak pendamping lain. Saling melempar kenalan seraya menunggu adik kelasnya diberi materi.

Bintang nampak mendengarkan juga menyalin apa yang KSR paparkan.

Di tempat lain, tenda, Gilang kembali membikin rak piring yang hampir jadi. Dia pukul bambu sebagai penopang hingga akhirnya raknya tak goyang. Kuat siap bisa menampung piring kaca dan pelastik. Dia menepuk telapak tangannya lalu beringsut ke belakang duduk di karpet hangat.

Dia menuju ranselnya, bersila, juga mengorek sesuatu di sana. Sebuah arloji bambu yang dia beli saat lalu. Dia kenakan ke pergelangan tangannya lalu satunya dia tilik juga dipegang tangan seraya senyum membayangkan hal lain pada arloji itu.

"Bintang suka enggak sama aku? Jika dia suka, dia akan menerima ini? Haha. Lo terlalu pede," Senandika Gilang lalu ketawa kecil.

Desri kembali ke tenda saat materi perlu satu jam lebih membuatnya pegal kaki kalo harus berdiri di sana. Dia putuskan ke tenda dan langsung mengempas diri ke karpet dengan kepalanya ke ransel orang sebagai bantalan.

"Mereka kompak. Enggak ngeselin. Gue salut," Puji Desri sela rebahan dekat Gilang.

Gilang mengusap  kaca arlojinya lekas menoleh ke Desri dengan wajah ceria.

"Sudah aku bilang, mereka anak yang baik juga akan lebih baik dari kita. Aku yakin." Ucap Gilang lalu memasukan arloji satunya ke dalam ransel lagi.

Dia rebahan merelaksasi ototnya setelah membuat rak tadi. Lengan berurat akar terlalu sering mengangkat beban berat. Namun, dia agak kagum juga agar terlihat lebih laki biar Bintang lebih kesengsem, hehe.

Under Sunset In Skyline [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang