BAB 1

4K 338 7
                                    

Bab 1 — Pindah Rumah

***

Aku terkejut saat keluar kamar melihat Ayah dan Bunda sibuk mengemasi baju-bajunya ke dalam koper. Kakiku berjalan memasuki ruangan yang berada tepat di depan kamarku dengan pintu yang terbuka lebar.

Dahiku mengerut samar. "Ayah sama Bunda mau kemana? Kok diberesin baju-bajunya?"

Ayah yang sedang berdiri di depan almari menghampiriku sambil tersenyum. "Oh, iya, Ayah sampai lupa ngabarin kamu," kata Ayah menepuk jidatnya.

"Ngabarin apa?" tanyaku lagi karena masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Biasanya di jam-jam seperti sekarang, mereka sudah menungguku di ruang makan, tapi rupanya mereka berdua masih berada di kamar.

Ayah mengusap lembut rambutku. "Siang nanti, kita bakal pindah ke Jakarta, Hafsah. Soalnya Ayah dipindah tugaskan ke sana."

"Hah? Sekarang banget, Yah? Kenapa mendadak?" cecarku kaget.

Sebenarnya penjelasan Ayah sudah sangat jelas, tapi bagiku keputusan itu terkesan terburu-buru. Tidak ada kabar sama sekali sebelum ini, sehingga aku belum menyiapkan apapun. Ini sangat mendadak.

Ayah mengangkat kedua pundaknya acuh. "Ya ... dari kantor emang baru sekarang dikasih tahunya," jawabnya.

Aku menggaruk pipiku, masih belum terima. Seharusnya, Ayah memberitahuku lebih dulu, supaya aku bisa berpamitan dengan teman-teman yang ada di sini. Meski tidak banyak, mereka pasti kecewa karena aku tiba-tiba saja mau pindah.

"Udah, udah. Ngobrolnya dilanjut nanti. Sekarang kamu beresin baju-baju kamu dulu, gih," sela Bunda sebelum aku bersuara. Aku pun menurut saja.

Sambil berbalik menuju kamar, aku memanyunkan bibir sebal. Masih belum mau meninggalkan rumah yang sudah dihuni selama bertahun-tahun ini. Langkahku seketika terhenti di bibir pintu kamarku, saat bunyi bel rumah menyambar telinga.

"Hafsah, tolong buka pintunya, Sayang!"

Aku pun yang hendak masuk, terpaksa harus putar balik setelah terdengar suara Bunda yang memerintah. Helaan napas gusar keluar dari mulutku. Kemudian aku berjalan gontai menuruni tangga dan menuju pintu utama.

"Sabar, dulu, astagfirullah!" Cepat-cepat aku melangkah.

Bunyi bel yang ditekan berkali-kali membuat telinga menjadi bising. Ketika aku membuka pintu berwarna coklat kayu tersebut, tampaklah sosok tamunya.

Aku melotot kaget melihat siapa yang datang sepagi ini. Cowok dengan tatanan rambut yang sedikit berantakan dan agak basah, serta memakai kaos putih dipadu jaket warna hijau army, juga celana jeans robek di bagian lutut itu tersenyum padaku.

"Hai!" sapanya riang sambil melambaikan tangan. Seketika lamunanku membuyar.

Mendadak aku menjadi gugup. Laki-laki di depanku ini sungguh tampan. "H-hai juga!"

"Lo ... Hafsah, ya?" tanyanya sambil mengamati heran wajahku.

Aku pun mengangguk ragu. Otakku berusaha mengingat-ingat. Siapa cowok yang ada di hadapanku ini, kok bisa mengenaliku? Perasaanku mengatakan bahwa aku pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan dan dimana?

"Gue Daffa."

Cowok yang mengenalkan dirinya sebagai Daffa itu mengulurkan tangannya dan aku membalasnya disertai senyuman canggung.

"Tiga tahun kita gak ketemu udah makin cantik aja lo," ucapnya sedetik setelah melepaskan salaman.

"Hah?" Aku cukup terkejut akan ucapannya barusan.

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang