BAB 27

518 128 1
                                    

Bab 27 — Permintaan maaf

***

"Zain!" panggilku setengah berteriak saat melihat punggung Zain menuju parkiran. Maryam, Ami, dan Ijah sudah lebih dulu pergi dan seperti biasa aku menolak pulang bersama mereka.

Aku berlari kecil menghampiri Zain. "Tolong kasih ini ke Daffa, ya. Bilangin suruh putusin semua pacar-pacarnya, soalnya aku gak suka."

Aku menyodorkan sebuah coklat yang sama seperti yang dia berikan padaku. Sebab di sekolah, coklat yang paling enak hanya itu.

Tidak segera diambil aku pun berkata, "Eum ... kalau kamu gak mau gapapa, nanti aku nyuruh Amran atau Bian aja."

Zain masih bergeming menatap coklat di tanganku. Seaolah ada yang dipikirkan olehnya membuatku pusing menerka-nerka. Aku membuang napas kecewa, memasukkan kembali coklat ke dalam saku rok.

"Gapapa, kok. Makasih, ya sebelumnya."

Meski Zain tidak menerima coklat dariku, yang terpenting dia mau mendengarkan niatku sehingga aku berterima kasih padanya. Zain masih diam juga, tidak membalas ataupun sekedar merespons.

Aku menggaruk alis yang tidak gatal, mengedikkan bahu enteng. Kemudian melengos pergi melewatinya. Zain memang agak aneh. Aku tidak mau membebani pikiran dengan memikirkannya.

Mungkin ada sesuatu hal yang membuat Zain tidak mau membantuku. Ah, entahlah.

Sambil duduk menunggu bus di halte, aku mengayunkan kaki bergantian. Menopang tangan di sisi tubuh sembari melihat ke jalanan sekitar yang cukup ramai.

Aku tidak menunggu sendirian. Ada seorang ibu dan dua anaknya, laki-laki dan perempuan di dekatku. Sesekali dua bocah itu menyapaku dan aku pun tersenyum ramah.

"Hafsah."

Aku menengok ke samping kanan ketika mendengar seseorang memanggil namaku. Orang itu kemudian duduk cukup berjarak denganku.

"Kenapa, Zain?" tanyaku heran karena tiba-tiba saja cowok itu menyusulku sampai di halte.

Zain yang tetap berwajah datar, sedikit merunduk dan saling menautkan jari jemarinya.

"Coklat lo tadi mana? Biar gue kasih ke Daffa."

Aku agak tersentak mendengar ucapan Zain, menajamkan telinga sambil mengedipkan mata belum percaya. "Seriusan? Kalau kamu gak mau, gak usah dipaksa."

Zain mengangguk kemudian menggeleng membuatku refleks tertawa. Namun aku mengulum bibir menahan tawa tersebut sambil menutup mulut.

Zain kemudian ikut terkekeh. Ekspresinya saat ini membuat tawaku kontan berhenti melihat Zain yang rupanya makin terlihat tampan berkali-kali lipat. Zain lebih cocok dengan raut bahagia seperti itu.

Entah mengapa, aku merasakan getaran aneh di dada. Cepat-cepat aku mengalihkan pandanganku dan bergegas mengambil coklat dari saku. Memberikannya kepada Zain.

"Nih! Makasih, ya. Maaf jadi ngerepotin."

Aku hanya melirik sekilas Zain, sebab makin lama aku merasa panas dingin. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang seperti habis lari-lari keliling kompleks sambil dikejar anjing.

Nampak Zain mengangguk dan menerima coklatku. Senyum tipisnya masih saja terlihat, membuatku buru-buru menarik tangan, menggenggamnya erat sendiri. Memilih diam takut jadi salah tingkah.

"Ciee ... Ciee ...."

Dua bocah kecil beda jenis kelamin tersebut bersorak tiba-tiba. Memandangi kami berdua sambil tertawa-tawa. Aku yang melihat mereka menjadi gemas ingin mencubit pipinya. Tahu saja, jika aku makin mati gaya.

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang