BAB 24

530 126 0
                                        

Bab 24 — Gara-gara Hafsah?

***

"Nah ... ini dia album foto kita berempat dari kelas tujuh."

Maryam mengambil sebuah album foto yang sebelumnya berada di dalam nakas dekat tempat tidur. Kemudian gadis itu membawanya di pangkuan serta duduk bersamaku dan yang lain di pinggiran kasur.

Saat ini kami sedang berada di rumah Maryam, sekembalinya dari makam. Ami yang mengajaknya pertama kali, katanya sekalian menunjukkan foto-foto mereka saat masih bersama.

Maryam membuka album foto tersebut dan aku yang duduk di sebelahnya menonton dengan antusias. Di gambar-gambar tersebut, mereka berempat terlihat menggemaskan dan aura kecantikannya sudah terpancar.

"Ini foto kita pertama kali waktu MOS SMP. Hari terakhir kayaknya, masih disuruh pakai macem-macem!"

Maryam menunjukkan lembar pertamanya padaku sambil terkekeh geli, seolah menertawai penampilannya sendiri di foto tersebut. Di dalam foto itu, mereka berempat tetap dalam posisi yang sama. Dari kanan ada Ami, Fatimah, Maryam, dan Ijah.

Maryam terus menunjukkan padaku lembar demi lembar, yang saat diceritakan aku mempunyai sedikit gambaran bagaimana suasananya saat itu.

"Nah, ini waktu lagi di Pantai Pandhawa. Waktu study tour SMP ke Bali," ujar Maryam memberitahu.

"Subhanallah .... gue dekil banget! Untung aja, pulang-pulang Nyokap langsung nyuruh perawatan."

Ami menyeletuk saat foto yang ditampilkan sedang menunjukkan suasana pantai yang terlihat sangat panas. Dapat dilihat juga, wajah-wajah lelah mereka terabadikan.

"Sombong amat!" sahut Ijah ngegas.

"Biarin. Gue ngerasa insecure sama Abang gue sendiri. Bisa-bisanya dia lebih cakep dari gue, kulitnya putih turunan dari Nyokap. Aturannya adiknya harus lebih cantik!"

Dari belakang aku bisa merasa pergerakan Ijah yang duduk di sebelah. Ternyata tangannya sedang berusaha menarik ujung belakang kerudung Ami. Ami berteriak refleks.

"Abang lo cowok, ya! Gak bisa dibandingin lah. Abang lo ganteng. Lo-nya cantik," kata Ijah kemudian.

"Mungkin," lanjutnya seperti sedang berusaha menggoda Ami.

"Bilang gue cantik jangan setengah-setengah, dong! Yang ikhlas gitu."

Ami langsung mencubit Ijah dan menariknya mundur ke tengah kasur. Di sana mereka saling bertempur satu sama lain. Dengan tarikan dan cubitan.

Aku dan Maryam kontan tertawa melihat tingkah keduanya. Diam-diam aku memandangi wajah Ami dan tanpa sadar membandingkannya dengan foto di pantai itu.

Sebenarnya ada banyak perbedaan. Ami yang sekarang memang jauh lebih cantik dibandingkan dengan yang ada di dalam foto. Namun di foto pun juga sudah terlihat, jika Ami sangat manis dengan kulit yang agak gelap itu.

Sekedar informasi, jika Ami memang kulitnya lebih sedikit gelap dari kami bertiga. Karena itulah, Ami jadi sangat manis dan tak bosan dipandang.

"Awas lo, ya. Gak bakal gue restuin lo sama Abang gue!"

Ami seperti sedang mengancam. Marahnya Ami terlihat lucu. Jari telunjuknya menunjuk wajah Ijah yang sedang membenarkan kacamata.

"Siapa juga yang suka sama Abang lo? Kalau pun gue suka, gue gak bakalan sudi punya adik ipar kayak lo!" Ijah menjulurkan lidahnya mengejek Ami yang nampak tersulut emosi.

Ami melipat tangannya di depan dada, lalu membuang wajah acuh tak acuh. "Ya udah. Gue juga gak sudi punya kakak ipar kayak lo. Mending Maryam aja. Galak-galak tapi perhatian."

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang