Bab 22 — Allah beri kelancaran
***
Tidak terasa sudah tiga bulan lebih aku bersekolah di SMA Jaya Bangsa. Sekarang sudah memasuki semester dua yang artinya ke depannya akan padat dengan jadwal les dari sekolah, mengingat kami sudah kelas dua belas.
Sekarang ini kami sedang berada di kantin ditemani sepiring nasi goreng dan es teh dingin. Kami berempat masih terus bersama sampai detik ini. Tidak ada yang neko-neko, justru dari mereka aku belajar banyak hal.
"Kalau bersentuhan sama yang bukan mahram tapi gak sengaja gimana? Misalnya tubrukan di bis?" tanyaku penuh kehati-hatian.
Mendengar hadis yang Maryam bacakan membuat bulu kuduk merinding. Hadis mengenai ditusuk besi panas lebih baik daripada menyentuh yang bukan mahram.
"Otak gue langsung kepikiran sama drakor." Ami terkekeh yang kepalanya langsung disentil oleh Ijah.
"Drakor mulu pikirannya. Masih sering gak lo lihat begituan?" Ijah mulai galak lagi. Ami menyengir dengan muka manisnya.
"Alhamdullilah, udah jarang. InsyaAllah gak lagi," ucap Ami kemudian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ijah mengangguk dan memberi sahabatnya apresiasi.
"Bagus, bagus. Teruskan, teruskan."
Aku beralih memandang Maryam karena merasa pertanyaanku belum dijawab. Maryam yang duduk di sebelahku meminum es tehnya lebih dulu.
"Sepertinya gapapa, sih. Asalkan benar-benar gak sengaja. Dan buat ke depannya harus lebih hati-hati. Nanti coba aku cari dulu jawaban yang lebih pastinya," kata Maryam membuatku tersenyum dan mengangguk.
Aku kembali melanjutkan makan sambil sesekali bergurau dengan Ami dan Ijah serta mengamati sekeliling. Tanpa sadar kedua mataku langsung tertuju pada seseorang yang berada di meja ujung kantin berduaan dengan perempuan.
Siapa lagi kalau bukan Daffa. Cowok itu aku amati sudah gonta-ganti pacar seperti ganti baju saja. Datang ke kelas bersama perempuan yang berbeda dengan yang diajak nongkrong di kantin. Tapi di sana dia sendirian, maksudnya tiga temannya tidak berada di dekatnya.
Namun aku tidak terlalu peduli. Kembali fokus menghabiskan makan siang bersama yang lain. Setelah selesai semua, baru istirahat beberapa menit, aku merasa ingin buang air kecil. Lantas aku berpamitan.
***
Selesai dari toilet dan hendak kembali ke kantin menyusul yang lain, aku berpapasan dengan Zain. Entah mendapat dorongan darimana, aku pun memanggilnya.
"Zain."
Zain berhenti melangkah lalu menatapku sejenak dengan dagu terangkat sekilas. Seolah sedang bertanya apa.
Aku menelan ludah lebih dahulu, menatap sekitar kemudian menggigit bibir bawah. Bingung menguasai diri ini. Memilih kata-kata yang cocok untuk membahas sebuah persoalan.
"Gini ... tolong, dong ingetin sama bilangin ke Daffa. Kamu kan temannya. Jangan terlalu deket sama perempuan apalagi sampai pacaran, soalnya dosa." Akhirnya aku bisa berkata dengan jujur.
"Gue udah tiap hari nasehatin, tapi dia tetep nekad. Padahal dulu dia sempet break bentar, gara-gara sesuatu dia balik lagi ke yang dulu."
Aku mengerjap tidak percaya sebab Zain berbicara begitu panjang. Namun kekagumanku harus dipaksa hilang, karena ada yang lebih penting.
"Gara-gara sesuatu?" tanyaku sedikit ragu.
Zain mengangguk dengan muka lempeng. "Gue rasa lo tahu sesuatu-nya itu apa."
Aku menggeleng samar, mencoba menelaah kembali kata-kata Zain yang cukup ambigu. Aku memutar otak mencari jawaban. Saat aku ingin bertanya karena masih bingung, Zain malah pamit pergi.
"Duluan. Assalamualaikum."
"Wa ... Wa'alaikumussalam." Kemudian yang kulihat hanya punggung tegap Zain yang perlahan pergi menjauh. Aku mengusap tengkuk dari balik jilbab, masih belum mengerti sesuatu apa yang Zain maksud.
***
"Tema kali ini mungkin sedikit banyak membuat kalian tersinggung. Karena yang akan saya bahas kali ini adalah tentang aurat."
Maryam masih rutin mengisi kajian mingguan sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler ROHIS. Semakin hari Maryam mengalami peningkatan saja dalam berceramah, sudah persis dengan ustadzah yang videonya sering aku lihat di internet.
Aku merasa lega karena beberapa bulan terakhir ini, banyak anggota tetap. Mungkin jika dihitung ada tiga puluh orang. Delapan belas perempuan dan sisanya laki-laki. Itu sudah termasuk aku, Maryam, Ijah, Ami, Daffa, Zain, Amran, dan Bian.
Cukup mengalami kenaikan. Bu Chika dan Pak Abdul pun terlihat sangat senang karena ekstrakurikuler yang mereka pegang bisa ramai seperti sekarang. Struktur organisasinya pun juga sudah jadi.
"Kita tahu bahwa aurat perempuan yang meliputi seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Itu artinya, kaki termasuk aurat yang wajib ditutupi. Sementara untuk laki-laki, auratnya antara pusar sampai dengan lutut. Yang artinya lutut pun harus ditutup. Ini yang biasanya terlupakan oleh anak laki-laki."
"Banyak perempuan yang mengira jika auratnya hanya sebatas menutup rambut, pakai kerudung biar rambutnya gak kelihatan. Pakai pakaian yang ketat dan transparan. Padahal yang seharusnya adalah menutup lekukan tubuhnya. Jadi bukan sekedar membalut saja tapi harus menutup."
"Contohnya pakai pakaian yang longgar, kayak gamis, rok, kerudung yang lebar. Hindari pakai celana, kecuali kalau olahraga khusus siswa karena kebijakan sekolah berbeda-beda. Jangan lupa pakai kaos kakinya. Pakai kerudung gausah yang neko-neko. Gak usah dililitkan ke leher. Sebab tujuan kita memakai kerudung untuk menutup aurat terutama bagian dada bukan mau bunuh diri."
Seluruh ruangan dipenuhi tawa renyah. Maryam pun ikut terkekeh akibat ucapannya sendiri.
"Kalau ada yang bilang, 'sedang dalam proses, Kak, makanya pakai kerudung yang gak begitu besar dulu'. Proses mulu tapi gak ada progresnya. Yakin nih lagi proses, bukan ngikutin trend?"
Kembali, tawa terurai di sela-sela ceramah yang disampaikan oleh Maryam. Sebetulnya Maryam membawa materi tersebut dengan cukup baik dan santai, tapi kata-katanya amat menusuk sampai ke ulu hati.
"Karena friends, kematian dateng itu gak butuh proses. Kalau pun beneran masih belum bisa, karena sedang ada sesuatu hal. Misalnya keterbatasan biaya untuk membeli pakaian yang diperlukan. Setidaknya terus berdoa supaya Allah membantu kita dalam menjaga aurat."
"Sejatinya semakin tinggi ilmu agama seorang wanita, semakin sederhana pula pakaiannya. Semakin malu seorang wanita, semakin tertutup pula pakaiannya. Laki-laki pun juga harus menjaga auratnya. Itu, sih, kesimpulannya."
Beberapa saat kemudian Maryam mengakhiri ceramahnya dan diberi apresiasi dengan bertepuk tangan. Dari yang Maryam sampaikan kali ini, ada banyak yang bisa dipetik. Membuatku semakin ingin belajar lebih banyak.
Selama ini acara selalu lancar sebab Allah memberi kelancaran. Tanpa Allah, kami tidak akan bisa sampai di titik saat ini. Pun begitu dengan perjalananku ke arah yang lebih baik. Meksi kadang iman sering naik turun dan masih sulit istiqomah, tapi aku tidak mau menyerah begitu saja.
Ketika semuanya benar-benar selesai, termasuk membereskan mushola seusai kajian, aku dan yang lain bergegas pulang. Seperti biasanya, aku menunggu seorang diri di halte karena tidak mau merepotkan Ami, Maryam, dan Ijah.
Hari semakin sore dan awan mulai menggelap. Bus pun tak kunjung datang. Aku mulai resah menunggu sehingga aku lebih giat berdzikir supaya hati tentram. Rintik hujan pun turun selepas aku naik ke dalam bus.
Sambil melihat ke arah jendela luar, mengingatkanku akan banyak hal. Terutama ... sesuatu yang aku ingin tahu kebenarannya.
***
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep Halal, Sis!
Teen FictionIni hanya cerita tentang perjalanan Hafsah setelah kepindahannya ke Jakarta. Di sekolahnya yang baru, Hafsah juga bertemu dengan orang-orang baru. Ada Ami yang orangnya asyik. Ada Ijah yang supel dan pintar. Juga ada Maryam yang jutek tapi perhati...