BAB 30

1.6K 172 31
                                    

Bab 30 — Ini belum berakhir

***

Beberapa tahun kemudian.

"Rasa-rasanya... habis ini di antara kita bakalan ada yang gak jomblo lagi."

Celetukan dari Ami membuat antensiku yang sedang bertukar cerita dengan Maryam mengenai kuliah tertuju padanya. Sekarang ini kami tengah berada di gazebo belakang rumah Ami yang terdapat kolam renang sebagai pemandangan.

Gadis pemilik rumah itu baru saja mengambil cemilan untuk menemani obrolan pagi ini. Menyambung ucapan Ami tadi, Ijah melebarkan matanya.

"Yang bener lo, Mi? Siapa? Kok lo bisa tau, sih?" Ijah langsung membeberkan banyak pertanyaan membuat Ami langsung tertawa ngakak. Aku terkekeh kecil melihat raut bahagia dari Ami.

"Gue cuma nebak aja, Ijah! Gue bukan peramal, jadi gak tau bener atau enggak," kata Ami.

Diam beberapa detik, ia kembali mengukir senyumnya. "Setelah Maryam dikhitbah sama Zain... gue punya feeling habis ini bakalan...."

Ami melirikku sambil cengar-cengir. Aku mengerjap tak mengerti karena tiba-tiba saja aku menjadi sorot perhatian. Aku menunjuk diriku sendiri dengan perasaan tak yakin.

Ami langsung mengangguk. Aku menjadi bertanya-tanya, "Kenapa aku?"

Ami langsung berdecak. Sementara Maryam dan Ijah langsung bertatapan sambil bertukar senyum entah maksudnya apa.

"Emangnya kalau entar ada yang tiba-tiba khitbah lo, lo terima gak?" tanya Ami kemudian.

"Jangan-jangan... habis pulang dari luar negri Daffa langsung khitbah Hafsah?" tambah Ijah terkikik membuatku menggaruk kepala yang tidak gatal. Maryam mengangguk, tampak setuju-setuju saja.

"Ih, apaan sih! Enggaklah," tukasku cepat-cepat, mengambil cemilan di tengah gazebo.

"Enggak ada yang gak mungkin, Hafsah," ucap Maryam terdengar meyakinkan sembari mengusap bahuku.

Akhirnya aku pun yang sebenarnya malas membahas soal ini, memilih berkata, "Doain aja yang terbaik." Seraya tertawa renyah.

Berita tentang pernikahan Maryam dan Zain saja sudah membuat hatiku remuk. Katanya, mereka akan segera melangsungkan pernikahan setelah wisuda. Ternyata... selama ini cowok itu mengagumi Maryam. Entah bagaimana ceritanya, aku pun tidak tahu.

"Sumpah... sedih banget gue kalau inget kalian bakal ketemu jodoh masing-masing. Kita masih tetep bareng-bareng gak ya? Kan, pasti pada sibuk ngurus suami," ucap Ami sendu.

"Iya, setuju gue." Ijah ikut menimbrung. "Gimana kalau...."

"Kita jodohin anak-anak kita?" usul Ami membuatku dan yang lain tergelak. Bisa-bisanya Ami berpikir mengenai saran tersebut. Lulus kuliah saja belum, padahal masih dibuat pusing dengan tugas akhir.

"Gue setuju lagi!" jerit Ijah heboh sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Aku geleng-geleng melihat tingkah keduanya yang masih saja tidak berubah dari dulu. Meskipun kamu tidak satu kampus, tapi kami masih sering berkumpul.

Aku sangat bahagia bisa mempertahankan persahabatan kamu sampai sejauh ini. Rasanya begitu senang dan aku selalu berharap bahwa persahabatan kami ini diridhoi oleh Allah Subhana Wa Ta'alla. Karena orang-orang seperti mereka sudah sangat jarang ditemukan.

***

Aku yang sedang fokus mengerjakan tugas di laptop terpaksa berhenti ketika mendengar suara ketukan pintu kamarku. Aku sedikit berteriak untuk mempersilakan orang di balik pintu untuk masuk.

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang