Bab 3 — Satu sekolah
***
Semenjak kedua kakiku berpijak di kawasan sekolah yang mulai ramai orang hilir mudik, membuatku panas dingin. Bagaimana tidak? Aku langsung menjadi pusat perhatian orang-orang di sana.
Meski tidak banyak orang yang mengetahui kalau aku murid baru, tetap saja ada beberapa yang menyadarinya. Hal itu membuat diriku merasa tidak nyaman.
Masalahnya, aku ini orang yang lebih pendiam dan pemalu jika tampil di depan umum, apalagi banyak orang yang tidak kukenal. Ini akan menjadi pengalaman berharga di dalam hidupku, karena menjadi murid baru sendirian.
Kedua kakiku lebih cepat melangkah ketika memasuki koridor utama. Kepalaku terus menunduk menghindari tatapan beberapa orang kepadaku. Setelah aku amati, sekolah tidak jauh beda dengan sekolahku yang dulu. Tidak banyak yang memakai kerudung, justru pakaian anak laki-laki lebih tertutup daripada anak perempuan.
Sebelumnya aku pun juga merasakannya. Ya, walaupun rok yang kupakai dulu tidak sependek rok yang murid-murid gunakan di sini. Aku mengembuskan napas lega sembari mengusap kening dengan punggung tangan. Akhirnya, sampai juga di ruang kepala sekolah, setelah aku berjalan hati-hati sesuai petunjuk yang aku dapat.
"Assalamualaikum ...," salamku sambil mengetuk pintu.
Suara seseorang dari dalam ruangan menginterupsi. Aku membuka pintu dan memasuki ruangan dingin dan hening itu setelah diizinkan.
"Hafsah, ya?"
Aku mengangguk dan tersenyum canggung ketika Ibu kepala sekolah menyebutkan namaku. Aku duduk di hadapan beliau yang juga sedang duduk di kursi kebesarannya.
Beberapa saat berlalu. Selesai aku mengisi formulir, Ibu kepala sekolah izin keluar entah untuk apa. Sedangkan aku disuruh menunggu sebentar karena bel tidak lama lagi akan berbunyi.
Aku mengamati setiap sudut ruangan itu. Ruangan yang penuh dengan rak dan berkas-berkas. Aku masih setia duduk di kursi awal sambil sesekali memutar kursi tersebut untuk menemani kegabutanku.
Ketika aku melihat ke arah jendela yang tidak tertutup tirai, menyembul sosok yang membuatku sedikit kaget. Sosok itu dengan senyum lebarnya melambai padaku.
Aku melotot melihatnya. "Daffa?" ucapku tanpa suara.
Di balik jendela, Daffa mengangguk seolah membenarkan ucapanku barusan. Dia mengacungkan kedua jempolnya sambil tersenyum.
Aku segera membalikkan badan membelakanginya sembari membuang pandangan dari wajah Daffa yang terlihat menjengkelkan. "Ngapain dia ke sini? Sekolah di sini juga?" gumamku bertanya-tanya.
Kembali, kutolehkan kepala melihat ke jendela. Daffa masih ada di sana dengan senyumnya. Aku merasa seperti anak paud yang ditemani ayahnya ketika datang ke sekolah. Bukan cuma Daffa, beberapa detik kemudian tiga cowok asing datang menyapanya.
Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, karena jarak kita begitu jauh dan terhalang dinding. Yang aku bisa rasakan, mereka tengah membicarakan diriku. Buktinya, ketiga cowok yang sama-sama tampan seperti Daffa itu menoleh ke arahku setelah Daffa menunjukku dengan dagunya.
Ya, aku akui Daffa memang tampan. Tapi tidak sebanding dengan sifatnya saat bersamaku. Cerewet dan sok akrab. Aura-aura buaya ini pasti.
Karena panik, aku memutar badan lagi dan pura-pura tidak melihat mereka. Gugup semakin dirasa, keringat dingin terus saja keluar. Ah, aku tidak suka berlama-lama di tempat ini. Ingin segera keluar tapi belum ada instruksi dari kepala sekolah.
Awas saja, Daffa akan aku beri pelajaran! Padahal, sudah kutolak untuk tidak menjemput serta mengantarku kemarin malam, tapi sekarang dia malah nekat datang ke sekolahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep Halal, Sis!
Ficção AdolescenteIni hanya cerita tentang perjalanan Hafsah setelah kepindahannya ke Jakarta. Di sekolahnya yang baru, Hafsah juga bertemu dengan orang-orang baru. Ada Ami yang orangnya asyik. Ada Ijah yang supel dan pintar. Juga ada Maryam yang jutek tapi perhati...