BAB 23

498 128 0
                                    

Bab 23 — Fatimah

***

"Maryam ... ajarin gue fisika, dong. Soalnya gue remeeed!"

Ami menangis kencang, suaranya sampai terdengar satu kelas. Untung saja di kelas hanya ada kami berempat. Ami memeluk Maryam dari samping sambil menghentak-hentak kakinya merajuk.

Maryam nampak biasa saja sewaktu Ami menggerakkan tubuhnya ke kanan-kiri. Setelah Maryam kelihatan pusing, dia menyuruh Ami melepas pelukan.

"Iya, Ami. Sini gue bantu." Maryam tersenyum tipis.

Ami antusias, menarik kursinya mendekat ke meja Maryam. Tidak lupa dengan buku-bukunya yang diletakkan di hadapan gadis cantik berkulit putih itu.

"Apa yang lo gak ngerti?" tanya Maryam melipat tangan di atas meja sembari menatap Ami dengan segala aktivitasnya.

"Semua."

Ami berkata dengan polosnya tidak lupa memasang raut yang sangat menggemaskan. Aku dan Ijah geleng-geleng kepala sambil mengulum bibir menahan tawa.

Maryam membuang napasnya pelan. Kemudian ia mengangguk seperti terpaksa. Dari kita berempat hanya Ami saja yang nilainya remidial.

Sebenarnya tidak tega membiarkan Ami mengulang nilai sendirian. Tapi apa boleh buat. Kata Ijah, anaknya emang malesan.

Beberapa saat waktu istirahat tidak kami habiskan di kantin, melainkan di kelas sembari membuat les privat dadakan. Khusus untuk Ami.

Mendadak pengumuman dari sekolah mengabarkan berita gembira yang menimbulkan sorakan para murid yang mendengarnya. Intinya hari ini pulang lebih cepat karena ada rapat.

Ami kelihatan sangat riang karena tidak jadi remidial. Dia berjingkrak-jingkrak kesenangan sampai memekik dan meninju udara bersemangat.

"Seneng banget kayak habis dapet lamaran dari doi," celetuk Ijah membuat Ami langsung memanyunkan bibirnya dan berlalu begitu saja keluar kelas. Semuanya menyusul, termasuk Maryam.

Namun sebelum aku berbenah sementara Maryam hendak pergi, dia membisikkan sesuatu. "Habis ini, gue ajak lo ke suatu tempat."

Seolah tidak memberiku ruang bertanya, Maryam menepuk pundakku kemudian dia ikut menyusul Ijah dan Ami yang sudah duluan. Aku yang masih belum paham dan malah tambah penasaran, memutuskan untuk cepat-cepat beberes.

Namun kejadian tak terduga malah terjadi. Ketika aku akan keluar, dari arah yang sama seseorang berjalan beriringan bersamaku. Merasa tidak cukup melewati pintu kelas, aku menoleh ke orangnya.

Itu ternyata Daffa.

Anehnya, dia tidak melakukan hal yang sama seperti waktu awal dulu. Dia terlihat lebih dingin dan jarang sekali berkomunikasi. Sekarang dia malah melangkah mendahuluiku padahal tahu tidak akan cukup.

Tetap saja Daffa nekat menerabas sampai lengan kami saling bersenggolan. Aku mencebik kesal, Daffa justru memasang muka lempeng yang sepatutnya hanya untuk Zain saja.

***

Akhirnya aku, Maryam, dan yang lain telah sampai di tempat yang dimaksud sebelumnya. Aku mengernyit memastikan sembari melihat sekeliling takut-takut. Apa benar ini tempat yang Maryam maksud?

Kami turun dari motor. Nyatanya yang bingung bukan cuma aku saja. Ami dan Ijah pun ekspresinya tak kalah terkejut seperti tidak menyangka jika Maryam akan membawanya ke sini.

"Jangan bilang kita mau ketemu sama---"

Perkataan Ijah refleks terhenti ketika Maryam menatap tajam ke arahnya. Aku yang semakin penasaran lantas bertanya tanpa banyak berpikir. Mereka membuatku menambah beban pikiran saja. Seolah-olah mereka bertiga menjelma menjadi seorang yang misterius.

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang