BAB 13

582 133 0
                                    

Bab 13 — Permintaan maaf

***

Sesampainya di depan rumah, aku turun dari motornya Maryam. Yang pasti setelah diberhentikan olehnya.

"Wah, ternyata lumayan deket juga dari sekolah. Auto jadi tempat nongkrong, nih!"

Aku terkekeh dengan usulan Ami, gadis manis itu memandangi rumahku. Maryam dan Ijah terlihat setuju, sementara aku tidak masalah dengan itu.

Aku tersenyum lebar. "Boleh banget. Main aja gapapa, aku malah senang."

"Kalau gitu, kita duluan, ya!" Ijah berpamitan lalu melambaikan tangan padaku disusul Ami dan juga Maryam. Aku membalas lambaian tangan mereka, tersenyum senang sebelum berpisah.

Setelah berucap salam dan menjawab salam, mereka bertiga lantas pergi mengendarai motor meninggalkan area rumahku. Aku menghela napas lega melihat mereka menjauh pulang.

Baru akan melangkah masuk ke rumah, suara derum motor sontak mengalihkan perhatianku. Aku memutar badan menoleh ke belakang. Mataku menyipit sebelum lidahku berdecak malas saat mengetahui siapa yang datang.

Daffa melepas helm fullface-nya, sementara aku berbalik dengan malas menuju rumah. Aku sedang tidak mau mengobrol dengan cowok itu. Intinya aku kesal.

"Hafsah, Hafsah! Gue minta maaf."

Merasa Daffa sedang mengejar dari belakang, terpaksa aku menunda langkahku. Aku mendengarkannya, tapi enggan memutar tubuh untuk melihatnya.

"Gue minta maaf karena gak sengaja pukul lo tadi," ucap cowok itu terdengar menyesal. Aku menghela napas panjang, memejamkan mata berusaha mengontrol emosi.

"Ya. Udah aku maafin." Aku berkata dingin dengan posisi tetap membelakanginya.

"Beneran? Gue gak akan bisa tenang kalau lo belum maafin gue."

Aku berbalik dengan malas. "Tadi aku udah maafin, kan? Sekarang tolong pergi."

Kedua tanganku mengepal geram. Gigi-gigiku mengerat menahan kesal. Sejujurnya semenjak kejadian tadi, aku tidak ingin mendengar suara Daffa apalagi melihat dirinya.

Aku sedang tidak bisa mengerti akan diriku sendiri. Di satu sisi, aku sebenarnya tidak tega mengusir Daffa. Namun di sisi yang lain, saat teringat kejadian dia yang menonjok wajahku, membuatku naik darah. Dipermalukan satu sekolah bukanlah hal yang diinginkan manusia manapun.

"Gue berantem sama Zain karena lo, Hafsah."

Aku berbalik kaget setelah mendengar ucapan Daffa. Yang benar saja mereka berdua berkelahi hanya karena perempuan? Perempuan biasa yang tidak ada istimewanya?

Aku menggeleng tidak percaya sambil menatap Daffa yang sedang menundukkan wajahnya dalam-dalam.

"Kalian bertengkar sampai jadi tontonan satu sekolah, cuma gara-gara aku?" Tanpa sadar aku kian meninggikan nada bicara.

Daffa mengangguk tak bersemangat. "Gue gak terima waktu Zain kasih lo coklat di saat gue kasih lo boneka," ungkapnya seolah sedang memberikan kejujuran.

Aku terkekeh hambar. Memalingkan wajah karena muak memandang wajah Daffa yang sok melas. Tanganku terlipat di depan dada lalu geleng-geleng kepala tidak habis pikir.

Tersenyum pias, lalu berkata, "Cowok itu mengedepankan logika, daripada perasaannya. Masa gara-gara hal sepele kamu bisa bertengkar sama teman kamu sendiri? Aku bukan mainan yang bisa dijadiin rebutan!"

Aku menekan kata-kata terakhir seakan memberikan paham kepada cowok yang baru berani mengangkat wajah lesunya. "Itu karena sebenarnya gue—"

"Cukup, Daf. Pergi dari rumahku sekarang!" ucapku sirat akan penekanan. Wajahku kembali datar menahan emosi. Aku mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa aku tidak ingin mendengarkan penjelasan Daffa lagi.

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang