BAB 18

532 121 0
                                    

Bab 18 — Memanas-manasi keadaan

***

Sampai di kelas dan hendak duduk di bangku, Ami yang kebetulan mejanya aku lewati, mendadak mencekal tanganku. "Gimana kemarin? Bujukannya berhasil?"

Aku mengangguk mantap sambil menurunkan tangan yang tadinya berpegangan pada tali tas. "Alhamdullilah, berhasil."

Bukan hanya Ami yang berucap hamdalah, tapi Ijah dan Maryam juga kelihatan ikut senang saat tugas—yang sebenarnya dibebankan padaku—telah sukses. Ami pun melepaskan pegangannya sehingga aku bisa duduk di bangku.

"Kapan mau syuting-nya?" Ijah bertanya sambil menaikkan dagunya sekali.

"Besok sabtu. Kalian bisa, kan?"

"InsyaAllah, bisa dong!" Ami kelihatan bersemangat, mengangkat kedua ibu jarinya dengan senyum yang lebar. Kulihat, Ijah dan Maryam mengangguk setuju-setuju saja.

Aku pun menghela napas lega, akhirnya semua bisa teratasi. Semua ini tidak lepas dari pertolongan Allah. Alhamdullilah.

Aku kemudian mengambil buku untuk persiapan pelajaran pertama, Ami dan lainnya juga melakukan hal yang sama. Namun sesuatu yang terjadi berhasil mengalihkan atensiku dari buku. Daffa masuk ke kelas bersama seorang gadis yang jelas itu bukan dari kelas kami.

"Beneran itu Daffa?" gumamku memandangi lamat-lamat Daffa yang tetap terlihat santai meski ada seorang gadis bergelayut manja di lengannya.

Aku bergidik ngeri. Namun mataku belum bisa lepas dari pergerakan dua sejoli yang nyatanya menjadi pusat perhatian seluruh kelas.

"Subhanallah, Daffa kumat lagi!" Aku dengar Ijah mengatakan hal tersebut.

"Lupa minum obatnya kali. Makanya kambuh lagi playboy-nya," kata Ami sambil memiringkan badan melihat ke arah yang sama denganku yaitu di tempat duduk Daffa yang tidak pernah berpindah, tetap di depan meja guru.

Di mejanya, Daffa mengambil kursi terdekat yang kosong untuk digunakan duduk gadis barusan yang dibawanya entah darimana.

Aku masih terus melihat interaksi keduanya, entah mengapa aku merasa ingin segera membubarkannya. Mereka itu sangat merusak pemandangan mata.

"Cielah, Bos! Pacar baru lagi?" jerit Amran sampai terdengar di mejaku yang berada di dua baris dari depan, dekat pintu masuk.

"Namanya siapa, Neng?" Bian mengulurkan tangannya pada gadis yang bersandar ria di lengan Daffa. Si gadis pun tanpa paksaan menjabat tangan Bian dan menyebutkan namanya.

"Gue Veronika, Kak. Kelas sebelas IPS 2."

"Wah ... Masih kecil, ya? Pantes unyu-unyu." Begitu kata Bian sambil terkekeh di akhir, di mataku dia nampak sedang menggombal.

"Kita baru jadian dong, kemarin. Ya nggak, Sayang?" ucap Daffa yang langsung membuatku terkesiap karena sempat-sempatnya dia melirikku sambil memunculkan smirk di bibirnya.

Aku lantas memalingkan wajah dan memilih membaca buku pelajaran. Sejujurnya aku merasa tidak senang jika melihat Daffa sedekat itu dengan perempuan lain. Bukan karena aku menyukainya atau bahkan mencintainya, itu murni karena aku kesal setiap kali melihat yang bukan mahram saling berdekatan.

Bulu kudukku meremang, tak sanggup lagi membayangkan. "Udah beneran gila ternyata," ucapku tak habis pikir sambil geleng-geleng kepala.

"Dia emang sering kayak gitu, Haf. Gak usah heran. Baru pertama kali lihat, ya?"

Aku cukup terkejut saat Ami tiba-tiba membalikkan badannya lalu bersuara pelan sambil mendekatkan wajahnya ke arahku. Dia mengangkat kedua alisnya, menunggu jawaban dari pertanyaan di akhir.

Aku pun mengangguk. Memang benar aku tak pernah melihat Daffa berdua-duaan dengan perempuan. Aku kira gelar yang disematkan padanya hanya bualan semata. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Ami menutup mulutnya dari samping, kemudian mendekat ke telingaku, seakan ingin membisikkan sesuatu.

"Menurut pengamatan gue, kayaknya si Daffa cuma mau panas-panasin keadaan. Biar lo cemburu gitu. Coba deh lo lihatin dia terus, setiap kali dia romantis ke ceweknya selalu ngelirik lo, Haf!"

Ami memberitahu sesuatu yang jelas membuatku sontak menggeleng cepat. Tidak mungkin, pengamatan Ami pasti salah.

"Enggak, Ami. Enggak mungkin. Kurang kerjaan banget dia sampe ngelakuin hal kayak gitu." Aku ikut berbisik padanya. Ami malah berdecak mendengar responku.

"Coba noleh sekarang!"

Mengikuti instruksi Ami, aku segera menoleh ke arah Daffa. Dan tepat sekali cowok itu juga sedang menatapku dan langsung memalingkan wajah saat aku memergokinya.

Daffa mengalihkan fokusnya pada gadis yang bernama Veronika tersebut seraya menyelipkan anak rambut gadis itu ke belakang telinga. Ah, rasanya malah seperti menonton drama.

Aku buru-buru memalingkan muka kembali kepada Ami. "Bener, kan? Udah yakin gue seratus persen!" ucap Ami sambil menjentikkan jarinya dengan wajah serius.

Aku meneguk saliva kuat-kuat. Mau mempercayai ucapan Ami, tapi takut jika aku menjadi ge-er. Sebaiknya aku ambil jalan tengah dengan tidak lagi memedulikan Daffa dan segala tingkahnya. Yang terpenting, besok sabtu dia harus datang.

***

Bruk!

"Subhanallah!"

Aku terpekik kaget ketika tak sengaja menubruk seseorang saat melintasi koridor. Refleks kakiku mundur beberapa langkah. Aku mendongak melihat siapa yang kutabrak barusan.

Sekarang ini sedang pelajaran sehabis istirahat. Aku sudah izin sebelumnya dengan guru di kelas untuk pamit ke toilet. Namun sewaktu berjalan di koridor,.dari arah berlawanan ada Zain yang tadinya memang keluar kelas untuk mengambil soal yang guru perintahkan.

"Lo gapapa?" tanya Zain kemudian, memandangku dengan alis yang saling bertaut. Aku menggeleng dengan segera.

"Gapapa."

"Ya udah. Gue duluan, ya," kata cowok itu sembari tersenyum sangat tipis. Di tangannya ada setumpuk lembaran kertas yang aku tebak adalah soal latihan untuk pelajaran nanti.

"Iya."

Aku menunduk dan menggeser sedikit badanku yang menghadang jalan. Ketika Zain berlalu melewatiku, lantas aku membalikkan badan memandangi punggung tegap itu menjauh.

Mulutku terbuka ingin bertanya mengenai hubungannya dengan tiga sahabat baruku. Namun aku mengurungkan niat itu kembali, karena setelah dipikir-pikir pembahasan ini tidak ada penting-pentingnya. Daripada terkena fitnah, lebih baik menghindarinya saja.

Sewaktu aku memutar tubuh untuk melanjutkan langkahku ke toilet, aku tersentak melihat Daffa yang secara mendadak muncul di hadapanku. Jarak kami jika dihitung, kira-kira hanya tiga langkah.

Aku mengusap dadaku yang berdegup cepat akibat terkaget. Mengontrol napas yang berderu sambil terus beristigfar.

"Lo suka sama Zain?"

Pertanyaan tersebut membuatku mendongak dengan kening berkerut, disusul kekehan kecil agak. Tidak menyangka Daffa akan bertanya persoalan itu. Mengingat perkataan Ami, aku menjadi punya ide.

"Urusannya sama kamu apa? Harus banget dikasih tahu?" balasku sambil menaikkan dagu.

Daffa berekspresi datar dan raut mukanya sulit kuartikan. Yang aku tahu, kedua tangannya yang terlipat di dada tengah mengepal sampai buku-buku jarinya menegang.

"Aku duluan, permisi."

Aku segera berpamitan karena tidak bisa menahan buang air kecil lebih lama lagi. Aku mematri langkah tergesa-gesa melewatinya.

Sekelebat pandanganku, Daffa masih tidak berkutik. Namun aku tidak menghiraukannya, malas sekali berurusan dengan seseorang yang sudah memiliki pacar.

***

Bersambung ....

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang