Bab 26 — Daffa marah?
***
Hari silih berganti. Kini makin hari makin padat saja jadwal sekolah karena ada tambahan les untuk persiapan ujian. Saat ini, kami berempat tengah makan di kantin yang lumayan ramai, masih dengan senyuman dan tawa yang menghiasi kebersamaan kami.
Meskipun badai yang aku hadapi tidak begitu besar, namun rasanya begitu membekas. Yang terpenting adalah pelajaran dan hikmah yang aku bisa dapatkan dari setiap kejadian yang terjadi.
"Oh, ya ngomong-ngomong ... kalian nanti ikut SNMPTN gak?" tanya Ijah di sela-sela kami sedang memakan soto ditemani es teh.
"InsyaAllah ikut," ujar Maryam yang kemudian aku setujui.
"Gue ikut SBMPTN aja deh. Atau gak, ujian mandiri. Gampang, lah nanti. Sekarang dinikmati dulu masa-masa sebelum lulus SMA. Entar kangen nangis-nangis."
Ami berujar begitu ekspresif membuatku dan yang lain menahan tawa melihat tingkah lucunya. Gadis manis itu menyeruput es teh sambil mengusap lehernya, lega.
"Santai bener hidupnya," celetuk Ijah lalu memakan sotonya.
"Iya, dong. Prinsip gue, kan jalanin dulu apa yang Allah tetapkan. Gak usah terlalu mikir kejauhan, toh mati gak ada yang tahu."
Ami memukul mangkoknya dengan sendok sekali di akhir kalimat, hingga menimbulkan bunyi dentingan. Seolah-olah sedang menekankan kata-katanya kepada kami.
"Marvelous, marvelous!" tambah Ijah diberi sedikit tepuk tangan. Yang membuat ngakak adalah saat Ami melambaikan tangan layaknya seorang artis ketika Ijah selesai memujinya.
Di tengah-tengah suasana yang ramai di meja kami, aku menangkap momen janggal ketika pandanganku teralihkan ke meja sudut kantin yang letaknya berada di belakang tubuh Ami dan Ijah. Kebetulan aku duduk bersama Maryam.
Gadis yang aku ingat bernama Veronika tersebut sedang menangis di pojokan. Aku celingukan melihat kondisi di sekitar, siapa tahu ada temannya yang datang. Nyatanya tidak.
Entah mengapa hatiku tergerak mendekatinya, aku beranjak tanpa memberitahu kepada Maryam dan yang lain. Biarlah mereka melihat sendiri apa yang aku lakukan. Segera langkahku terpatri mendekati gadis yang sedang menutupi wajahnya dengan bahu yang naik-turun.
Setelah sampai, aku duduk di hadapannya. Dengan sisa-sisa keberanian aku bertanya padanya dengan sangat hati-hati dan memelankan suara.
"Kamu kenapa nangis?"
Veronika perlahan membuka tangannya dari wajah, memperlihatkan wajah putih itu kian memerah. Deraian air mata terlihat jelas. Bibirnya bergetar sesenggukan. Dia menatap nanar diriku.
"Hey ... Kamu kenapa? Ada yang mau diceritain?" Aku meraih tangannya, mengambil tisu yang berada di meja tersebut lalu memberikannya kepada Veronika.
Gadis itu mengusap wajahnya baru kemudian mau berbicara. Dia lantas menggeleng. "Gapapa, Kak."
Aku tersenyum mendengar jawaban klasik tersebut, mengusap bahunya beberapa kali, menyalurkan semangat. "Gapapa tapi kok nangis? Ada yang nakal ya, sama kamu?"
Agak mengerikan saat berbicara dengan pertanyaan yang biasa digunakan untuk menanyai anak kecil. Veronika terkekeh kecil lalu dia kembali menatapku.
"Gue sedih ngeliat kak Daffa jalan bareng sama cewek. Emang awalnya sebelum deket kita udah sepakat kalau kaka Daffa bebas deket sama siapa aja, asalkan izin dulu. Tapi ini enggak."
Aku cukup kaget mendengar ucapan Veronika. Wajahnya langsung berubah sendu, menunduk dalam-dalam seolah kembali merasakan kepedihan. Aku yang bingung jika membahas masalah seperti ini hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Harusnya dari awal kamu gak perlu deket sama cowok yang bisanya cuma ngebaperin cewek aja. Jangan ketipu sama mukanya yang ganteng. Ganteng aja buat apa kalau gak bisa menghargai kita sebagai cewek? Iya, kan?"
Veronika lantas mengangguk membuatku sedikit tenang. Aku melipat tangan di atas meja sambil mencondongkan badan ke depan.
"Tadi terakhir kali kamu lihat Daffa dimana?"
"Jangan, Kak ...."
"Gapapa, tenang aja. Kamu gak bakal diapa-apain nanti. Percaya deh sama aku." Aku memegang kedua pundaknya sembari mengangguk meyakinkan.
Akhirnya Veronika mau memberitahuku dimana Daffa berada. "Tadi dia jalan ke belakang sekolah, Kak."
Aku pun langsung pergi, tapi sebelumnya meminta kepada Maryam, Ami, dan Ijah untuk menemani Veronika sebentar. Sementara aku akan menyusul Daffa dan memberinya peringatan.
Sebenarnya aku agak kesal melihat perempuan menangis hanya karena laki-laki yang belum tentu menjadi jodohnya. Tapi, apa boleh buat? Daffa juga adalah sepupuku, nanti kalau ada apa-apa aku lagi yang ditanya.
***
"Daffa?!"
Aku terkejut melihat Daffa yang benar tengah berada di belakang sekolah yang cukup sepi, hanya berduaan dengan seorang gadis. Apalagi mereka saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat dan si gadis yang mepet tembok.
Aku memejamkan mata sembari mengalihkan sedikit pandangan dari mereka berdua yang membuat pikiranku melayang jauh. Bisa-bisanya mereka berduaan dengan santai di tempat sepi seperti ini. Pasti setan gencar sekali menggoda mereka.
"Hafsah?" lirih Daffa yang mampu aku dengar, meski samar.
Aku membuka mata sedikit dan ternyata Daffa sudah tidak lagi mengungkung gadis itu. Aku pun membuka mata dengan normal kemudian berjalan mendekat.
"Kamu ngapain di sini? Udah tahu kalau deket-deket aja gak boleh, kamu malah mojok sama yang bukan mahram. Nanti kalau ada apa-apa gimana?"
Si gadis terlihat bingung melihat diriku. Namun aku tidak peduli. Orang-orang seperti mereka ini harus diluruskan. Dipikir mojok kayak tadi itu romantis?! Aku bergidik ngeri tidak sanggup membayangkannya.
Daffa malah tersenyum kecut membuatku agak terkejut. Respons yang baru pertama kali aku jumpai darinya.
"Heh, gue yang harusnya tanya, ngapain lo kesini? Mau ceramah? Mau nasehatin gue kalau apa yang gue lakuin itu salah?"
"Ya, emang salah!" sahutku emosi. Melihat wajah Daffa seperti meremehkan membuatku ingin memukulnya.
Daffa berdecih. "Kenapa lo peduli? Hm?"
"Karena kamu saudaraku!" balasku sengit. Si gadis terus saja menatap bingung kami berdua, untung saja dia tidak banyak berbicara, malah terus diam.
"Emang kenapa kalau lo saudara gue? Biasanya lo juga gak pernah peduli-in gue, kan?"
Daffa mengangkat tangannya, seakan menyuruhku berhenti berbicara. Dia lantas menatapku tajam, lalu menggandeng tangan gadis tadi.
"Gak usah sok peduli sama gue. Pikirin diri lo sendiri aja." Daffa menekan setiap kata-katanya. Aku terbungkam menatap lurus tidak padanya.
Ketika mereka berdua melewatiku, aku tak sanggup menahan kata lagi. Aku berkata tanpa membalikkan badan. "Semoga Allah memberimu hidayah, Daf."
Derap langkah terdengar, dapat diketahui bahwa Daffa memilih pergi. Aku mengusap setetes air mata yang menitih, entah mengapa hatiku merasa ada sesuatu yang aneh. Meski bukan seharusnya ini yang aku lakukan.
"Hafsah lo gapapa?"
Aku tersentak ketika Ami memegang kedua pundakku. Sebagai jawaban aku tersenyum dan menggeleng. Kejadian yang terlalu simple untuk dilebih-lebihkan. Aku lantas mengajak mereka kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.
Aku menebak, jika Daffa memang marah padaku. Mungkin karena kemarin. Atau kemarin-kemarinnya lagi? Entahlah, aku tidak mau ikut campur terlalu jauh.
***
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep Halal, Sis!
Teen FictionIni hanya cerita tentang perjalanan Hafsah setelah kepindahannya ke Jakarta. Di sekolahnya yang baru, Hafsah juga bertemu dengan orang-orang baru. Ada Ami yang orangnya asyik. Ada Ijah yang supel dan pintar. Juga ada Maryam yang jutek tapi perhati...