Bab 10 - Keberhasilan mereka
***
"Eh, aku boleh tanya sama kamu?" tanyaku mendongak pada Daffa, meski sebelumnya terjadi perang batin.
"Sok atuh, tanya apa aja, nanti gue jawab." Daffa melebarkan senyumannya menatapku.
"Kamu playboy, ya?"
Daffa terdiam. Beda dengan Amran dan Bian yang langsung menutup mulut menahan tawa. Namun, aku masih fokus pada Daffa, menunggu jawabannya.
"Jujur aja, Bos!" Amran menyenggol lengan Daffa lanjut menguyah nasi goreng di mulutnya. Yang disenggol berdecak pelan. Daffa menggaruk alisnya terlihat bingung.
"Gimana ya, cara jelasinnya?"
"Pake dijelasin segala. Tinggal iya-in aja apa susahnya?"
Daffa langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Bian. Yang mungkin di mata Daffa, perkataan temannya itu sudah membongkar kedoknya. Amran dan Bian saling berpandangan dan terkekeh pelan. Mereka kembali melanjutkan makan.
Namun tetap saja ketika Daffa melihatku dia masih cengar-cengir terus. Aku memakan nasi goreng sembari menunggu jawabannya dengan santai.
"Emang kenapa kalau gue playboy?" Daffa bertanya dengan raut sedikit serius. Aku pun menggeleng.
"Gapapa."
Aku memberi jeda pada ucapan selama beberapa saat sampai suapan terakhirku tuntas. Aku meminum air putih lebih dulu baru mengusap mulutku dengan tisu yang tersedia. "Cuma ... aku gak suka aja punya temen yang suka mainin hati cewek."
Setelah aku mengatakannya aku membereskan piringku dan piring milik mereka berempat. Lagi-lagi, terdengar gelak tawa yang berasal dari Amran juga Bian.
"Ditolak sebelum bertindak ini, mah!" Amran terbahak-bahak sampai menepuk kasar pundak Daffa yang berada di dekatnya. Dia kemudian memegangi perutnya.
Bian geleng-geleng sambil terkekeh. "Bos, Bos, baru kali ini gue liat lo ditolak secara halus."
"Bisa diem gak? Mau gue patahin leher kalian, iya?!" Daffa nampak marah. Kedua temannya langsung berhenti tertawa dan menunduk ketakutan.
Aku pun pergi angkat kaki dari ruang tamu membawa piring-piring kotor. Tadinya, Daffa menawari bantuan, tapi sekali lagi aku menolaknya.
Setelah selesai, aku kembali lagi dan melihat mereka duduk di sofa dengan rapi dan meja juga sudah bersih, hanya tinggal gelas-gelas saja.
"Kalau gue tobat, lo mau temenan sama gue?"
Aku mengerjap tidak mengerti mendengar ucapan Daffa saat aku baru saja duduk di sofa. Suaranya tiba-tiba memelan tidak seperti tadi. "Tobat itu karena Allah, bukan aku," kataku berusaha menasehati.
"Emang laki-laki idaman lo kayak apa, Haf?"
Aku berpikir sebentar, mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagu. "Yang ... taat sama perintah Allah, sholat wajibnya di masjid terus, bisa ngaji, hafiz, ilmu agamanya bagus, gak kasar sama cewek, gak suka tebar pesona, gak bermudah-mudahan dengan yang bukan mahram, dan banyak lagi."
Mereka melongo, terutama Daffa yang menelan ludahnya kasar. Aku tadi berucap cepat tanpa jeda, mungkin mereka masih berusaha menelaah kata-kataku.
"Kamu tadi tanya tentang laki-laki idaman, kan? Jadi, gak salah dong kalau aku sebutin yang baik-baik?" ujarku jujur. Daffa mengangguk dengan wajah polos.
"Gila, cuy ... spek-nya, spek nabi!" Amran terlihat kaget.
"Dan si Bos cuma modal ganteng sama kaya aja." Bian ikut menambahi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Keep Halal, Sis!
Teen FictionIni hanya cerita tentang perjalanan Hafsah setelah kepindahannya ke Jakarta. Di sekolahnya yang baru, Hafsah juga bertemu dengan orang-orang baru. Ada Ami yang orangnya asyik. Ada Ijah yang supel dan pintar. Juga ada Maryam yang jutek tapi perhati...