Bab 21 — Ucapan terima kasih
***
"Ini bonus kecil-kecilan dari kita, semoga kalian suka. Mohon diterima," kata Ijah sembari memberikan sebuah kardus yang berukuran tidak begitu besar kepada Daffa. Daffa pun dengan sedikit ragu menerima kotak coklat yang dihiasi pita merah tersebut.
"Ini apa?" tanya Daffa, alisnya saling bertaut bingung.
Aku lantas memberikan Zain, Amran, dan Bian masing-masing kotak yang sama. Mereka juga menerima dengan baik sambil sesekali menimbang memakai insting.
"Iya, nih pake dikasih kado segala. Mana berat lagi," ucap Amran kelihatan penasaran akan isinya. Senyumnya menyungging kecil, sesekali mengintip ke dalam kotak.
"Buka aja, gapapa." Aku berkata karena gemas melihat Amran dan Bian ingin membuka kotaknya tapi ragu.
Saat ini, kami berdelapan sedang berada di teras mushola sambil duduk-duduk santai, menikmati suasana sekolah yang sudah sepi. Aku lihat Amran dan Bian membukanya dan kontan terkejut setelah kotaknya terbuka.
"What the ...." Amran sampai menghentikan kalimatnya seolah tidak bisa berkata-kata lagi sesudah melihat apa yang kami berikan kepada mereka.
"Sarung, baju koko, peci, sajadah, tasbih, Al-Qur'an? Buat apaan?" tanya Bian dengan polosnya.
"Buat ke klub. Ya buat ibadah-lah, geblek!" maki Ami tersulut emosi.
Maryam yang berada di sampingku sepertinya mendengar suara keras Ami, dia langsung melayangkan tatapan tajam pada gadis manis itu. Ami seketika terdiam. Aku pun terkekeh geli, lagian Ami terlalu ngegas sampai tidak mengatur mulutnya.
"Gue tahu. Cuma ngapain kalian kasih kita kayak gini? Di rumah juga punya kali." Bian membalas dengan raut malas.
Aku lihat hanya Zain dan Daffa yang tidak banyak protes. Justru kedua cowok itu sudah sibuk memasang sepatunya. Aku tebak, mereka sepertinya sedang buru-buru pergi.
"Ya, kalau kalian gak butuh barang-barang itu, tinggal kasih ke orang yang lebih butuh. Gampang, kan?" saran Ami yang segera diangguki oleh Bian dan Amran, tapi lebih terlihat terpaksa.
"Gue duluan, ya. Assalamualaikum," pamit Daffa berdiri sambil mencangklong tasnya. Zain pun mengikuti, sedangkan Amran dan Bian baru bersiap-siap memakai sepatu.
"Wa'alaikumussalam," jawab kami berempat tidak bersamaan.
"Kenapa buru-buru lo? Ada Hafsah juga," kata Ami kemudian melirikku. Aku mengedipkan mata tidak mengerti, menutup mulut tidak mau protes dan hanya menoleh melihat reaksi Daffa.
Cowok itu hanya menatapku sekilas, tanpa ekspresi apapun. Dia menaikkan bahunya bersamaan. "Lagi ada kencan sama gebetan," jawabnya enteng.
"Lo gak denger tadi ceramahnya Maryam yang lebar kali panjang kali tinggi? Gak nyimak lo? Berdua-duaan dengan yang bukan mahram itu dosa kalau gak ada kepentingan. Kuping lo---"
"Permisi."
Daffa memotong dengan dingin lalu beranjak pergi. Padahal Ami belum selesai dengan perkataannya. Yang lain memberikan salam juga, tidak terkecuali Zain yang tersenyum tipis ke arah kami.
Sampai mereka menghilang dari pandangan pun keningku terus mengerut samar. Bingung sekaligus heran dengan sikap Daffa yang agak berbeda akhir-akhir ini. Takut saja bila mendadak cowok itu sedang tidak baik-baik saja.
"Itu Daffa habis kesambet apa, sih? Biasanya nempel Hafsah mulu. Tapi sekarang malah pindah ke lain hati," celoteh Ijah yang berada di paling ujung sebelah Ami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keep Halal, Sis!
Fiksi RemajaIni hanya cerita tentang perjalanan Hafsah setelah kepindahannya ke Jakarta. Di sekolahnya yang baru, Hafsah juga bertemu dengan orang-orang baru. Ada Ami yang orangnya asyik. Ada Ijah yang supel dan pintar. Juga ada Maryam yang jutek tapi perhati...