BAB 8

680 141 0
                                    

Bab 8 — Siapa dia?

***

Sudah pukul lima sore, aku lihat pekerjaannya sudah hampir selesai. Masih dengan Maryam dan Ijah yang mengerjakan bersama di laptop yang diletakkan di atas meja lipat. Mereka berdua duduk serius di kasur utama.

Sedangkan aku hanya duduk melamun memandangi Ami yang menonton tv seraya rebahan bersandar pada nakas, karena kami duduk di kasur sorong.

"Bagaimana, ladies? Apa pekerjaannya sudah selesai?" tanya Ami santai, menselanjarkan kedua kakinya lalu mengganti saluran tv menggunakan remot.

"Gue coret lo dari daftar nama kelompok!"

Sarkasme Ijah membuat Ami melotot dan sontak terduduk dengan tegap. Wajahnya super panik dan cepat-cepat mendekat, mendusel di tengah-tengah Maryam dan Ijah. Ami hendak mengambil alih laptop. Namun, Ijah langsung mencegahnya.

Aku yang melihat tingkah Ami pun menutup mulut menahan senyum.

Maryam menoleh, dingin. "Tugasnya udah selesai."

Ami mengerjap lucu. "Oh, udah selesai ya?"

Ijah menggeser tubuhnya mendekat ke arah Maryam, membuat Ami terpaksa mundur setelah mendapatkan laptop kembali. "Sok-sokan lo. Besok lo yang presentasi!"

"Okey, siap, Bos!"

Sepertinya kalau soal tampil percaya diri, Ami juaranya. Gadis manis itu meletakkan telapak tangannya di pelipis, bersikap hormat.

"Aku bikinin kalian minuman, ya? Kalian mau apa?"

Aku menawari mereka karena wajah-wajahnya terlihat lelah. Kan, aku jadi tidak tega. Apalagi aku hanya menyumbang satu pembahasan materi dari buku perpus.

"Nah, mantul! Gue sirup kokopandan," ujar Ami mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya.

"Habis. Es teh aja."

Aku lantas mengangguk setelah Maryam memberitahu tanpa mengalihkan wajahnya dari laptop. Aku beranjak dari kasur dan keluar dari kamar Maryam yang bercat putih itu.

"Jangan lupa dikasih cinta!" Ami berteriak sangat kencang sampai aku yang sudah berbelok dari pintu kamar mendengar suaranya itu.

"Oke!"

***

Dengan hati-hati, aku membawa nampan yang di atasnya ada empat buah gelas berisi es teh buatanku. Aku berharap rasanya tidak kemanisan atau malah hambar.

Ketika kurang beberapa langkah lagi sampai di pintu, terdengar suara Ami dan Ijah bersuara. Karena penasaran, aku pun menghentikan langkah menyimak perbincangan mereka. Sebut saja aku sedang menguping.

"Kalau gue liat baik-baik, Zain emang orangnya kalem, ya? Gak kayak Daffa, Amran, sama Bian yang pecicilannya nauzubillah," ucap Ami.

Ijah menimpali, "Iya, bener banget. Zain gak playboy juga. Dia ganteng tapi gak manfaatin ketampanan buat deket sama cewek-cewek."

Aku menelan ludah kasar. Ternyata benar, yang salah itu Zain, bukan ucapanku. Mendengar perkataan tersebut membuatku semakin penasaran ada apa sebenarnya.

Setelah tekad sudah bulat, aku berdeham menghilangkan kegugupan. Aku kembali mematri langkah lalu tersenyum riang memasuki kamar Maryam.

"Gak salah kalau lo—"

"Shttt!" Ijah seolah sedang memperingati Ami untuk tidak melanjutkan kembali ucapannya. Aku tetap berusaha santai dan berlagak tidak mendengar atau melihat apapun. Senyumku mengembang yang langsung disambut Ami setelah ia diam beberapa saat.

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang