BAB 17

522 128 0
                                    

Bab 17 — Tawaran bantuan

***

Setelah berpikir berkali-kali serta teringat bagaimana Ijah dan Ami yang terus memaksaku untuk membujuk Daffa supaya mau menjadi the star. Aku mengambil napas dalam-dalam, mengembuskan dengan harap bisa lebih tenang. Namun, nyatanya tidak.

Aku mencebik kesal sambil menghentakkan satu kaki. "Males banget harus berurusan lagi sama si tengil itu. Tapi ... kalau enggak dilakuin, bakal panjang nanti urusannya."

Aku menggaruk alis sebelah kanan meskipun tidak gatal, seraya menghela napas pasrah. Sementara tanganku yang lain berkacak pinggang.

"Ya udah, lah. Bismillah. Semua, kan, tergantung niat."

Aku mulai optimis setelah menyemangati diri sendiri. Bercermin ke depan tepatnya di kaca yang berada di meja rias kamarku. Mengusung senyum paling manis, lalu bangkit dari kursi seraya mengepalkan kedua tangan yang terangkat sejajar dengan telinga.

Setelah itu, aku pun keluar dari kamar. Turun menuju ruang keluarga hendak menemui seseorang yang berada di sana. Seseorang yang bisa menjadi perantara, antara aku dan Daffa.

"Ayah!" panggilku sedikit mengeraskan suara ketika melihat Ayah sedang duduk di sofa sambil bekerja dengan laptopnya. Di sampingnya ada Bunda yang sedang ngemil snack sembari menonton televisi.

"Iya, Hafsah. Ada apa?" ujar Ayah yang masih terus fokus pada laptopnya. Aku berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya.

"Ayah ... bisa bantuin Hafsah gak?" Aku merengek, tidak lupa memasang wajah memelas supaya Ayah mau membantuku tanpa ada protes. Selain itu biar lebih terlihat meyakinkan.

Ayah melepas kacamatanya, meletakkan laptop di atas meja yang ada di hadapan, kemudian menatapku sambil mengangkat sekilas dagunya. "Emangnya, apa yang bisa Ayah bantu?"

"Tolong ...." Aku sengaja menunda kata selanjutnya, karena pikiran masih belum menemukan yang cocok. Sekaligus juga membuat Ayah penasaran.

"Tolong apa?"

"Telfonin Daffa," ucapku pelan pada akhirnya, meski agak berat menyebutkan nama itu, apalagi di depan Ayah.

"Daffa?"

Aku pun mengangguk mengiyakan.

Kening Ayah mengerut, lantas bertanya, "Kenapa? Bukannya kalian satu kelas, ya? Masa enggak ada nomornya?"

Aku kembali menggeleng akan pertanyaan Ayah yang terakhir. Kita memang satu grup di kelas, tapi sayangnya aku malas menyimpan nomor anak cowok. Padahal sebelumnya, Daffa terus saja tidak berhenti untuk memulai obrolan. "Hafsah emang sengaja gak nyimpan nomornya, Ayah."

Jeda beberapa saat, aku pun menggoyangkan pelan tubuh Ayah. Bibirku sampai maju beberapa senti. "Buruan, Ayah ... Telfonin ...."

"Maksudnya gimana, sih, Sayang?" Bunda yang sedari tadi menyimak, agaknya ikut penasaran.

Dengan sabar, aku pun menjelaskan sembari mengamati kedua orang yang sangat aku cintai.

"Gini, Yah, Bun ... Ayah telfonin Daffa dulu sampai Daffa angkat telfonnya. Terus Ayah basa-basi dulu, baru habis itu di-loudspeaker nanti Hafsah yang ngomong, tapi sekalian Ayah sama Bunda juga ikut denger."

"Ooh ...." Ayah dan Bunda kompak ber-oh ria, membuatku bisa bernapas dengan lega. Aku tersenyum dan mengangguk sekali lagi sebelum Ayah meraih ponselnya di atas meja di dekat laptop, lalu mengotak-atiknya sebentar.

Aku yang sedang menunggu orang di seberang sana mengangkat telepon mendadak langsung grogi. Bukan karena ada perasaan, ya, tapi murni takut kelepasan memarahi Daffa tanpa alasan di depan Ayah dan Bunda. Membayangkan betapa mengesalkannya cowok satu itu, ingin sekali aku menjambak rambutnya.

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang