BAB 29

560 119 0
                                    

Bab 29 — Kenang-kenangan

***

"Nikah itu gak semudah yang kamu bayangin, Daffa. Nikah bukan cuma menyatukan dua insan, tapi juga menyatukan dua pikiran, dua sifat, dan dua keluarga. Nikah bukan sekedar uwu-uwu-an aja."

Aku masih terkekeh ringan, karena tidak habis pikir akan kejutan Daffa yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran. Daffa tampaknya belum menyerah, padahal penjelasan tersebut sudah sangat jelas.

"Bisa, Hafsah. Yakin sama gue. Gue bukan Daffa yang dulu, kok."

Daffa menarik kedua sudut bibirnya penuh percaya diri. Aku menghela napas. Daffa memang keras kepala.

"Iya, aku percaya---"

Daffa menurunkan tangannya, menunduk, dan juga memotong ucapanku. "Emang awalnya gue ngelakuin semua ini karena lo. Tapi lama-kelamaan gue sadar, gue bakalan capek kalau berubah gara-gara lo aja."

"Makin gue jalanin, makin buat gue ketagihan. Setelah gue berdoa terus sama Allah, pelan-pelan gue dapet jawaban. Gue juga udah minta restu Mama sama Papa buat ngelamar lo dan mereka setuju. Om Galang sama Tante Ita juga udah ngerestuin gue sama lo."

"Ayah sama Bunda ngerestuin?!"

Aku sampai meninggikan intonasi dua oktaf saking kagetnya mendengar Daffa yang terus mengoceh hingga pada akhirnya dia menyebut nama Ayah dan Bunda.

Daffa mengangguk enteng. Aku kontan menepuk jidat sambil meringis pelan. Pantas saja, Ayah mengizinkanku pergi malam-malam begini, ternyata beliau sudah tahu yang sesungguhnya.

"Kenapa kamu malah ngelamar aku? Kamu kira aku udah siap? Harusnya dateng ke rumah, bukan---"

"Ya udah, kita ke rumah lo sekarang!" Daffa terlihat menggebu-gebu.

"Bos, gimana? Berhasil?"

Dari arah belakang tiba-tiba terdengar suara. Aku menoleh spontan melihat siapa yang barusan berteriak. Ternyata itu Amran, bersamanya ada Bian dan Zain.

Amran menaik-turunkan alisnya menatap Daffa. Daffa malah melotot tajam ke arahnya. Aku yang menyaksikan mereka berdua secara bergantian dibuat pusing tujuh keliling. Kok bisa-bisanya gitu, anak SMA kayak Daffa nekat melamar.

"Eh, belum berhasil, ya? Waduh, kita ganggu dong, ya?" Amran terkekeh hambar lalu menggaruk tengkuknya.

Belum juga aku menjawab, Zain malah diam-diam mundur dan pergi meninggalkan kami. Aku yang tahu itu lantas ingin mengejar.

"Gak ganggu. Bagus, kalian ada di sini. Aku duluan, ya. Assalamualaikum...," kataku dingin tanpa ekspresi. Melirik Daffa yang mematung dan melihat Amran dan Bian yang juga sedang menatapku.

Aku pun berdecak kemudian pergi dari restoran tersebut. Namun sebelum benar-benar angkat kaki, aku meletakkan tiga lembar uang warna merah ke salah satu meja tersebut.

"Uangnya gue taruh di sini. Kalau kurang ambil aja kembaliannya. Kalau kelebihan bilang lagi aja," ucapku terakhir kalinya.

***

"Zain!"

Setelah beberapa kali memanggil nama cowok itu sampai suara hampir serak, akhirnya dia berhenti dan membalikkan badan saat sampai di dekat parkiran. Aku sendiri tidak tahu, tiba-tiba saja kakiku terayun mengikutinya. Padahal aku sudah melupakan perasaanku padanya.

Zain memasukkan kedua tangannya ke saku celana, memandang ke depan tapi bukan ke arahku. Wajahnya lebih terlihat seperti orang yang menahan kesal. Aku mengatur napas lebih dahulu.

"Kamu udah tahu soal Daffa yang punya rencana ngelamar aku?" tanyaku pertama kali dan dibahas deheman olehnya.

"Kenapa kamu tiba-tiba pergi tadi?"

Ini pertanyaan yang sebenarnya ingin aku tanyakan. Zain diam selama beberapa saat. Meraup muka sambil memalingkan wajah. Air mukanya amat sulit aku tebak.

"Karena gue pengen."

Zain menjawab datar. Aku mengangguk sembari mengigit bibir bawah. Kemudian seusai diam beberapa menit aku mengedikkan bahu. "Okelah."

Setelah itu aku pamit pulang karena melihat Pak Joko sudah menunggu di dekat mobil. Juga karena aku merasa sudah tidak ada yang perlu dibahas lagi. Kalau kelamaan, takut terjadi fitnah.

Zain tidak berkata banyak, hanya tersenyum amat tipis sebelum aku beranjak dari hadapannya. Sesampainya di rumah aku mengeluarkan segala uneg-unegku kepada Ayah dan Bunda. Memprotes persetujuan mereka akan kelakuan gila Daffa.

"Bagus, dong kalau gitu. Setelah lamaran, terus nikah. Artinya, Daffa benar-benar serius sama kamu, Sayang."

Aku mengembuskan napas kesal mendengar balasan dari Bunda. Bisa-bisanya, Bunda merestui kami berdua di saat anaknya sendiri jelas-jelas tengah menolak.

"Gak, Bundaa. Kita ini saudara, nanti apa kata keluarga?"

"Kata keluarga itu gak penting, Hafsah. Yang penting kata hati."

Aku mengusap wajah frustrasi ketika Ayah malah mendukung hubungan ini. Harus dengan kalimat apa aku menjelaskan kepada Ayah dan Bunda kalau aku tidak mau menikah karena aku tidak menyukai Daffa. Hubungan kami sekedar saudara sepupu, sudah, tidak lebih.

"Pokoknya Hafsah gak mau sama Daffa!" Aku cemberut kemudian pergi ke kamar meluapkan segalanya.

***

"Harus banget pake kostum begini?"

"Lo kira, kita masih anak TK, hah?!"

"Biar lucu, imut, langka gitu. Jarang-jarang, lho ada foto kenang-kenangan pake kostum kelinci kayak gini," balas Ami menjawab kekesalan Ijah dan Maryam yang mewakili perasaanku.

Kami sedang berada di studio foto yang Ami pesan dan pakaian yang kami kenakan persis seperti anak TK yang sedang menggelar acara pentas seni. Kostum kelinci berwarna putih lucu dengan lubang di bagian wajah membuat kami benar-benar terlihat menggemaskan.

"Ayoo... gak usah banyak protes!"

Ami menarik tanganku dan Maryam. Kami bertiga pun mengikuti Ami yang begitu antusias dengan langkah ogah-ogahan. Bisa dibayangkan betapa malunya kami memakai kostum kelinci seperti saat ini.

Saat kita sudah bersiap memasuki ruangan yang digunakan untuk foto, kedua mataku langsung menemukan sosok yang akhir-akhir ini memang sedang kuhindari. Siapa lagi kalau bukan Daffa. Cowok yang terang-terangan melamarku waktu itu.

Daffa terlihat kaget saat kami berempat ada di sana. Namun keterkejutan kami tidak berlangsung lama, sebab Daffa berlaku profesional dan tidak ingin membuang-buang waktu.

Belasan menit kami habiskan untuk mengambil gambar dengan gaya yang berbeda-beda, mengikuti instruksi sang photographer juga Ami. Kami bertiga terpaksa menurut, supaya cepat selesai dan cepat pulang.

Ketika sesi fotonya sudah selesai, aku memandangi Daffa yang sedang senyum-senyum sendiri sambil memandangi kameranya.

Aku menjadi curiga. Takut jika Daffa mengambil fotoku diam-diam.

***

Bersambung....

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang