BAB 6

828 165 0
                                    

Bab 6 — Pentolan sekolah

***

"Daffa Mahendra. Dia itu cowok paling ... playboy yang pernah ada di SMA JB. Paling ganteng dari tiga sahabatnya yang sama-sama ganteng juga. Dan soal omongannya? Beuh ... ngalahin racun sianida, gaes. Mematikan!"

"Kok bisa?"

Aku bertanya setelah menyeruput es jeruk yang kupesan tadi. Ami bercerita begitu asyik, sehingga aku menyimaknya dengan antusias. Namun, juga karena topiknya adalah Daffa. Ternyata banyak yang tidak aku tahu soal sepupuku itu.

"Bisa, lah! Orang cewek yang diajak ngomong atau dideketin sama dia langsung klepek-klepek."

"Kayak ikan lele yang terkapar di seng panas," canda Ijah memakan nasi gorengnya.

Ami dan Ijah tertawa terbahak-bahak. Jika dilihat-lihat, mereka itu memang ditakdirkan untuk saling berdampingan. Ada saja gitu keseruannya. Berbeda dengan Maryam yang sedari tadi fokus makan dan nampak tidak berniat menimbrung.

Oalah, pantas saja Daffa pintar sekali merayu, tidak menyerah padahal aku sudah menolaknya berkali-kali. Akhirnya kartu as miliknya terbuka juga. Jadi, aku harus lebih berhati-hati, siapa tahu target selanjutnya adalah aku.

Bukannya terlalu pede, tapi hanya jaga-jaga saja.

"Emang pacarnya gonta-ganti sampai berapa kali, sih?"

"Gue gak tahu kalau soal itu. Yang gue tahu, satu kelas udah pernah kena jebakan batman-nya."

Aku menganga kaget dan menggeleng heran sekaligus tidak percaya. Iya, sih, Daffa tampan, tapi jadi perempuan yang jual mahal dikit gak bisa, ya?

"Alhamdullilah-nya, gue, Ijah, sama Maryam enggak dideketin," lanjut Ami.

"Mungkin ukhti-ukhti kayak kita gak bakal jadi inceran, deh. Hahaha." Berikutnya Ijah menambahi sambil ngakak.

Aku yang gemas dengan tingkah mereka berdua hanya geleng-geleng kepala.

"Udah, kurang-kurangin gibahnya. Gak baik."

Suara Maryam terdengar. Gadis yang berwajah datar itu tersenyum simpul sambil memandang kami secara bergantian. Meski intonasi bicaranya tidak naik, tapi kalimatnya mampu menohok hati. Segeralah mendapat peringatan tersebut, kami bertiga kompak beristigfar sembari mengelus dada.

"Astagfirullahalazim ...."

"Boleh gabung gak?"

"Allahuakbar!" pekik kami bertiga dengan kompak, ketika suara bariton tiba-tiba menyambar telinga kami.

Aku menoleh ke sumber suara, ternyata suara itu berasal dari Daffa. Cowok itu menautkan alis bingung saat kami bertakbir, kaget akan kedatangannya.

Namun, beberapa saat kemudian dia menyengir sambil bertanya ulang, "Gue boleh gabung?"

Mengetahui kedatangan Daffa, membuatku merasa tidak nafsu makan. Untung saja makanan dan minumanku telah habis sebelum dia datang. Aku membuang wajah malas sambil berlagak tidak melihat dirinya.

"Ya, nggak boleh, lah! Ini itu kawasan akhwat, ikhwan dilarang masuk," cetus Ami penuh penekanan yang langsung berdiri dari duduknya. Ijah pun yang satu frekuensi ikut berdiri.

"Nah, betul sekali."

Ijah berkacak pinggang dengan satu tangan menunjuk wajah Daffa, kemudian ia kembali berucap, "Mending lo pergi sana. Hus-hus!" Ijah menggerakkan tangannya, mengusir.

"Ya, terus apa masalahnya? Ini kan tempat umum. Banyak tuh, cowok sama cewek gabung satu meja."

"Tiris ipi misilihnyi?" ejek Ami kelewat geram. "Kita ini bukan cewek sembarangan yang mau-mau aja nongkrong bareng sama yang bukan mahram, ya! Enak aja disama-samain."

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang