BAB 2

1.3K 239 0
                                    

Bab 2 - Kelihatan cantik

***

"Ini seragam kamu, Sayang. Nanti kalau kepanjangan atau kependekan bilang ke Bunda, ya?" kata Bunda sembari memberikan satu paper bag yang segera kuambil dari tangannya.

Aku mengintip, lantas mengeluarkan isinya. Senyumku mengembang dengan mata yang berbinar bahagia. Betapa senangnya, hatiku mendapatkan seragam baru.

"Terima kasih, Bunda!"

Aku mencium pipi Bunda lalu masuk ke dalam kamar untuk mencoba seragam baru. Kulihat Bunda terkekeh melihat tingkahku sebelum pintu kamar ditutup.

Setelah itu, aku mengambil seluruh isi paper bag yang diberikan Bunda. Mulutku terbuka lebar memandangi pakaian yang akan aku gunakan ke sekolah. Kebetulan sekolah yang Ayah pilihkan untukku ternyata berbeda dengan yang dulu di Bandung.

Jika aku lihat dari konsep gaya seragamnya, pasti sekolahnya mahal. Namun, Ayah tidak mengatakan apapun soal itu. Mungkin nanti bila ada waktu, akan kutanyakan padanya.

Tanpa berpikir lebih lama, aku segera mencoba seragam baru tersebut. Kemeja sekolah berwarna krem dilengkapi dasi bentuk pita kotak-kotak senada dengan ujung lengan baju dan roknya.

Selesai dipakai lengkap dengan kerudungnya, aku kemudian berkaca di cermin besar dari atas sampai kaki. Aku memutar tubuhku sambil tersenyum gembira.

"MasyaAllah ... aku keliatan cantik banget!" pujiku pada diri sendiri. "Semoga aku bisa istiqomah pakai jilbab. Walau ... jilbabnya lebih besar, sih, dari yang aku duga."

Aku sedikit mengendurkan senyumku ketika melihat kerudung yang senada dengan warna kemejaku berukuran cukup besar hingga benar-benar hampir menutup seluruh dada juga punggung. Bahkan kemeja yang memang sengaja dikeluarkan dari rok hampir tidak terlihat.

Aku ... tidak terbiasa dengan jilbab selebar ini. Aku takut. Takut dengan tanggapan orang-orang di sekitarku.

"Hafsah, ayo makan dulu," suruh Bunda yang suaranya terdengar bersamaan dengan ketukan di pintu kamarnya.

"Iya, Bunda!" Aku menyahut lalu berjalan untuk membukakan pintu. Setelah daun pintu terbuka lebar, terlihat Bunda yang terkejut melihat penampilan baruku.

"Eh, ini beneran Hafsah anaknya Bunda?"

Aku mengangguk dan tersenyum manis.

"Iya, Bunda. Ini beneran Hafsah!" kataku bersemangat. Melihat tatapan kagum dari Bunda, membuat hatiku merasa lega.

Bunda adalah orang yang pertama kali mengetahui niatku untuk menggunakan kerudung sebelum Ayah. Aku sangat senang, Bunda tidak marah dengan keputusanku, begitupula dengan Ayah. Mereka berdua justru merasa bahagia dan mendukungku saat melihat putri semata wayang mereka memutuskan untuk berhijab.

Awalnya aku juga tidak menyangka akan mendapatkan hidayah dari Allah secepat ini. Hal itulah yang membuatku terus merasa bersyukur. Dari sekian banyak manusia di dunia, Allah memilihku untuk merasakan kenikmatan menjadi orang yang benar-benar bertaqwa.

Dunia ini hanya sementara. Jadi, harus banyak-banyak beramal, begitu yang kudengar di kajian you tube.

"Ganti dulu seragamnya, nanti malah kotor. Tapi cepat, ya. Ayah udah nunggu, tuh, di bawah."

Aku mengangguk dan lantas menuruti perintah Bunda. Setelah selesai memberesi pakaian, aku segera turun ke ruang makan. Di sana aku melihat Ayah dan Bunda sudah bersiap untuk makan malam.

Aku menyapa Ayah dan Bunda dengan riang. Kali ini aku memakai baju tidur lengan dan celana yang panjang tanpa kerudung. Rumah baruku ternyata jauh lebih besar daripada rumah yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat tinggalku.

Makan malam pun berlangsung dengan tenang sampai pada akhirnya Ayah membuka suara membahas persiapanku masuk sekolah yang baru.

"Gimana, Sayang seragamnya? Muat atau kekecilan?" tanya Ayah yang lantas aku jawab dengan jujur.

"Alhamdullilah, pas, Ayah. Lengannya panjang, roknya enggak cingkrang, apalagi jilbabnya yang super gede."

"Jilbabnya kebesaran, ya? Mau Ayah ganti aja, gak?" Ayah menghentikan makannya dan menatapku penuh tanya.

"Kebetulan, seragam yang Ayah kasih ke kamu tadi ternyata kelebihan pesanan dari murid yang emang sengaja pesan jilbab panjang."

Aku melebarkan mata mendengar ucapan Ayah. Kalau yang Ayah katakan benar, itu artinya aku bakal punya teman yang sama-sama memakai jilbab.

"Di sekolah Hafsah yang baru itu, banyak yang pakai jilbab gak, Yah? Apa masih sama kayak sekolahku yang dulu, yang pakai dikit?"

"Ayah kurang tahu, soalnya Ayah belum datang ke sekolahnya langsung. Yang daftarin kamu ke sekolah itu Bosnya Ayah yang baru," jelas Ayah membuatku tambah penasaran dan ingin tahu lebih banyak.

Aku membulatkan mulut dan mengangguk paham untuk penjelasan Ayah barusan. "Jadi, yang daftarin Hafsah ke sekolah itu Bosnya Ayah? Kenapa Bosnya Ayah baik banget, sih? Soalnya dilihat dari seragamnya, sekolahnya sekolah mahal."

"Sekolah kamu yang dulu juga bagus sama bayar juga, ya."

"Tapi, seragamnya gak selucu di sekolahnya Hafsah yang baru, Bunda."

Aku mengerlingkan mata sambil memiringkan wajah, tersenyum jahil ke arah Bunda yang baru saja selesai menuntaskan makannya. Bunda lagi-lagi terkekeh sambil geleng-geleng.

"Alhamdullilah, Ayah juga gak nyangka bakal dapat bos sebaik Bos Ayah yang baru ini. Malahan semua biaya ditanggung sama beliau, katanya anaknya juga sekolah di sana, seangkatan sama kamu."

"Oh, ya?" Aku sedikit terkejut lalu meneguk air putih setelahnya. "Cewek atau cowok, Yah? Berarti bisa, dong kalau berteman."

Ayah mengangkat bau tidak tahu membuat senyumku menghilang berganti raut cemberut. Dengan agak kesal, aku membereskan piring dan gelas serta membantu Bunda mencuci piring.

Sejujurnya aku semakin tidak sabar ingin bersekolah di sekolah yang baru, lalu memakai jilbab ke sekolah untuk pertama kalinya. Semoga saja, tidak ada drama-drama percintaan ala-ala novel remaja yang biasa kubaca.

Naik ke kelas dua belas, harus lebih serius. Mengingat aku satu-satunya anak dari Ayah dan Bunda, sehingga tidak ada yang bisa mereka andalkan selain diriku.

Aku yakin, Allah pasti akan mempermudah jalanku. Apalagi di langkah yang baru.

"Besok katanya, Daffa mau ngantar dan jemput kamu ke sekolah. Itupun kalau kamu gak keberatan. Soalnya, Ayah sediri udah setuju."

Aku cukup kaget mendengar perkataan Bunda saat kami selesai mencuci piring. "Daffa mau antar-jemput Hafsah, Bund? Males banget Bunda, kalau dianter cowok, entar malah dituduh yang aneh-aneh sama orang."

"Ya udah, kalau gak mau. Nanti biar Bunda yang bilang ke Daffa."

"Sip!" Aku mengacungkan kedua ibu jari di hadapan Bunda sembari tersenyum lebar.

Aku tidak tahu, apa yang sebenarnya Daffa inginkan. Sejak di Bandung, cowok itu selalu saja cari muka. Untung saudara, kalau tidak sudah kumarahi dan usir habis-habisan.

***

Bersambung ....

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang