BAB 15

599 127 0
                                    

Bab 15 — Tentang dia

***

"Welcome to Ami's house!"

Ami merentangkan kedua tangannya, menarik kedua sudut bibirnya sangat lebar, berputar sekali di halaman rumahnya. Aku menganga menyaksikan sendiri betapa besar dan megahnya rumah Ami. Bahkan lebih pantas disebut istana daripada rumah.

Halaman rumah Ami begitu luas, dengan jalan setapak menuju bangunan utama, sementara di sekelilingnya dipenuhi rumput hijau dan beberapa tanaman hias. Rumah bertingkat itu bercat putih dan dihiasi dengan sedikit warna emas yang membuatnya nampak semakin megah.

Tidak henti-hentinya aku memandangi sekitar dengan senyum senang dan mata berbinar. Udara yang segar serta pemandangan yang menyejukkan mata membuatku ingin tinggal di tempat Ami dalam waktu yang lama. Aku juga melihat ada beberapa orang yang sedang membersihkan rerumputan.

"Ini baru awalnya, nanti di dalam udah kayak toserba. Cari apa aja pasti ada. Ngeliat isinya sampe gak bisa tidur. Maunya menjelajah terus," kata Ijah membisik padaku.

Aku yang diberi informasi hanya meneguk ludah kasar. Rasanya seperti mata tidak ingin berkedip. Benar kata Ijah, maunya menjelajah terus. Apalagi sewaktu kami mulai menginjakkan kaki di teras rumah. Melihat lantainya saja membuatku geleng-geleng kepala.

"Mari, silakan masuk. Jangan sungkan-sungkan," kata Ami setelah pintu terbuka dari dalam. Sebelumnya Ami memencet bel kemudian seseorang dari dalam membukakan pintu.

Aku pun mengikuti ajakan Ami, tapi saat ingin melangkah masuk ke rumah, aku terus menatap ke bawah dan bagian dalam rumah yang begitu memanjakan mata. Semuanya serba keemas-emasan. Lampu mewah menggantung di ruangan yang sangat luas itu dengan beberapa barang-barang lain yang pasti tidak ada di rumahku, sofanya ada banyak. Lantainya juga kinclong seperti tidak ada debu yang mau menempel di sana.

Maka dari itu, aku berhenti melangkah. Takut sepatuku yang penuh debu mengotori lantai rumah Ami.

"Hafsah, ayo masuk! Malah diem di sini aja." Ami lantas menarik tanganku membuatku tersentak kaget. Aku berkedip beberapa kali sambil menahan diri saat tanganku ditarik Ami.

"Ini beneran masuk pakai sepatu? Kalau kotor gimana?" tanyaku setengah tidak enak. Karena setahuku, lantai yang sedang dan akan aku pijak harganya luar biasa.

Kulihat Ijah dan Maryam terkekeh pelan, sementara Ami memajukan bibir lucu. "Ya, gapapa, lah. Nanti kalau kotor, ya dibersihin."

Aku pun mengangguk dan menurut pada Ami. Tanganku digandeng oleh gadis manis itu dengan kuat, seolah tidak ingin aku hilang. Kami pun berjalan kembali dengan aku yang tidak berhenti mengamati takjub rumah Ami.

Pegangan di tanganku terlepas, dibarengi suara Ami yang badannya mulai menjauh dari sisiku. "Mama mau ke panti, ya? Kenapa gak ajak Ami, sih? Ami, kan juga mau ikut!" rengek Ami dengan wajah setengah sebal.

Aku melihat wanita yang seumuran dengan Bunda dan memakai kerudung itu sedang menyiapkan banyak sekali barang. Ada sekitar ribuan kotak kardus makanan, di dekatnya ada banyak paper bag berisi banyak mainan dan pakaian.

Lagi-lagi aku bergumam takjub, "MasyaAllah. Benar kata Ijah, cari apa aja ada."

Namun, pakaian mamanya Ami tidak semewah yang aku bayangkan, justru terlihat sangat sederhana dengan gamis polos berwarna abu dan khimar dengan warna senada. Ada juga beberapa asisten rumah tangga yang turut membantu beliau menyiapkan barang-barang, yang dari perkataan Ami akan diberikan ke panti.

"Maaf, Ami Sayang. Mama kira kamu bakalan main lagi ke rumah Maryam," ucap mamanya Ami kemudian beralih menatap aku, Ijah, dan Maryam. Namun, ketika menatapku beliau mengerut heran.

"Loh, ini teman baru kamu, Ami?"

Ami mengangguk sementara aku tersenyum. Aku pun berinisiatif berjalan mendekati mamanya Ami lalu bersalaman dengan beliau.

"Iya, Ma. Namanya Hafsah. Kayaknya dia yang pernah diceritain sama Papa, deh. Yang, ayahnya kerja di perusahaan Papa."

"Ooh ... Anaknya pak Galang?"

Aku mengangguk. Jadi, setelah aku memikirkan dan mengingat-ingat lagi perkataan Ayah sebelum ini, artinya Bos baiknya Ayah adalah papanya Ami? Itu tandanya, papanya Ami-lah yang membayar sekolahku? Ah, aku merasa berhutang budi sekali dengan keluarga ini.

Kemudian mamanya Ami tersenyum sambil mengusap kepalaku lembut. "Cantik, ya?"

Aku tersenyum malu-malu. "Terima kasih banyak, Tante. Tante sama keluarga Tante udah baik sekali sama saya dan keluarga."

"Iya, sama-sama." Mamanya Ami tersenyum lagi padaku.

"Ayo, ke kamar aja!" ajak Ami lalu menarik tanganku.

"Ami duluan, ya, Ma."

Kemudian kami bersama-sama dengan langkah cepat menaiki tangga yang luas dan penuh warna emas. Saat aku menapakinya, aku merasa jadi tuan putri dadakan.

Bisa-bisanya dulu Ami berkata kalau dia bosan di rumah terus. Padahal banyak yang bisa dilakukan di rumah sebesar dan seluas ini dengan fasilitas yang bisa dibilang lengkap.

***

"Gue kemarin habis lihat ada drama baru, lho. Gak tahu, sih, judulnya apa. Tapi kayaknya bagus deh," kata Ami yang waktu aku lirik sekilas sedang menonton ceramah you tube televisi dengan layar lebar.

Aku kembali fokus berdiskusi dengan Maryam di sofa yang dekat dengan jendela dan tidak jauh dari tempat tidur milik Ami. Tidak lupa pula dengan laptop yang siap sedia di meja, di dekatnya ada minuman dan beberapa snack.

"Coba tambahin aja kolomnya yang buat centang kehadiran. Kita bikin satu bulan biar lebih enak. Jadi, paling enggak kita cetak dua belas lembar."

Aku pun mengangguk paham dan mulai mengikuti apa yang Maryam katakan. Sementara Maryam kemudian juga ikut menggarap bagiannya yaitu bagian kajian mingguan di laptop yang lain.

"Lo lupa apa yang dibilang Fatimah? Kurang-kurangin tuh, lihat sesuatu yang gak bermanfaat dan gak menambah ilmu. Buang-buang waktu, kalau kata Fatimah."

Ucapan Ijah membuat pergerakan pada kursor terhenti. Aku termenung beberapa saat ketika Ijah mengatakan nama asing di telinga. Tiba-tiba saja aku teringat akan perempuan yang berfoto bersama dengan mereka bertiga.

"Fatimah? Fatimah itu siapa?" tanyaku yang sangat ingin tahu. Semua orang menatap diriku dan mereka juga selalu saja diam saat aku membahas orang. Menanyakan seseorang apa berdosa, ya? Atau jangan-jangan ....

"Fatimah itu sahabat kita, Hafsah. Orang yang lo pengen tahu di foto yang ada di rumah Maryam," kata Ami yang sebelumnya sempat cek-cok dengan berbisik-bisik kepada Ijah.

Aku pun menoleh sebentar ke arah Maryam, lalu kembali menatap Ami dengan perasaan berbunga-bunga. Seru sekali jika ada lima orang, kita bisa membuat grup power rangers.

"Oh, ya? Pengen kenalan juga dong sama dia. Boleh, kan?" tanyaku menggebu-gebu. "Fatimah rumahnya mana? Sekolah dimana?" Aku menyambung lagi sambil menatap mereka bertiga dengan tatapan penuh tanya.

Aku memberondong mereka dengan banyak pertanyaan, entah mengapa aku sangat excited ingin sekali bertemu dengan perempuan bernama Fatimah itu.

Setelah terdiam cukup lama sampai hampir membuatku merasa bersalah, tiba-tiba Maryam berkata, "Jangan sekarang. Kapan-kapan aja."

Aku yang mendengar itu lantas mengendurkan senyum. Air mukaku berubah kecewa. Aku kira Maryam akan mengiyakan, tapi ternyata gadis itu malah seolah-olah sedang menyembunyikan sesuatu dariku.

Wajahnya yang tetap saja datar membuatku agak kesal. Aku memandangi Ami dan Ijah berharap bahwa mereka mau mempertemukanku dengan Fatimah. Namun, mereka menggeleng seakan sudah sepakat dengan perkataan Maryam.

***

Bersambung ...

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang