BAB 4

1K 185 0
                                    

Bab 4 — Si tengil Daffa

***

Aku sama sekali tidak menyangka, jika di hari pertama sekolah sudah mendapat tugas kelompok. Mengingat aku orang yang agak sulit bergaul dan pemalu, awalnya sempat panik hendak satu kelompok dengan siapa.

Namun, Allah ingin aku bisa semakin dekat dengan Ami, Ijah, dan Maryam sehingga Allah membuat kami menjadi satu kelompok. Tugasnya adalah membuat presentasi tentang materi biologi bab baru. Sekarang aku dan yang lain pergi ke perpustakaan karena guru yang menyuruh.

"Lo kapan pindah ke Jakarta?"

Aku menjawab pertanyaan Ami sambil terus berjalan berdampingan dengan Ijah dan Maryam. "Kemarin."

Ami tampak terkejut dengan ucapanku. "Cepet banget udah langsung sekolah aja."

"Iya, soalnya udah kelas dua belas, takut ketinggalan materi."

"MasyaAllah, ternyata kita punya temen yang ambis lagi gaes!" seru Ami menyenggol lengan Ijah yang sedari tadi menyimak.

"Gue, Maryam, sama Hafsah udah pada ambis. Lo kapan, hm?" tanya gadis berkacamata itu sambil mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

Ami menyengir. "Kapan-kapan. Gue, mah, orangnya santai." Gadis itu membalas perkataan Ijah dengan tampang mengejek. Membuat Ijah mendengus dan mencubit lengan Ami gemas.

Sambil memegang tangannya yang kena cubit, Ami kembali bertanya padaku, "Lo suka nongki-nongki, gak?"

Aku menggeleng pelan. "Enggak. Jarang dibolehin Ayah sama Bunda. Kalau gak penting-penting banget, di rumah aja."

"Buset. Anak papi mami, nih!"

"Ya elah ... kayak lo enggak aja," ucap Ijah menanggapi Ami. Aku mengulum senyum melihat perdebatan Ami dan Ijah sepanjang kami berjalan menyusuri lorong menuju perpus.

"Wanita emang harusnya betah di rumah. Gak banyak keluyuran."

Aku cukup tercengang mendengar Maryam bersuara. Gadis yang sama seperti patung berjalan itu tepat berjalan di sampingku. Aku kira, Maryam sedang sariawan atau sedang malas berbicara. Ternyata dugaanku salah. Sekali Maryam bicara, kata-katanya selalu benar.

"Kenapa?" tanyaku ingin tahu sembari menoleh menatap Maryam yang memandang lurus ke depan. Tangannya terlipat di dada.

"Karena wanita itu mulia dan berharga kayak berlian. Harus punya rasa malu, makanya lebih baik di rumah aja, kalau gak penting-penting banget. Biar kita tetap terjaga, soalnya di luar-luar gini banyak setan!"

Aku memalingkan wajah dari Maryam dan menatap Ami yang barusan menjawab kebingunganku. Meski di akhir kalimat, Ami agak ngegas ngomongnya.

"Apalagi ... wanita itu, ya, sumber fitnah sama ujian terbesar buat laki-laki," bisik Ijah menyambung ucapan Amin. Aku pun mengangguk paham.

Sekarang aku jadi mengerti. Rasa malas ketika hendak keluar rumah untuk hal-hal yang tidak penting—seperti ajakan teman untuk nongki gak jelas—memang itu yang baik untukku.

"Nih, kayak Ami. Kalau diajak main, selalu ada aja alasannya. Terus ujung-ujungnya disuruh dateng ke rumahnya, karena udah disiapin banyak makanan," ucap Ijah membuyarkan lamunanku.

"Di rumahnya Ami banyak makanan?" tanyaku basa-basi.

"Alhamdullilah." Ami menyahut kemudian dia dan Ijah terkekeh pelan. Secara tidak langsung, aku pun ikut hanyut dalam tawa itu.

"Kapan-kapan lo harus dateng ke rumahnya Ami. Mau cari apa aja udah siap sedia."

Ami mengangguk. "Yaps, betul!"

Keep Halal, Sis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang