Raka terbangun ketika mendengar suara kran air yang dinyalakan, ia menoleh ke samping dan mendapati Bian sudah tidak ada. Ia kembali membaringkan tubuhnya ketika mengetahui bahwa Bian yang sedang barada di kamar mandi. Namun, fokusnya kembali beralih ke arah pintu kamar mandi saat yang ia dengar bukan hanya suara kran saja, tapi suara Bian yang sepertinya sedang muntah.
Raka langsung beranjak menuju kamar mandi, mengetuk pintu yang Bian kunci dari dalam berulang kali, tetap tidak ada jawaban dari dalam sana. Akhirnya Raka memutuskan untuk menunggu Bian keluar. Benar saja, tak lama setelah itu Bian keluar dengan wajah yang basah, sepertinya ia mambasuh wajahnya yang masih terlihat pucat .
"Lo kenapa?"
Belum sempat menjawab pertanyaan Raka, tubuh Bian tiba-tiba oleng. Dengan sigap Raka menahan tubuh Bian agar tidak tumbang.
"Eh Bian, lo kenapa gini?"
"Bantu gue buat ke tempat tidur, gue lemes banget." lirih Bian.
Raka memapah Bian dan membaringkannya ketempat tidur. "Lo tadi muntah, ya? Masih sakit banget gak, kerumah sakit aja, ya?"
Raka khawatir melihat Bian yang terlihat sangat lemas, bahkan badannya kembali panas . Padahal tadi malam, demamnya turun setelah ia minum obat secara terpaksa.
Bian menggeleng, "gue gak apa-apa, gue mau tidur lagi aja, Ka."
"Bian serius deh, lo lemes banget. Gue panggilin Mas Dion ya?"
"Jangan, Ka. Kasian Mas Dion pasti capek banget dari kemarin dia ngurusin pemakaman Papa."
"Iya, tapi lo juga sakit."
"Gue cuma masuk angin doang, dibawa tidur juga mendingan nanti."
"Batu banget sih, lo. Ya udah tidur lagi gih,"
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Bian kembali memejamkan matanya. Ia tidak berbohong, badannya terasa begitu lemas, ia kira hanya masuk angin biasa, tapi jangan lupakan nyeri di perutnya yang masih terasa, namun ia tidak memberi tahu Raka, karena ia tau sahabatnya itu akan langsung menyeretnya ke rumah sakit dan ia tidak mau.
Setelah melihat Bian yang kembali tertidur, akhirnya Raka memutuskan untuk turun menuju lantai bawah. Di sana ia terkejut melihat Dion yang sudah duduk manis di meja makan, terlihat sedang menyesap segelas teh hangat, namun jika dilihat dari matanya, tatapan mata itu kosong.
"Mas Dion, gue kira Mas masih tidur."
Dion sedikit berjengit kaget mendengar ucapan Raka, pasalnya tadi ia sedang melamun. "Gue udah bangun dari tadi, kok lo jam segini udah bangun. Mau ngapain, biasanya juga bangun siang."
Raka duduk disamping Dion, "Mas, tadi Bian muntah di kamar mandi."
Dion menoleh, "Hah, terus sekarang dia gimana?"
"Udah tidur lagi dia, tadi gue suruh buat periksa ke rumah sakit gak mau. Badannya masih demam, Mas."
Dion menghela napas, "Kayanya Bian beneran jadi trauma deh sama rumah sakit,"
Bian memang benci dengan rumah sakit, mulai dari suasana hingga bau rumah sakit adalah hal yang sangat Bian hindari. Rasa benci itu muncul ketika Mamanya mulai sakit. Saat itu Bian dengan telaten merawat Mamanya ketika di rawat di rumah sakit, ia sering bolak-balik bahkan menginap disana.
Dua tahun lamanya Anne bergelut dengan penyakitnya, dua tahun pula Bian berteman dengan rumah sakit. Sampai akhirnya, saat Anne menghembuskan napas terakhirnya pun ia berada di rumah sakit dan Bian ada di sana, di samping Mamanya.
Setelah itu, Bian benci dengan rumah sakit. Karena, dengan masuk kesana, membuat ia kembali mengingat bagaimana perjuangan Anne melawan sakit yang diderita. Apalagi kamarin, untuk kedua kalinya, rumah sakit menjadi tempat Papanya menghembuskan napas terakhirnya juga. Mungkin ia bersumpah, ia takkan pernah mau memasuki gedung bercat putih tersebut. Namun, sepertinya tidak, mengingat kakaknya adalah calon dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Teen Fiction°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...