Bian membereskan semua barang-barangnya tanpa bersuara. Ia memasukan semua baju dan juga perlengkapan sekolahnya ke dalam koper besar. Dion menghampiri sang adik yang masih sibuk dengan kegiatannya.
"Bian."
Bian menoleh, "kenapa, Mas?"
"Sini gue bantu," Dion mengambil beberapa barang milik Bian lalu memasukannya ke dalam koper.
"Gak usah, Mas. Lo beres-beres barang lo aja, gue bisa sendiri."
Dion memperhatikan Bian, terlihat raut kesedihan terpancar dari wajah adiknya. Ia mendekat kearah Bian dan menarik Bian kedalam pelukannya. Bian mengernyit bingung ketika tiba-tiba mendapat pelukan dari sang kakak.
"Maafin Mas, ya. Gue gak becus jadi anak sulung, gue gak bisa diandalkan."
Bian masih terdiam didalam pelukan sang kakak. Ia dapat merasakan tubuh Dion bergetar menahan tangis. "Mas, gak ada yang nyalahin lo di sini, mungkin emang takdir kita kaya gini."
"Mungkin kalau gue dulu gak keras kepala buat ambil jurusan dokter dan dengerin omongan Papa buat terusin perusahaan Papa, sekarang keadaannya gak bakal kaya gini. Gue bisa bantu, Papa gak bakal pusing sendirian mikirin gimana ribetnya urusan perusahaan, 'kan?"
"Gue egois,"
Bian melepas pelukan Dion, ia tahu pasti kakaknya itu merasa bersalah atas semua yang terjadi, tapi sungguh, ini semua bukan salah siapapun, ini semua takdir.
"Gak ada yang salah di sini, gue juga gak nyalahin siapapun."
Dion menghela napas dan menghapus air matanya, tak terasa ia menangis, dihadapan Bian.
"Maaf, Mas cuma gak tau lagi harus gimana, tapi apapun itu bakal gue lakuin buat kita berdua."
Bian tahu kalau Dion sudah sampai menangis seperti ini, apalagi di hadapannya, pasti sang kakak sudah tidak sanggup lagi memendam semua sendiri.
"Gak harusnya gue kaya gini, hah."
Bian terkekeh, "gue udah berapa kali bilang sama lo, kalau mau nangis itu nangis aja. Gak usah gengsi."
"Lo gak sadar lo juga suka nangis sendirian malem-malem, dikira gue gak denger apa?"
Kini gantian Bian yang melotot kearah Dion, rupanya sang kakak sering mendengar ia menangis. Bukan sering tapi pernah, ya gimana, namanya juga sedih. Hidup mereka berat, mulai sekarang.
•••
Hari ini, kedua teman Bian berkumpul di rumahnya, minus Jemmy, katanya dia ada acara sama orang tuanya. Beres-beres barang cuma berdua dalam waktu tiga hari saja tidak cukup, oleh karena itu, Bian memanggil mereka untuk membantu. Jangan lupakan Dion yang sudah pasti meminta bantuan Jefri juga.
Mereka berdua sudah menceritakan semua yang terjadi kepada mereka. Tentu mereka semua sedih, terutama Raka, sekarang rumahnya tidak lagi dekat dengan Bian.
'Ya Allah, Ka. Itu apartemen masih deket-deket sini. Paling dari lantai atas sana juga keliatan nih perumahan.'
Celetuk Jovian yang melihat Raka hampir menangis saat tahu ia akan jauh dari Bian. Padahal, mereka masih satu sekolah, bahkan satu kelas. Bian yang mendengar itu hanya terkekeh melihat tingkah lebay Raka.
Tapi, jauh dari dalam hatinya ia senang karena di kelilingi orang-orang baik seperti mereka. Bian dan teman-temannya bertugas membereskan barang-barang yang ada di rumah, sedangkan Dion dan Jefri membereskan barang yang sudah sampai di apartemen.
"Anjir.. segini banyak barang lo semua?"
Jovian mendelik melihat koper besar milik Bian yang berisi barang-barang kesayangan Bian. Ingat, itu cuma barang-barang Bian saja, belum termasuk baju-baju dan lain halnya.
"Jov, seumur hidup gue tinggal di sini. Ya kali barang gue cuma se-koper doang."
Bian masih saja sibuk memasukan koper-koper miliknya kedalam mobil pick up yang sengaja ia sewa untuk membawa semua barangnya. Ia kembali masuk kedalam rumah, menyusul Jovian dan juga Raka yang masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Bian terdiam sejenak ketika merasa pandangannya kabur, Raka yang berada di hadapannya tiba-tiba terlihat berbayang. Kepalanya sedikit pusing. Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang saat pusing itu semakin terasa. Ia bertumpu pada meja yang ada di belakangnya, hingga tak sengaja tangannya menyenggol vas bunga yang ada di atas meja tersebut, menciptakan bunyi nyaring ketika beradu dengan lantai.
PRANG!!!
Fokus Jovian dan Raka langsung teralihkan ketika mendengar suara pecahan tersebut. Mereka berdua langsung berlari menghampiri Bian yang masih terdiam sambil memegangi kepalanya.
"Bian, lo kenapa?"
Bian mendongak, menatap Raka dan juga Jovian yang menatapnya khawatir, "gue gak apa-apa, gue gak sengaja nyenggol vas itu. Gue cuma kaget aja tadi,"
"Kaget anjir, gue kira lo oleng." celetuk Raka mengelus dadanya pelan.
Jovian masih terdiam, menatap Bian lebih dalam, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dengan Bian.
"Tunggu... Bian lo mimisan anjir!!" pekik Jovian.
Ia menarik dagu Bian untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah dan ternyata benar, ada darah mengalir dari hidung mancung Bian. Bian yang mendengar penyataan Jovian juga terkejut, ia menyentuh bagian bawah hidungnya dan benar, ada setetes darah di sana.
"Sini lo duduk dulu!"
Raka langsung menyeret Bian untuk duduk dan mengambil sekotak tissue yang tergeletak di atas meja.
"Jangan dongak, nanti darahnya jadi ngegumpal di dalam!" Raka mengelap darah Bian yang masih mengalir tanpa rasa jijik sedikitpun.
"Raka sabar, njirr!" celetuk Jovian, ia bisa melihat raut wajah Raka yang begitu cemas melihat keadaan Bian.
"Udah, sini gue aja. Gue bisa sendiri." Bian merebut tissue yang ada ditangan Raka.
"Lo kenapa, sih? Kok bisa mimisan gini,"
"Ya gak tau, gue aja gak sadar kalo Jovian gak ngomong." Jujur, kepalanya masih terasa pusing, tapi ia tidak ingin membuat mereka berdua khawatir.
"Lo pusing, gak? Darah lo lumayan banyak tuh," ucap Jovian menunjuk tumpukan tissue bekas darah Bian yang lumayan banyak.
"Gak sih, kepanasan doang kali gue tadi di luar. Pas masuk langsung kunang-kunang. Biasalah, paling cuma darah rendah." Bian berbohong.
"Yakin lo?" tanya Raka serius.
"Beneran deh gak apa-apa, udah ayok lanjutin lagi. Tuh mobilnya udah ke sini lagi," ujar Bian mengalihkan pembicaraan mereka.
Raka menghela napas pasrah, "udah, gue aja yang bawa ini ke mobil. Lo beresin yang di belakang aja sana."
Raka merebut koper yang Bian pegang, kalau sudah seperti ini Bian tidak bisa menolak. Raka itu galak.
Tanpa mereka sadari, Jovian masih menatap Bian dengan tatapan yang sulit diartikan. Padahal Jovian tadi melihat dengan jelas kalau Bian seperti orang yang sedang kesakitan. Wajahnya juga terlihat sedikit pucat.
'Semoga emang gak apa-apa.'
•••
Jakarta, 16 Agustus 2021
Re-publish 20 April 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Brother | Haechan Doyoung✓
Teen Fiction°Brothership, Friendship & Family° Ketika dua orang anak remaja yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Berjuang bersama melawan kerasnya dunia. Ada si sulung yang akan melakukan apapun untuk si bungsu, bahkan jika perlu, nyawa pun akan ia serahkan demi s...